Viva la Vida di Perempatan Jalan

Special for #nulisrandom2017
Live life.

Janji pukul sembilan, akhirnya ditepati pada pukul sepuluh. Ya, sebenarnya aku tak berjanji dan itupun tak bisa dihitung sebagai sebuah janji. Hanya persetujuan seorang mahasiswi dan toko fotokopi. Tapi bukan itu yang harusnya dipikirkan. Ini tentang isinya, ini tentang benda yang dijanjikan. Sebelumnya aku pernah membuat yang sama persis, dan juga di toko yang sama. Sebuah bentuk akhir dari tugas akhir. Teringat kali pertama, hanya butuh satu tanda tangan dan semuanya berakhir. Semuanya selesai. Tapi saat itu aku tak mendapatkannya. Hingga aku harus memulai semuanya dari awal. Hari ini Jumat, dan aku melupakan satu tanda tangan. Ada sedikit khawatir, aku begitu takut dengan pengulangan. Tapi entah apa yang kupikirkan saat ini.

Aku begitu santai menikmati detik demi detik berlalu. Tapi aku tak juga lupa bahwa kemarin aku menangis keras karena diburu waktu dan akhirnya kehabisan detik hingga harus menunggu hari, minggu, bahkan bulan. Semoga saja aku tak pernah menunggu tahun.

Langkah terasa indah. Langkah yang biasanya terburu-buru, hari ini, pagi ini kulangkahkan dengan santai ceria. Langkah yang biasanya berjalan lurus dari depan pintu, hari ini kuajak berbelok-belok menyusuri gang-gang belakang rumah. Langkah yang biasanya berpacu dengan mata tertunduk, hari ini menjadi penjelajah. Menikmati tiap cukilan pemandangan yang tetap terlihat indah untuk sebuah perjalanan melewati gang. Jalanan mulai sepi. Area yang terkenal sebagai pemukiman mahasiswa ini mulai ditinggalkan. Ini waktunya berlibur, semua perantau kembali ke rumah masing-masing. Bukan hanya musim libur, ini juga bulan Ramadhan. Warung nasi yang biasanya sudah ramai sejak pagi, kini tutup dan tertutupi tirai. Warung nasi uduk, bahkan memberikan pengumuman bahwa akan tutup sampai Idul Fitri. Bubur ayam di depan gang yang biasanya masih buka, sekarang juga tinggal gerobak kosong tempat bapak-bapak buruh bangunan merokok. Gerobak buah yang biasanya dari pagi mulai mengiris potong demi potong buah segar juga kosong. Tutup. Bahkan gerobak cilok tak ada di tempatnya yang biasanya selalu di samping gerobak buah.

Aku tak pernah menikmati jalan pagi sesantai ini. Meskipun aku tahu belum pasti juga hari ini akan santai. Aku bahkan sudah merencanakan untuk pulang esok pagi. Aku sudah membayangkan naik pus pagi dan sampai di terminal Purbalingga pada sore harinya. Naik becak dari terminal ke rumah, melintasi taman kota dan alun-alun yang ramai karena malam Minggu. Ah, dibayangkan saja sudah nikmat.

Kemarin malam, aku menghitung receh. Ya, mencukup-cukupkan keping demi keping hanya untuk membeli sebotol air mineral. Pagi ini aku menyerah, harusnya aku masih bisa mandiri. Tapi aku menyerah, aku mengatakan pada mama kalau uangku habis. Aku dengan sadisnya minta uang untuk pulang. Lalu di angkot menuju toko fotokopi, aku seperti merenung. Tak seperti malam kemarin saat aku kembali dari toko fotokopi, angkotnya hari ini penuh, ramai, beragam. Aku putuskan untuk turun di Pasar Simpang bersama ibu yang mau belanja, bersama anak perempuannya. Ya, si ibu pasti mau berbelanja, sudah terlihat bahkan dari awal dia naik ke angkot. Hey, aku bukan cenayang ya. Tentu saja bukan, itu karena si ibu bawa tas belanja yang tepat untuk mengangkut belanjaan dari pasar. Ya, sebuah tas yang seharusnya menjadi tas tangan seorang ibu. 

Setelah dipikir-pikir. Aku berpikir loh sepanjang perjalanan. Ada banyak pekerjaan dan setiap orang bekerja keras untuk pekerjaannya. Hmm, sepertinya terlalu egois jika kubilang bahwa aku tak punya orientasi untuk bekerja. Sekarang keadaannya berubah. Aku ini anak pertama dan aku punya adik. Ya, sudah seharusnya aku bekerja dan membantu Bapa untuk menambah pemasukan keluarga. Aku harus bekerja ya?
***

Lampu merah perempatan Dago, cukup lama hingga pengamen hinggap di angkot dan mengharap receh. Dengan basa-basi sedikit, ia memainkan sebuah lagu dengan biolanya. Awalnya aku tak menangkap lagu apa yang dia mainkan. Yang ternyata lagu Coldplay. Dan bagiku, viva la vida hanyalah sebuah lagu yang dimainkan sumbang oleh pengamen di perempatan jalan. 
*


Bandung rasa Bulan. 
Plesiran ditinggal warganya plesir.
Dalam hari kedua dari #nulisrandom2017

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.