The Missing Link 10


10 THE KING
*

Ivory keluar dari kamarnya, dua slav mengawalnya. Sebelumnya, seorang pelayan memberi tahu bahwa bak mandi sudah terisi air hangat. Ivory menuju ruang mandi, para slav membawakan perlengkapannya. Mereka melakukan semua hal untuk Ivory sampai ia hanya perlu diam. Ivory segera berendam. Ia merasakan nyamannya rendaman air hangat yang ditambah ramuan herbal. Para slav berderet mengawalnya, mengambilkan apapun yang Ivory tunjuk. Cukup lama ia berendam, lama kelamaan ia dilanda kebosanan. Apalagi para slav hanya diam dan seolah tak melihat dan mendengar apapun. Ya begitulah pekerjaan mereka.

"Panggilkan Crispin, slav dari istal," kata Ivory. Seorang slav segera keluar untuk melaksanakan titah Ivory.

Begitu pintu terbuka, Giles dan lima slav-nya masuk ke ruang mandi. Slav Giles segera menghampiri salah seorang slav yang datang bersama Ivory. Mereka berdebat lumayan panjang tentang ruang mandi. Giles menyela perdebatan keduanya. Ia segera menghampiri Ivory yang tengah berendam dengan santai.

"Selamat pagi kakak. Apa kau mau mandi juga? Kau bisa gunakan ruang mandi di belakang atau menungguku selesai mandi," kata Ivory. Nada suaranya begitu menjengkelkan. Ia sengaja membuatnya begitu. Ia bahagia melihat Giles cemburu.

"Seorang adik kecil, mengambil alih ruang mandi utama bahkan sebelum ayah dan kakaknya mengunakannya? Kau masih perlu belajar soal tata krama, Ivory."

"Ayah yang memberiku izin untuk menggunakannya sesukaku. Apa kau tak sependapat dengan ayah? Apa kau mau membantah ayah, Giles?" tantang Ivory. 

Ketegangan memuncak, keduanya tak ada niatan untuk mengendurkan tekanan. Hingga dua orang pelayan masuk ke ruang mandi. Seorang membawa Giles keluar dari ruang mandi dan seorang lagi tinggal untuk menenangkan Ivory. Giles terus-terusan menggerutu saat si pelayan membawanya keluar. Ia memaki si pelayan dan mengutuk keangkuhan Ivory. 

"Kalian juga bersikap seperti itu padaku! Dia baru satu hari menjadi anak ayah tapi dia sudah mau menguasai segalanya. Bukankah kalian juga merasakan bahwa dia sangat brengsek!"

"Tuan Giles, mohon jaga perkataan anda."

"Tak usah mengajariku, idiot!"

"Giles!"

"Aaa...yah?" jawab Giles terbata. Terkejut. Takut. 

Giles hanya sendiri di ruang kerja ayah. Seluruh pelayan dan slav tak ada yang diizinkan masuk. Bahkan tak diizinkan untuk menunggu di luar ruangan. Mereka harus pergi tanpa mendengar pembicaraan penting antara ayah dan Giles. Ayah mondar-mandir di depan perapian. Ia terlihat resah. Giles bahkan tak berani menanyakan penyebabnya, ia hanya diam dan memberikan ayah ketenangan.

"Ayah."

"Giles, betapa cerobohnya kau sayangku." Ayah menghampiri Giles dengan senyum sedihnya. Matanya tak menatap Giles, pandangannya kosong entah kemana.

"Tentang Ivory..." kata-kata Giles tak terselesaikan. Pukulan ayah telak mengenainya. Ia tersungkur.

"Karena kebodohanmu, karena kecerobohanmu. Karena kau tolol! Dasar tak berguna!"

"Ayah?"

"Aku sengaja menyingkirkannya untuk bekerja menjadi slav di istal. Dari awal aku tak ingin melihatnya dekat denganku. Sekarang dia malah jadi kunci dari hidup matinya keluarga ini. Sekarang dia dengan mudahnya menyingkirkanmu. Sekarang, aku harus berpura-pura bahwa dia adalah kesayanganku. Betapa menggelikannya ketika aku membiarkan bocah itu memanggilku ayah. Argh..." Ayah melemparkan sebuah vas bunga ke perapian. Keramik indah itu hancur jadi kepingan. Giles masih diam tercekat mendengar kemarahan ayah. 

"Jadi ayah tak benar-benar menyayanginya?"

"Kau yang terbaik Giles," kata ayah. Ia ikut berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Giles yang terduduk. Ia membelai lembut wajah tampan Giles dengan rambut lurus pirang emasnya. Ayah menatap bola mata biru safir yang terbenam dalam Giles.

"Warna keberuntunganku adalah kau Giles. Dan kau juga pastinya sudah tahu apa warna pembawa sial bagi keluarga ini 'kan?"

"Turquoise."

"Ya! Kau begitu idiot! Aku menaruh harapan banyak padamu. Aku bahkan mempersiapkanmu secara khusus untuk Lady Seraphina. Tapi kau malah membawanya pada si turquoise sialan itu. Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu bagaimana Lady Seraphina bisa bertemu dengannya. Kau yang menyebabkan semua bencana ini terjadi, Giles! Kau yang mengajak Seraphina berkuda, di istal dia bertemu di turquoise sialan itu. Dia malah tertarik padanya. Ini musibah, Giles. Ini bencana!"

Tok..tok...tok.

Suara ketukan di pintu membuat ketegangan keduanya sedikit mereda. Ayah mulai mengatur nafas agar terlihat santai dan baik-baik saja. Ayah duduk di kursi dekat tungku perapian. Sedangkan Giles bangkit untuk membukakan pintu. Ivory muncul dari balik pintu. Ia melihat tatapan sayu Giles berubah jadi tajam. Giles juga terlambat menyembunyikan memar di sudut kiri bibirnya yang kena hajar ayah. Tanpa kata apapun, Ivory melenggang santai memasuki ruang kerja ayah. Giles juga ikut kembali. Keduanya kini menghadap ayah.

"Ayah, aku ingin mengajakmu berkuda jika kau tidak keberatan," kata Ivory.

"Ivory, ayah sedang sibuk. Kuharap kau bisa bersikap lebih dewasa dan mengerti bahwa ayah memiliki banyak pekerjaan," balas Giles. Ayah hanya tersenyum.

"Ya, Giles benar. Aku sibuk. Nanti akan kuluangkan waktu bersamamu, sayang. Oh, sebagai gantinya aku akan memberimu hadiah spesial. Aku punya batu turquoise yang indah, kupikir jemarimu akan bagus saat mengenakannya," kata ayah dengan senyum lebarnya. Ivory ikut tersenyum mendengarnya.

Ayah berlutut di hadapan Ivory untuk menggenggam jemarinya, menelusuri setiap jari seolah sedang mengukurnya. Ayah memulai dari ibu jari, kemudian telunjuk dan jari manis. Tapi Ivory menekuk semua jemarinya dan menyisakan jari tengah yang berdiri tegak menghadap ayah. Kekesalah Giles sepertinya memuncak. Ia maju dua langkah dari kursinya. Ayah tetap diam berlutut, ia juga menghentikan langkah Giles. Tatapannya berubah serius. Ivory tersenyum, ia tahu, semua orang terpancing amarahnya. Ia pasti sudah melangkah terlalu jauh.

"Aku ingin mengenakan cincin itu di jari tengahku, ayah," kata Ivory. Ayah tersenyum, ia menggenggam jemari tangan Ivory dengan kedua tangannya.

"Tentu saja, sayangku," jawab ayah. Ia lalu mencium jari tengah yang masih diacungkan Ivory.

"Oke. Aku akan menyerahkan ukurannya pada slav, nanti dia yang akan mengurusnya. Terima kasih ayah," kata Ivory dengan cerianya. Ia melepas genggaman tangan ayah. Segera bangkit dan keluar dari ruangan. Giles bangkit mencoba membantu ayah untuk bangun. Tapi ia malah terpental karena amukan ayah.

“Bocah sialan itu!”
*

Ivory berguling-guling di atas kasur, kebosanan mulai melanda. Di kamar yang begitu luas dah hanya ditempati oleh dia seorang diri, rasanya begitu kosong. Hampa. Sebuah ketukan di pintu, membuatnya melompat bersemangat. Ia segera membukakan pintu. Crispin ada di baliknya bersama tiga slav Ivory. Crispin menatap Ivory dengan tatap haru, matanya berlinang. Ivory segera menarik Crispin ke dalam kamar dan memerintahkan semua slav nya pergi.

“Pin!” seru Ivory sambil memeluk Crispin erat.

“Alastair aku bahagia bertemu denganmu lagi.”

“Pin, aku berhasil menjadi anak kesayangan ayah. Aku tak tahu bagaimana ini bisa terjadi, rasanya seperti mimpi saja.”

“Ya, dari awal aku melihatmu, aku sudah tahu bahwa ayah akan menyayangimu. Kini aku juga harus menghormatimu, Tuan Ivory,” kata Crispin seraya melepas pelukan Ivory.

“Pin?”

“Tuan Ivory, saya bahagia untuk anda.” Crispin tersenyum. Ivory cemberut, ia menarik senyumnya. Ia tak menyukai keadaan canggung ini. Kemudian Crispin tertawa terbahak, mengejutkan Ivory.

“Kau berpikir aku juga akan mengatakan seperti itu? Atau kau menyukai kalimat formal seperti tadi, kawan?” tanya Crispin. Ivory ikut terbahak mendengarnya. Mereka berdua duduk di atas kasur empuk, menyantap biskuit cokelat dan segelas susu. Crispin memakannya dengan lahap, dan Ivory hanya tersenyum memandanginya makan. Ia bahkan menyerahkan gelas susunya untuk diminum Crispin.

“Apa tidak apa-apa?” tanya Crispin.

“Toh mereka tidak tahu kan?” bisik Ivory. Crispin mengangguk. Ia tersenyum mendengar kalimatnya kini diucapkan Ivory.

Setelah biskuit habis, mereka berdua berbaring di atas kasur. Menatapi langit-langit dan lampu hias di tengah kamar. Ivory menikmati suasana santainya, ia bahagia bisa mengajak Crispin ke kamarnya. Crispin masih belum berhenti mengagumi kamar utama. Matanya masih berkeliling melihat-lihat keindahan dan kemegahan kamar.

“Pin, sebenarnya apa yang terjadi? Aku sungguh tak ingat pernah melakukan hal yang luar biasa. Aku hanya ingat kandang itu, kemudian aku sudah berada di sini dan menjadi anak kesayangan ayah.”

“Kau beruntung, Ivory. Kegilaanmu waktu itu menyelamatkan kita semua.”

“Kegilaan?” Crispin tertawa renyah.

“Ya, aku tak menemukan kata yang tepat. Kau masih ingat kejadian waktu itu kan? Ketika kau menangkap Lady Seraphina saat dia nyaris terjatuh di istal?”

“Jadi karena itu?”

“Lady Seraphina adalah putri dari gubernur. Dia putri satu-satunya, jadi dia sangat istimewa. Katanya sejak umur Lady sepuluh tahun, ayah selalu menjadi pelayannya. Ia menyediakan anak-anak terbaiknya khusus untuk dipelihara Lady. Sebenarnya saat ini, ayah sudah menyiapkan Giles tapi dia malah tergila-gila padamu.”

“Dipelihara?” ulang Ivory.

“Ya, sebenarnya alasan mengapa anak kesayangan ayah selalu tampil mengagumkan dengan pakaian mahal dan tubuh terawat adalah hal itu. Meskipun yang kudengar, Lady hanya memperlakukan mereka seperti anjing piaraan. Dan memang itu yang terjadi. Menjadi anak kesayangan ayah berarti menjadi anjing-anjing piaraan para putri bangsawan,” ujar Crispin dengan nada sedih.

“Jadi, sekarang akulah yang menjadi anjingnya?”

“Kemarin, Lady Seraphina datang tanpa pemberitahuan. Beliau mencarimu tapi saat itu kau sedang dalam hukuman dan ayah tidak tahu. Kau tahu tidak, Lady bahkan memarahi ayah dan penjaganya memukuli ayah karena membiarkanmu dihukum.”

“Benarkah?”

“Ya, itulah bisik-bisik yang merebak di antara slav. Giles juga kena hajar ayah. Kau benar-benar menjadi pion penentu di rumah ini, Ivory. Selama kau memenangkan kepercayaan Lady Serphina, tak ada satupun yang bisa menyentuhmu. Kau pemenangnya,” kata Crispin bangga.

“Apa itu bagus?”

“Yap. Langkah yang sangat bagus.”

“Kurasa ayah dan Giles tidak menyukaiku, Pin. Mereka seperti terpaksa menerima keberadaanku. Aku juga bosan terus bermanis-manis pada mereka. Apa aku harus bertahan seperti ini?”

“Tenang saja, Ivory. Seberapapun bencinya mereka, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Lagipula kau memiliki aku, Crispin yang akan selalu setia bersamamu Tuan Ivory.” 

Ivory tersenyum lega.
***

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.