Gadis [yang JADI] Berhala


Dia bukan gadis biasa. Aku penasaran untuk mengetahui lebih banyak karena bisik-bisik tetangga tentangnya. Apalagi bisikan itu tambah bising saat mereka berkumpul menunggu karedok buatan ibuku. Ya, wanita terlihat tidak menarik lagi ketika mereka tengah bergosip. Mulut mereka bahkan lebih ekspresif dari rasa bumbu karedok kelebihan rawit. Kata-katanya lebih tajam daripada pisau yang ibu gunakan untuk mengiris bengkoang.

"Oh, Adi lagi libur semesteran ya?" tanya si ibu tetangga. 

Padahal pembicaraan mereka masih berlangsung, kenapa tiba-tiba fokus padaku? Dasar tetangga. Ternyata diamku cukup lama, sampai pertanyaan itu menguap nadanya di udara. Ibu yang akhirnya menimpali. Aku kembali sibuk menggosok body motor. Lalu, yang sedang dibicarakan tiba-tiba melintas. Hening. Ibu-ibu itu diam. Tumpul seketika. Mulut diam tapi matanya mengawasi. Gadis itu lewat depan kami, bersama keheningannya.

Ini pertama kalinya aku melihatnya langsung. Gadis itu terlihat berantakan. Ia mengenakan jeans hitam belel yang mulai kelabu karena debu. Matanya juga abu-abu, dengan lingkaran mirip bulan sabit di bawah kelopak mata. Jemarinya kecil, kurus dan penuh plester. Tetangga berbisik, dia itu gadis pembuat berhala. Pastilah jemarinya kena pahat yang meleset. Rambutnya hitam panjang sebahu, lurus tapi kusut tertumpuk di ujung-ujungnya. Tetangga berbisik, dia itu gadis pembuat berhala, pastilah dia hanya fokus pada berhalanya sampai lupa kalau dia wanita. Gadis itu berjalan menunduk dengan ritme langkah perlahan. Sangat pelan. Antara malas berjalan, santai, menikmati perjalanan atau memang tidak niat.

***
Karedok datang, kuketuk pintunya beberapa kali. Sambil berseru-seru, karedok datang. Apa benar ini rumah yang pesan karedok. Kok tidak ada jawaban. Aku sudah berucap salam tiga kali dan mengulang kata karedok datang tujuh kali. Ya sudah lah, aku berbalik. Pintu terbuka.

"Maaf," katanya.

Gadis itu muncul dari balik pintu. celahnya saja. Aku nyaris melompat karena kaget. Dasar gadis ini. Tanpa kuduga, dia mempersilahkanku masuk. Ruang tamunya berantakan, pecahan gipsum berserakan di lantai. Sepertinya sisa-sisa pahatan. Ada toples berisi adonan gipsum dan karung gipsum di samping sofa.

"Maaf berantakan," katanya. Ia mengambil beberapa pahat dari atas sofa dan mempersilahkanku duduk.

"Aku tidak lama kok. Cuma menunggu piringnya saja, Ibu kehabisan piring karena sedang banyak pesanan. Jadi bisakah dituang ke piringmu saja?" kataku.

"Ah piringku yaa."

Dia terlihat berpikir. Kemudian mengatakan bahwa semua piringnya kotor, bahkan ia menanyakan sendok plastik yang tak kubawa. Aku menuju wastafelnya yang berantakan. Memang benar, semua piring dan sendok bertumpuk di sana. Gadis itu mencoba mencuci sebuah piring dan sebuah sendok. Tapi aku segera mengambil alihnya. Aku mencuci untuknya???

Ya, tangannya terselubungi gipsum yang sudah mengering. Sepertinya cukup tebal dan lama untuk membersihkannya. Akhirnya dia hanya fokus pada membersihkan gipsum itu. Aku mencuci lima piring yang ada di wastafel. Juga sendok dan garpunya. Ia sempat keberatan saat aku melakukannya. Tapi ya sudahlah. Kami selesai dalam waktu bersamaan.

Aku duduk di sofa, sementara ia duduk di lantai yang sudah beralaskan koran. Ya, nyaris semua permukaan lantai dialasi koran. Aku tengah menghitung uang kembalian yang cukup menguras dompet.

"Jadi kau pemahat?" tanyaku.

"Yap. Bisa dibilang begitu. Sebenarnya aku jarang memahat. Aku hanya mengerjakan kerajinan dari gipsum," jawabnya sambil melahap karedok. 

"Sesekali keluarlah dan ngobrol dengan tetangga. Kau sudah membuat warung ibuku gaduh setiap hari dipenuhi bisik-bisik tentangmu."

"Oh, iya. Maaf sudah merepotkanmu."
***

"Dia pergi ke kota."

"Mungkin berhalanya sudah selesai. Pasti ada orang di kota yang membelinya. Sebesar apa ya berhalanya?"

"Kemarin saya lihat dia ngangkut banyak tas plastik besar. Sepertinya dia baru beli material."

"Awas saja kalo desa ini kena azab karena si gadis pembuat berhala itu."

Bisik-bisik masih terus berlanjut. Kuabaikan buku yang sedari tadi aku baca. Sungguh tak ada satu kalimatpun dari novel itu berhasil membuatku fokus pada imajinasi penulisnya. Bisik-bisik tetangga jauh lebih dahsyat daripada daya karang si novelis dan tentunya lebih kuat daripada fokus membacaku. Aku bawa motor ayah jalan-jalan. Setidaknya, jika dia pergi, berpamitanlah yang sopan agar tak menimbulkan bisik-bisik. Bukan apa-apa, hanya saja aku yang risih. Toh para ibu-ibu selalu berbisik-bisik di rumahku, di warung ibu. Arg, telingaku rasanya frustasi.

***
"Gadis itu sudah kembali dari kota," kata ibu-ibu mulai berbisik. Aku menghela nafas panjang sebelum tak sempat lagi. Karena pembahasan panjang akan bermula di sini. Benar saja. Gadis itu kembali dari kota. Ia tak lagi terlihat kumal. Bulan sabit di bawah kelopak matanya juga menghilang. Matanya terlihat lebih segar. Ia bahkan menyempatkan tersenyum ke arah kami. Tidak seperti biasanya, ibu-ibu terdengar ramah balas menyapanya. 

Kemudian di keesokan harinya, 
Ini sudah jam makan siang, tak ada bisik-bisik di warung. Gadis itu juga tidak kelihatan. Aku duduk menunggui ibu yang sedang kewalahan dengan pesanan besar. Kubantu ibu untuk mengemas karedok dalam kardus-kardus. Kata ibu pesanan dari kelurahan, sedang ada acara besar bagi ibu-ibu. Katanya ada investor dari kota yang ingin membuka bisnis untuk ibu-ibu rumah tangga. Untungnya juga menggiurkan, nyaris setara dengan gaji pegawai di kota. Ibu selesai dengan pesanannya. Aku nyalakan motor, siap mengantar ke kelurahan.

Gadis itu ada di sana. Di tengah-tengah para ibu-ibu tukang bisik-bisik. Ia baru saja mencetuskan usaha rumahan baru. Ia mempekerjakan para ibu rumah tangga yang ingin bekerja di rumah. Iapun memberikan upah yang tinggi. Karena itulah bisik-bisik tetangga sudah lenyap di hari itu juga. Tapi lahir penggantinya. Ternyata bekerja pada gadis itu tidak membuat para ibu-ibu tetangga kehilangan waktu untuk acara bisik-bisik di warung ibu. Namun kini bukan bisik-bisik tentang gadis pembuat berhala. Temanya masih tentang si gadis. Tentang puja-puji si gadis itu. Tentang kebaikannya. Tentang kontribusinya, keramahannya, kepeduliannya dan segala kebaikannya. Setiap hari mereka datang untuk melakukan puja dan puji tentang si gadis.

Dasar tetangga. Sepertinya mereka akan selalu datang ke warung ibu dan membuat telingaku sakit dengan bisik-bisik juga puja-puji. Bukankah kini ibu-ibu suka memujinya dan senang di dekatnya. Gadis itu sudah menjadi berhala.
*

Note author:
Yap, cerpen pertama dalam event #nulisrandom2017 yang jujur saja ceritanya super random kan? Hahaha jadi pengin makan karedok.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.