Aku Bahagia, Aku Istimewa


*
Hey, coba sekali-kali pakai hijab yang sedikit di model-model. Jangan lempeng saja seperti anak pesantren. Terlalu culun bahkan kaya emak-emak.

Hey coba sekali-kali kamu pake lipstick merah biar ga keliatan pucat. Lagian kamu juga udah dua satu tahun. Biar ga keliatan kaya anak SMA. Anak SMA aja bisa lebih hits.

Hey, coba sekali-kali kamu pake bedak biar ga kusam wajahnya dan bisa putihan dikit. Jadi flash kamera ga memantul dari jidatmu.

Hey, kalau bawahannya pake rok harusnya pake sepatu cantik.

Hey, coba sekali-kali selfie cantik. Masa cewe ga bisa selfie, gak hits dong. Biar tambah terkenal, panen banyak love di Instagram. Supaya orang kenal kamu dan bisa jadi ga jomblo lagi. Kan asik tuh kalo ada cowo yang suka liat fotomu dan akhirnya jadian deh.

Hey, coba sekali-kali instagrammu di update. Kan lumayan foto jalan-jalannya bisa di upload dan nambah follower.

Hey, coba sekali-kali makan cantik di café dan foto cantik lalu upload.

Hey, coba sekali-kali hedon, belanja beli baju cantik. Beli dress, beli peralatan make up, beli tas cantik di mall.

Hey, coba sekali-kali

Coba sekali-kali

Sekali-kali

Kali.
***
Pernah dengar tiga dari kalimat-kalimat di atas? 

Jika tidak berarti anda bukan target market tulisan ini. Saya menuliskan ini karena terjadi langsung dan hampir semua itu pernah saya dengar sendiri baik secara langsung maupun terbalut kalimat basa-basi lainnya. Ribet yah mau jadi cewe, hehehe. Apalagi saya adalah yang cuek dengan penampilan, sayangnya kecuekan itu kadang jadi hambatan bagi temen jalan buat selfie ataupun tampil ala-ala sosialita. Mereka bilangnya fotonya jadi tidak bagus. Bukan pose mereka yang ga bagus, bukan baju mereka yang kurang fashionable, bukan hijab mereka yang ga hits tapi karena saya yang tidak se-peduli mereka.

Dari dulu, sejak TK saya memang merasa berbeda dengan anak-anak lainnya. Sampai sekarang masih terasing, seolah saya bukan bagian dari kaum hawa. Merasa tersesat dan ya begitulah.

Saya tahu ada banyak kekurangan saya. Untuk seorang perempuan mungkin fisik saya kurang menarik dari kebanyakan perempuan lain. Oke, saya tidak putih bening ala mbak-mbak tivi jualan krim pemutih wajah [lagian saya juga bukan pelanggannya]. Kata mama saya, tipe kulit wajah saya itu yang bisa dijadikan pertambangan [baca: minyak berlebih]. 

Dulu sebelum berhijab, rambut cuma dikuncir bawah meskipun gondrong. Ketika yang lainnya berbangga dengan rambut hitam lurus rebonding yang digerai sampai melambai-lambai ditiup angin. Saya tipe yang gampang gerah bahkan hanya dengan melihat si mbak yang semacam itu. Sekarang udah dihijab jadi tinggal tutupi saja dengan kerudung dan selesai. Tapi bagi mbak-mbak sosialita dan melek fashion tidak cukup. Saya pake jilbab asal menutupi rambut dan juga dada, jadilah pilihan jilbab saya ya yang tipe anak pesantren. Kena kritik juga, hadeeh ribetnya. Muka polos ga pernah pake bedak atau foundation dan teman-temannya. Mata ga pake eyeliner, bahkan cenderung ada tanggul dam karena kebanyakan begadang. Bibir polosan warna pucat tanpa lipstick. Masalahnya bukan ga mau. Saya sih mau-mau aja tapi mau gimana lagi, bibir saya cenderung tidak cocok dengan lipstick. Makin dipake, makin kering dan pecah-pecah jadinya. Ditambah lagi, jemari saya begitu kreatif jadi kalo bibir kering dan pecah-pecah justru malah dikelupasin sama jari sampai berdarah-darah [meskipun perih, tapi ini seolah kebiasaan dari kecil dan ga bisa berhenti]

Kemudian, pertanyaan dalam diri saya adalah apa salahnya jadi perempuan yang berbeda dari yang lainnya. Ya inilah saya dan saya juga sudah berpuas dengan apa adanya saya. Bukankah akan jadi aneh ketika semua perempuan di dunia ini punya kepribadian yang sama. Bayangkan saja jika semua perempuan harus putih, rambutnya panjang dan jago berdandan. Pernah terpikir demikian? Sebenarnya jika dipikir lebih dalam lagi, perbedaan inilah yang menunjukkan kuasa Tuhan atas penciptaan manusia. Lalu mengapa si manusia yang notabene hanya makhluk ciptaan justru sibuk nyinyir dan ngiri sana-sini tentang ciptaan Tuhan. Mengeneralkan satu sifat makhluk bukankah bisa dibilang nyinyir terhadap kuasa Tuhan? Sudahlah, manusia itu dikatakan makhluk yang sempurna. Jadi stop nyinyir ketika orang lain tampil lebih cantik, lebih pinter dan ngiri karena situ ga secantik dan sepinter doi. Inilah yang coba saya terapkan betul dalam kehidupan pribadi. Dengan moto: saya sempurna karena saya menyadari keistimewaan saya sendiri.

Memang terdengar egois dan terlalu ‘mau menang sendiri’. Oke, egois atau apapun itu saya terima komentar dari anda. Tapi coba anda pikirkan lagi deh. Dengan saya ngomong bahwa saya sempurna karena saya istimewa, apakah ada bagian yang menyinggung anda? Apakah ada yang merugikan orang lain? Apakah keegoisan saya untuk tampil seadanya bisa membuat kerugian dalam hidup orang lain? Tentu ada, katanya. 

Mau bukti? Oke, ini kejadian nyata. Ketika suatu bulan Ramadhan saya dan teman-teman baru buka bersama dan akhirnya foto studio, ribet di fotonya. Jadi, sudah menjadi kebiasaan kalau habis foto studio pasti dipilih yang paling oke kan? Dan, kalau fotonya ga sendiri alias rame-rame otomatis dipilih yang mukanya paling oke dan terkondisikan di semua personel. Jadi, ada sedikit [menurut saya sih banyak] kegaduhan ketika teman-teman saya mulai berdebat untuk memilih foto terbaik yang akan dicetak dalam ukuran besar. Ketika muka si A, B, C, D terkondisikan eh ternyata muka si E dalam keadaan semrawut. Ketika muka E, A, B, C, D terkondisikan eh ternyata kaki si B ga elegan. Ketika kaki si B elegan eh ternyata hijabnya si A berantakan. Dan blah-blah-blah semuanya jadi semrawut. Saya kesel sendiri jadilah saya langsung bilang ke teman-teman untuk tidak usah khawatir jika yang tidak terkondisikan adalah tampilan saya. Toh saya sudah terbiasa punya banyak foto jelek kok. 

Kan? Mereka semua ribut hanya karena ketidak-fotogenik-an saya bisa menghancurkan kesempurnaan dan keeleganan mereka. Saya memang tidak pas diajak foto beregu apalagi dengan mereka yang selalu berdandan rapi untuk sebuah foto. Karena tentunya mereka akan post di Instagram dan saya yakin muka saya dan tampilan saya sungguh tidak Instagram-able. Karena pada dasarnya, seorang introvert tidak cocok hidup di antara semua riuh tepuk tangan karena tampilannya. Hohoho, jangan ditiru, ini teori saya sendiri. Nah jika kalian tahu kalau saya ini tidak fotogentik dan hanya akan menghancurkan status Instagram-able dan merasa dirugikan. Ya satu saran sih. Jangan atau gausah ajak saya berfoto bersama. Simple kan? Betapa terkadang manusia hanya meribetkan diri dengan persoalan sepele (Azania, 2017)

 Oke, terakhir deh. Tiap orang hidup dengan standarnya masing-masing. Men-general-kan standar itu sama dengan mengekang kebebasan individu dalam kreasinya masing-masing. Seseorang yang hobinya ngegambar, eh malah disuruh nari. Orang yang pinter pidato eh malah disuruh jadi psikolog. Seorang introvert malah disuruh public speaking. Seorang penyanyi disuruh bertani di sawah. Ya semua itu hanya andai-andai. Intinya semua orang pasti punya sisi istimewanya sendiri dan akan jenius di bidangnya masing-masing. Jadi persamaan standar jenius, hebat, cantik yang datangnya dari perspektif manusia sifatnya adalah relative. Karena penilaian yang nilainya mutlak adalah hanya dan selalu menjadi sifat Allah SWT, Tuhan semesta alam.

Sudahlah, berhenti nyinyir dan ngiri pada kesempurnaan orang lain. Kamu juga sempurna dengan caramu dan keistimewaanmu sendiri. Jangan juga mencoba menyamakan standar nyaman, standar cantik, standar baik seseorang hanya dari sudut pandangmu sendiri. Emangnya situ siapa? Emaknya? Mama saya aja ga begitu cerewet soal kejutekan dan kejombloan saya selama 22 tahun ini. [Meskipun kemarin tanya-tanya soal gebetan dan calon mantu, ekhm pura-pura tidur, hahaha]. Yap, begitulah intinya. Kalau buat saya sih; ga usah urusin urusan orang lain jika kamu sendiri masih punya banyak urusan yang harus diurus. Okedeh. Jangan nyinyir lagi ya. Jangan ngiri lagi yaa. Hahahahaha…

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.