The Missing Link O9



09 IVORY
*

Alastair meringkuk di tepian jeruji tempatnya dikurung. Ia menggigil karena malam begitu dingin menusuk-nusuk pori kulitnya. Para penjaga melemparnya ke kandang tanpa selimut maupun pakaian hangat. Ia hanya bisa menekuk tubuhnya, memeluk kedua kakinya untuk mendapat sedikit rasa hangat. Crispin benar, ia tak seharusnya memukul Giles. Bocah itu sudah menjadi anak kesayangan ayah. Tapi dalam hati, Alastair tak pernah menyesal karena ia memukul Giles. Yang ia sesali adalah kebodohannya tidak mau mendengar perkataan Crispin. Juga keadaannya saat ini. Sudah dua hari ia berada dalam kandang, tanpa selimut, tanpa makan dan minum. Sisa dingin dari hujan kemarin seperti masih menempel dalam dirinya. Ia berada di belakang istal, bahkan kuda-kuda mungkin tidur lebih nyenyak di kandangnya masing-masing. Beratap, makan enak, minum sepuasnya dan tidur nyenyak. Bibir Alastair bergetar saat ia menyeringai miris.

"Alastair," bisik seseorang dalam keremangan malam. Alaistair membuka matanya perlahan, ia mencoba mengatur fokus pada lambaian tangan di balik jeruji. Rambut ikal berwarna coklat pucat menyembul dari balik keremangan obor dari istal.

"Crispin," gumam Alastair. Ia pun menyeret tubuhnya agar mendekati Crispin. 

"Maaf aku datang terlambat. Aku membawa biskuit enak untukmu. Hari ini Tuan Giles pergi jadi aku bisa mencuri biskuitnya. Ayo makanlah, sudah kujadikan remah-remah supaya kau tak perlu mengunyahnya," kata Crispin bersemangat. 

Inilah yang membuat Alastair menyesali perbuatannya. Karena dia, Crispin jadi ikut terlibat dan melanggar peraturan. Jika ada penjaga yang mengetahui bahwa ia memberi Alastair makan, ia juga akan dihukum dan mungkin lebih berat. Crispin bahkan mencuri jatah biskuit Giles untuk diberikan pada Alastair. Sejak dua hari kemarin, Crispin selalu datang untuk memberi Alastair makan meski hanya satu dua suapan. Bahkan kemarin, ia membawa segelas susu.

"Buka mulutmu," kata Crispin. Ia selalu menyuapi Alastair karena kedua tangannya terbelenggu. Alastair tak berkata apapun, ia menuruti semua perkataan Crispin. Ia tak mau menyia-nyiakan perjuangan sahabatnya itu. Sudah terlambat untuk mengusir Crispin, Alastair sudah melarangnya berulang kali saat hari pertama ia dikurung. Tapi Crispin tetap saja datang dan membawakannya makanan. Karena itulah, Alastair harus menerimanya.
*

Sejak fajar, hujan sudah mulai turun. Awalnya hanya rintik lembut, yang kemudian menjadi lebat. Crispin hanya memandangi kandang tempat Alastair dikurung. Ia tak bisa berbuat apapun selain hanya melihatnya dari jauh sambil berharap cemas. Para penjaga berkumpul di istal, mereka bahkan sarapan dan bersantai di sana. Hujan masih juga belum reda bahkan bertambah lebat. Crispin semakin cemas, ia melihat Alastair menekuk tubuh dan memeluknya lebih erat lagi. Ia pasti menggigil dalam dinginnya pagi. Crispin tak tega melihatnya lagi, ia berniat menghampirinya. Tapi langkahnya didahului.

"Ayah, hujan di pagi hari tidak baik untuk kesehatanmu," kata Giles. Ia membawa payung dan mengekor di belakang ayah yang berjalan cepat menuju istal dan menghampiri para penjaga. Crispin mengamati dari kejauhan. Ia tak bisa mendengar apapun yang mereka katakan. Sepertinya ayah sangat marah, ia  bahkan memukuli para penjaga dengan tongkatnya. Giles terlihat kewalahan menenangkan ayah. Crispin segera masuk ketika melihat ayah sepertinya akan kembali. 

Masih di depan istal, Giles memaki, berseru dan mengumpat. Ia kesal, sungguh kemarahannya meledak. Ia menendang perut para penjaga yang masih tersungkur selepas dihajar ayah. Giles berkacak pinggang, tertawa lepas sambil menengadah memandangi langit yang masih kelabu. Ia tertawa lebih keras. Kemudian senyap ketika ia memandang ke dalam kandang dan tatapannya tertuju pada Alastair. Matanya dipenuhi kebencian.

"Keluarkan dia dan rawat dengan baik," kata Giles pada para penjaga yang babak belur. 

"Tapi tuan, bukankah kemarin beliau yang memerintahkan kami untuk mengurungnya?" tanya si penjaga.

"Kau mengabaikanku? Bukankah kau sudah mendengarnya sendiri? Ayah yang menginginkannya. Bawa dia masuk," kata Giles kemudian.

Si penjaga segera menuju kandang, membopong Alastair yang basah kuyup. Mereka segera membawanya masuk. Giles masih di istal, menunggu seorang slav menghampirinya dengan payung. Crispin segera berlari ke kamarnya ketika melihat penjaga membawa Alastair masuk. Ia menunggu di kamar cukup lama, tapi Alastair tak juga kembali ke kamar. Hingga waktu makan malam tiba, Alastair tidak juga kembali. Crispin menuju ruang makan seorang diri.

"Dimana kau sekarang, Alastair?"
*
Alastair berbaring di kasur empuknya. Ia berada di kamarnya yang luas nan megah. Selimut tebal nan hangat melapisi tubuhnya. Semerbak aroma lavender tercium dari belaian lembut sang ibu yang duduk di sisi ranjangnya. Dengan senyum indah, ibunya mengelus kepala Alastair. Di sisi kirinya, sang ayah sedang membaca buku ditemani alunan musik menenangkan. Ia menyapa Alastair dengan senyum indah pula. Mereka bertiga berkumpul, Alastair merasakan hangat pelukan ayah ibunya.

Semuanya mulai memudar. Yang ada di pandangan Alastair mulai memudar, ayah ibunya menghilang. Hanya ada keremangan dan gambaran buram. Alastair masih berbaring dengan semua kegaduhan. Kemudian ia hanya mendengar suara gaduh. Suara bentakan dan makian yang penuh dengan kebencian.

"Apa yang sebenarnya kau lakukan, bodoh!"  

"Maaf tuan."

"Kau belum bisa membuatnya terbangun hah? Seharian ini dia terbaring dan terpejam, dan kau masih berani menyebut dirimu dokter paling hebat di kota!" teriaknya. 

"Ayah, sudahlah. Nanti juga dia akan bangun," kata Giles. Akhirnya keheningan tercipta, mereka sudah pergi. Mendengar suara Giles, Alastair menarik senyum kemenangan. Ia menyeringai kemudian mengambil posisi duduk.

Alastair tak berada di kamarnya, ia tak berada di rumahnya. Ia tak juga berada di kamar para slav. Ia sendirian tanpa ayah ibunya. Ia bahkan tak melihat Crispin. Ia berada di kamar yang luas dengan perabotan lengkap dan terlihat megah. Meski tak semegah dengan kamar yang diingatnya. Lima slav dan satu pelayan masuk ke kamar Alastair. Mereka tersenyum bahagia melihatnya baik-baik saja.

"Sudah merasa lebih baik, Tuan?" tanya si pelayan. Alastair hanya mengangguk.

"Bawakan makanannya kemari. Tuanku perlu memulihkan kesehatannya. Tambahkan kayu ke perapian, ruangan ini harus hangat untuk tuanku," kata si pelayan memerintahkan satu per satu slav yang ada. Mereka menurutinya. Si pelayan mengambil mangkuk dan menyuapi Alastair.

"Biar aku melakukannya sendiri," kata Alastair. 

Si pelayan tak membantah. Ia menyerahkan mangkuk dan sendoknya pada meja dan membiarkan Alastair memakannya perlahan. Mereka semua berderet menungguinya makan. Si pelayan membisikkan sesuatu pada salah satu slav. Setelah itu si slav keluar kamar. Alastair masih tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang pasti, ini mungkin kabar baik.

Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki yang datang dengan terburu-buru. Ayah muncul bersama Giles dan tiga slav-nya. Ayah langsung menghambur ke ranjang Alastair, si pelayan mengambil mangkuk buburnya dan membereskan ruangan. Ia menyerahkan segelas susu dan Alastair segera menghabiskannya. Si pelayan dan lima slav yang datang bersamanya segera undur diri. Begitu juga slav Giles yang undur diri untuk menunggu di luar. Hanya tersisa Alastair, Giles dan ayah.

"Ternyata kau memang indah," kata Ayah. Ia masih memandangi Alastair dengan penuh kekaguman. Alastair masih datar tak menanggapi, ia justru tersenyum ketika melihat kecemburuan di wajah Giles. 

"Tuan..." gumam Alastair. Ia membuat nada suaranya begitu lemah hingga mengundang simpati. Inilah waktu yang tepat untuk bermain peran. Meski dalam hati ia merasa jijik, tapi ia tetap melakukannya. Menatap ayah dengan tatapan memelas, ia menjalankan siasat yang diajarkan Crispin.

"Oh sayangku, jangan panggil aku seperti itu. Aku ini ayahmu. Panggil aku ayah, sayang."

"Ayah..." balas Alastair. 

"Iya. Begitu sayang. Matamu indah. Lady Seraphina benar soal bola mata turquoise indahmu. Bagaimana mungkin aku melewatkanmu." Tangan ayah membelai wajah Alastair, ia pandangi matanya cukup lama.

"Apa panggilanmu, sayang?"

"Aku Alastair, ayah."

"Aku tak menyukainya, sayang. Tak begitu indah untukmu. Tak bertenaga untuk jiwamu. Kau adalah kemegahan dan kau adalah kebanggaanku. Kau tak bisa menggunakan nama itu saat berkenalan dengan Lady Seraphina. Mulai sekarang, akan kuberikan nama indah untukmu. Kau adalah Ivory, anak laki-lakiku yang berharga."

Alastair tersenyum.

"Giles, sapalah adik barumu," kata Ayah pada Giles. Alastair melihat Giles jelas-jelas semakin benci padanya. Meskipun saat ini dia tersenyum menyambut Alastair, ia sungguh tak bisa menyembunyikan cemburunya. Dan hal itulah yang membuat Alastair semakin menikmati kemenangannya.

"Selamat datang, Ivory," kata Giles manis.

"Terima kasih, kakak," balas Alastair, atau haruskah kita memanggilnya Ivory?

"Jadi sayangku, siapakah nama yang ayahmu ini berikan padamu?" tanya ayah.

"Aku adalah Ivory. Aku adalah anakmu, ayah."

"Kau anak kesayanganku, Ivory."
*

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.