The Missing Link 12


12 NIGHTFALL
*

Ivory duduk nyaman dan menikmati sajian makan malam dengan santai. Makan malam hari ini cukup lengkap karena Ayah dan Giles ikut meramaikan. Mereka tidak pernah berkumpul satu meja untuk makan malam, kecuali hari ini. Giles menatap tajam pada Ivory. Ia bahkan tak menyentuh piringnya sama sekali. Kemudian Giles menatap ayah yang tak juga makan. Menyadari keheningan itu, Ivory menghentikan makannya. Ia tersenyum manis.

“Aku suka cincinnya. Seperti kata ayah, warna turquoise nya sangat serasi dengan warna mataku. Lihatlah, jemariku bahkan sangat pas saat mengenakannya,” kata Ivory sambil memperlihatkan jemari tangan kanannya. Cincin bermata turquoise sudah melingkar di jari tengah tangan kanannya.

“Aku senang mendengarnya, sayangku.”

“Ayah tidak makan? Giles juga tidak makan? Padahal ini kali pertama kita makan malam bersama. Bukankah harusnya kalian juga lahap sepertiku?”

“Ivory,” panggil Giles. Tapi ia tak melanjutkan kalimatnya. Ia kembali diam dan membiarkan ayah yang menanganinya. Beberapa pelayan yang berdiri di belakang Ivory juga diam menanggapi keheningan penuh kecanggungan di ruang makan. Mereka hanya memantung dan menundukkan kepala.

“Siapa dia?” sergah ayah cepat.

Ia memerhatikan seorang bocah yang sedari tadi berdiri di barisan paling pinggir di belakang Ivory. Bocah kurus dengan rambut ikal berwarna coklat pucat. Bocah itu hanya diam gemetaran mendapat tatap tajam dari ayah. Ia menundukkan kepalanya sangat rendah sampai tak ada yang bisa melihat wajahnya.

“Dia mengenakan pakaian yang kuberikan untukmu. Beraninya dia mencuri darimu, kesayanganku. Akan kuhajar dia. Seorang slav harusnya belajar tentang etika!”

“Dia Crispin, slav dari istal. Aku baru saja menunjuknya sebagai slav pribadiku. Jadi kuharap ayah mengerti dan segera memindahkannya,” jawab Ivory enteng.

“Dan kau memberikan pakaian hadiah dariku untuk seorang slav?”

“Bukankah dia terlihat cocok mengenakannya? Jika ayah memang menyayangiku, setidaknya berikan aku pakaian yang lebih indah. Jadi aku akan dengan senang hati mengenakannya.”

“Sayangku,” gumam ayah.

“Aku hanya ingin ayah memindahkan posisi Crispin malam ini juga. Bukankah ayah bisa melakukannya untukku?” ayah masih diam di kursinya. Ivory segera menghampirinya, memeluknya dari belakang dengan manja.

“Ayah bisa melakukannya untukku, bukan?” ulang Ivory.

“Tentu saja. Aku bisa melakukan apapun untukmu, sayangku.” Ivory mendaratkan kecupan manja di pipi kiri ayah.

“Terima kasih ayah,” kata Ivory centil. Ia bahkan langsung berlari sembari menggandeng Crispin. Meninggalkan ayah yang geram dan Giles yang semakin kesal dengan ulah Ivory.
*

“Ivory, apa ini akan baik-baik saja?” tanya Crispin. Ia berbaring di samping Ivory.

“Tentang ayah?”

“Tentang kau juga. Bukankah sudah kubilang bahwa slav tidak boleh melihat ataupun terlihat oleh tuannya? Kau malah membawaku ke acara sepenting makan malam ayah dan anak-anak kesayangannya. Kau bahkan menuntut ayah untuk memindahkanku.”

“Ada yang salah dengan permintaanku?”

“Bukankah permintaanmu terlalu berat. Kau mempertaruhkan banyak hal hanya untuk seorang slav.”

“Bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku bahwa posisiku saat ini adalah raja. Bahwa tidak ada yang bisa mengusikku selama Lady Seraphina masih bersamaku? Lagipula, kau bukan hanya seorang slav dari istal. Kau adalah temanku, sahabatku Crispin. Aku tak akan membiarkanmu hilang.”

“Kudengar, kau tidak sopan pada Lady Seraphina hari ini? Kau menggenggamku erat tapi kau malah melepas Lady Seraphina. Sepertinya kau tidak sadar dengan itu.”

“Aku sangat sadar dengan apa yang kulakukan, Pin. Aku menangani Lady Seraphina dengan caraku sendiri. Aku yakin dia pasti akan kembali. Aku tak akan pernah kehilangan dia, apalagi menghilangkannya. Karena saat tangan Ivory menggenggam sesuatu, maka ia tak akan kehilangannya. Ivory akan menggenggamnya erat-erat mungkin sampai hancur.”

“Kau terlalu percaya diri.”

“Tenang saja, aku tahu lebih banyak soal perempuan.” Crispin tertawa mendengar jawaban Ivory. Kemudian keheningan melanda. Keduanya menikmati diamnya masing-masing.

“Pin, apa ayah begitu berarti buatmu?”

“Entah mengapa, begitulah yang kurasakan. Padahal aku tahu hidupku di sini selama empat tahun tidak begitu menyenangkan. Tapi aku seperti berhutang sangat besar pada Tuan Saphiro.”

“Mengapa begitu?”

“Dia menjadi satu-satunya orang yang peduli padaku setelah kejadian malam itu. Aku melihat banyak mayat tergeletak di jalanan, di depan rumah, di pasar, di gereja, di kebun-kebun. Itu sangat menyeramkan. Ayah dan ibuku juga meninggal. Sementara anak-anak lain berlarian ke kota, aku hanya diam dan meratap.”

“Kau juga mengalaminya.”

“Kemudian api menghanguskan semuanya. Berkobar dan terus melahapi bangunan sampai hujan turun dan memadamkannya. Lalu aku tergeletak sendiri di tengah jalan. Kedinginan dan ketakutan. Kupikir saat itu aku akan mati. Ternyata Tuan Saphiro datang, ia menyambutku dengan kehangatan. Aku bahagia karena dia telah menemukanku di malam itu.”

“Apa menurutmu, dia orang baik?”

“Dia mau memungutku dan terus membuatku hidup selama empat tahun ini. Ia memberi bocah tak berguna ini tempat untuk tinggal dan makan, kenapa pula harus kupertanyakan kebaikannya.”

“Ya, dia memang dermawan,” sambung Ivory. Ia mengatakannya hanya untuk menghibur Crispin.

“Jangan meragukan kebaikan orang lain, Ivory. Aku tahu pasti banyak hal yang terjadi padamu juga. Tapi jangan lupakan bahwa ada orang-orang yang juga peduli padamu. Bahkan kesedihan itulah yang membuat kita bertemu. Meskipun pertemuan ini justru terjadi di tempat yang tidak menyenangkan. Tapi buatku, bertemu denganmulah yang menjadikan tempat ini terasa menyenangkan. Kau seperti sebuah harapan. Bolehkah aku mengatakannya demikian?” tanya Crispin. Tapi ia tak segera menemukan jawaban. Ivory sudah terlelap. Crispin tersenyum.

“Selamat tidur, temanku. Selamat tidur, harapanku. Selamat tidur, Alastair,” bisik Crispin.
*

Ivory menikmati sajian teh di sore hari. Ia menikmati sajiannya, udaranya dan suasananya. Hanya satu yang ia benci, yaitu harus satu meja dengan Giles. Meja tak lagi terasa seperti layaknya meja santai dengan pembicaraan hangat. Meja itu tak lebih dari sebuah garis pembatas antara dua kubu. Masing-masing menderetkan para pengikutnya di belakang kursi, di belakang meja. Tentu saja tak ada yang melanggar garisnya.

Ivory masih terus mengaduk cangkir tehnya. Entah sudah ia lakukan berapa belas menit, mungkin tehnya malah sudah dingin. Seorang pelayan berdiri di sampingnya, menyajikan kudapan-kudapan teman minum teh. Tiga slav berderet di belakang kursinya, termasuk Crispin yang berada di ujung paling kanan. Di kubu Giles juga begitu, ia bersama seorang pelayan dan lima orang slav.

“Tehnya jadi dingin,” kata Ivory memecah kebisuan. Si pelayan segera mengganti cangkir tehnya dengan yang baru, dan yang masih hangat. Ivory tersenyum ke arah Giles, bocah itu masih saja menyibukkan diri dengan membaca buku.

“Aku tidak menyangka akan dipungut dan dipelihara di rumah ini. Tadinya kupikir akan mati terlantar di tengah jalan. Kejadian malam itu sungguh menyeramkan,” kembali Ivory berujar. Tapi Giles sama sekali tidak menanggapinya.

“Hey, aku berusaha ngobrol denganmu Kakak Giles,”

“Menjijikan,” gumam Giles.

“Iya memang begitu. Rumah ini dan segala hal yang ada di dalamnya memang menjijikan. Pertemuanku denganmu dan keharusan aku memanggilmu kakak termasuk hal yang paling menjijikan. Bahkan duduk berdua di sini, aku sudah jijik.”

“Kaupikir aku bahagia dan bisa dengan senang hati menyebutmu sebagai adikku?” balas Giles.

“Memang sih kau lebih tua dariku. Berapa umurmu? Sepertinya tujuh belas. Sedangkan aku baru lima belas. Kau juga sudah menjadi kesayangan ayah sejak setahun lalu, yang artinya kau lebih dulu berada di rumah ini daripada aku. Kau memang layak dipanggil kakak,” ujar Ivory.

“Kau memang banyak omong, bocah sialan!”

“Tuan…” sela pelayan Giles.

“Kuperintahkan kalian untuk menutup mata dan telinga juga mulut atas pembicaraan sore ini. Hari ini aku akan berbincang khusus dengan Tuan Giles. Jika kalian ada yang membocorkannya, aku tak bisa menjamin kalian akan hidup!” kata Ivory arogan. Semua pelayan dan para slav membungkuk mengiyakan perintah Ivory. Giles juga sepertinya menyetujui ajakan bicara itu. Ia mulai terpancing untuk menanyakannya.

“Apa yang ingin kau bicarakan? Tentang hadiah dari ayah? Kau masih belum puas? Kau mau meminta selusin slav?”

“Aku hanya ingin tahu tentangmu.”

“Tak ada yang menarik.”

“Ceritakan saja. Keheningan ini terasa lebih menjijikan daripada harus mendengar ceritamu.” Giles menutup bukunya. Ia letakkan di atas meja, lalu menatap Ivory lekat-lekat.

“Apa kau juga anak terlantar?” Giles menggeleng.

“Sejak awal, aku sudah istimewa. Aku memang berbeda dari yang lainnya karena itulah ayah menyayangiku lebih dari semuanya.” Ivory menyimak.

“Orang tuaku bekerja di workshop, hanya itu yang kutahu. Lalu malam itu, mereka berdua tidak pulang ke rumah. Hanya sekelompok orang asing yang datang. Mereka menerobos masuk dan membawaku dengan paksa. Mereka menculikku hingga Tuan Saphiro datang dan menyelamatkanku.”

“Jadi apa itu workshop? Kau bilang orang tuamu bekerja di sana, kau pasti tahu banyak soal apa yang mereka kerjakan.” Sayangnya Giles menggeleng.

“Aku tidak ingat apapun mengenai pekerjaan orang tuaku. Yang kuingat hanya malam ketika Tuan Saphiro menyelamatkanku.”

“Tidak menarik. Kupikir aku bisa tahu banyak soal workshop darimu.”

“Dari pencarianku sendiri, workshop adalah organisasi legal yang dibentuk untuk menampung para ahli. Tentu saja dari berbagai sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, militer dan lainnya. Hanya ada sepuluh ahli yang mengisi satu sektor workshop.”

“Jadi itu adalah tempat para jenius berkumpul? Ayahmu, jenius apa?”

“Entahlah. Aku bahkan sudah lupa nama mereka dan nama yang diberikan keluargaku. Seakan aku tak pernah hidup dengan mereka. Karena aku adalah Giles, anak kesayangan Tuan Saphiro.”

“Ah, pembicaraan ini mulai tak berguna,” gerutu Ivory. Dia kemudian bergegas meninggalkan taman beserta pelayannya. Sementara para slav membersihkan meja. Giles memendam rasa kesalnya saat ditinggalkan sendiri.

“Sepertinya kita juga harus kembali, Tuan,” ajak pelayan Giles. Tapi yang ia dapat hanya siraman air teh di wajahnya.
***

1 komentar:

  1. Ini adalah end of story The Missing Link di Chapteranian. Saya mohon maaf. Bagi yang masih ingin baca kelanjutannya, silahkan komen alamat emailnya. Nanti akan saya kirimi full story.

    Maaf sekali lagi dan terima kasih sudah mampir untuk membaca. Salam hangat, Adz.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.