The Missing Link O4


O4 THE UNPLEASANT QUOTIDIAN
*

Alastair mengekori langkah Crispin, mereka menuju ruang karantina untuk mengantar makanan bagi slav istal yang sakit. Ya, kemarin malam ada tujuh slav dari istal yang demam. Bahkan katanya bukan hanya dari istal, dari bagian lain juga ada yang mengalami gejala serupa. Karena ditakutkan mewabah, akhirnya mereka dikumpulkan dalam satu ruangan besar.

“Ah itu mereka,” seru Crispin girang. Sementara Alastair hanya ikuti Crispin, ia bahkan tak mengenal mana slav dari istal. Karena mereka semua bercampur dalam ruangan yang melebihi daya tampungnya. Ada puluhan slav dalam ruangan itu. Mereka berdua segera menghampiri slav istal yang sakit. Mereka meringkuk di pojokan yang sama, ya semuanya, bertujuh.

“Bagaimana kabarmu, kawan? Sudah lebih baikkah?” tanya Crispin ramah. Alastair meletakan tujuh mangkuk sup yang dibawanya. Crispin menyerahkan mangkuk itu satu persatu.

“Makanlah dan kembali sehat,” katanya.

“Kau memang pantas jadi pemimpin kami, Pin,” kata si sakit. Yang lainnya hanya tersenyum mengiyakan. Crispin menaburkan bawang goreng rahasianya di masing-masing mangkuk.

“Itu rahasia agar kalian cepat sembuh,” kata Crispin lagi. Alastair tak begitu peduli dengan ramah tamah Crispin dan tatapan kesal dari slav lainnya. Ia hanya fokus pada seisi ruangan, ia memerhatikan pada slav lain yang terlihat baik-baik saja. Meski memang ada beberapa yang masih berbaring. Alastair bangkit.

“Hey, kau mau kemana Alastair?” tanya Crispin.

Alastair tak menjawab apapun. Dia berkeliling dan memeriksa suhu tubuh mereka yang ada di ruangan secara acak. Mulai dari mereka yang sedang duduk-duduk hingga mereka yang masih terbaring. Alastair terus melakukannya meski beberapa slav terlihat kesal dengan ulahnya. Setelah memeriksa lebih dari belasan slav, Alastair kembali ke pojokan slav istal. Ia juga memeriksa suhu tubuh mereka. Alastair meletakkan telapak tangannya di kening bocah di hadapannya.

“Dia memang aneh, kan?” kata Crispin.

“Mereka baik-baik saja, Pin,” kata Alastair. Crispin segera merangkulnya dan membawanya berpamitan. Mereka keluar dari ruangan.

“Pin, bagaimana jika mereka hanya berpura-pura sakit supaya bisa bersantai dan meningalkan pekerjaan? Kau lihat sendiri kan? Mereka baik-baik saja.”

“Alastair, aku tahu kau memang aneh. Tapi aku rasa itu tidak mungkin. Toh yang mengumpulkan mereka di sini adalah para pelayan dan penjaga. Tidak mungkin ada yang berbohong hanya untuk bersantai. Sudahlah, ayo kembali bekerja.”
*

Alastair menuntun seekor kuda kembali dari padang rumput di belakang rumah. Ia berada di barisan paling belakang di antara iring-iringan lima kuda lainnya. Ia gunakan kesempatan ini untuk menikmati udara sore yang benar-benar segar, jauh dari semua hiruk pikuk. Alastair sengaja mengambil langkah pelan hingga ia tertinggal cukup jauh di belakang. 

Derap langkah dari balik tembok pagar membuat Alastair penasaran, ia segera mengintip dari baliknya. Puluhan slav berjalan dalam barisan, kedua tangan mereka terikat. Mereka menuju sebuah pedati di ujung jalan. 

“Kemana mereka akan dibawa?” pikir Alastair. 

Selain para slav, si pelayan kekar yang membawanya juga ada di sana. Mengomando langkah para slav agar bergegas. Tak lama kemudian, seorang pria brewok menghampiri si kekar. Mereka terlihat saling kenal. Mereka pun langsung berbincang, sementara Alastair menajamkan telinganya untuk dapat mencuri dengar.

Workshop kami kekurangan bahan. Beruntunglah Tuan Saphiro selalu siap sedia untuk kami. Karena itulah kami setia jadi pelanggannya,” kata pria brewok itu sambil terkekeh. Dia segera pergi menuju kereta kuda yang mengiring pedati. Barisan juga semakin menyusut, sebagian besar dari slav sudah terangkut.

Workshop?” gumam Alastair. Ia memperhatikan satu persatu wajah para slav yang tersisa.

“Mereka adalah para slav yang sakit dan berada di ruang karantina. Mereka memang baik-baik saja. Tapi untuk apa dan mengapa mereka dikumpulkan disini? Apa pula workshop yang dimaksud si brewok?”

Seorang slav tiba-tiba melarikan diri dari barisan. Slav yang lain mulai gaduh, ada pula yang ikut lari. Hingga kemudian mereka roboh karena satu tembakan dari senapan si kekar.

“Yah, kau membuangnya sia-sia,” kata si brewok dari dalam kereta kuda.

“Ah, maafkan saya tuan. Saya bisa carikan penggantinya.”

“Tidak usah. Aku sedang terburu-buru.”

Alastair masih menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Jantungnya berpacu cepat. Matanya masih membelalak ngeri ketika melihat kepala dua bocah itu dilubangi peluru. Tangannya bergetar hebat. 

“Ada yang janggal di tempat ini.”

Pedati mulai bergerak, Alastair memperhatikannya. Ia mencari lambang keluarga ataupun lambang organisasi yang mungkin menjadi identitas si pria brewok dan tujuan akhir para slav. Ia tak kunjung menemukannya. Hingga kuda bergerak dan ia mengingat hal yang penting. Alastair menunggangi kuda gembalanya dan memacunya cepat agar menjajari si pedati. Setiap kuda yang dimiliki perseorangan maupun organisasi, akan terdaftar di pemerintah sebagai objek pajak. Karena itulah sang pemilik akan menandainya dengan cap dari logam panas di atas kaki belakangnya. Alastair terus memacu kudanya. Dan benar saja, ia menemukan lambang tersebut.

Lambang dengan huruf S dalam lingkaran. S yang terpecah jadi dua bulan sabit. Alastair kembali memperhatikan, namun jalan keduanya terpisah. Alastair telah sampai pada pagar pembatas padang, sementara pedati terus melaju mengikuti jalan. Dua bulan sabit dalam lingkaran, hanya itu yang ia dapat.

“Bulan sabit dalam lingkaran? Dua bulan sabit yang saling berkebalikan, membentuk huruf S. seperti…” tangan Alastair bergetar hebat, kepalanya pening dengan sangat. Sebuah memori seperti menusuk ingin keluar dari kotaknya. Ia merasakan malam itu. Pegangan Alastair terlepas dari tali kekang, ia jatuh berguling.

“Lambang yang sama seperti malam itu,” gumam Alastair.
*

“Alastair, apa yang terjadi dengan wajah tampanmu?” tanya Crispin cemas saat melihat lebam di pipi kiri Alastair.

“Aku terjatuh saat membawa pulang kuda dari padang.”

“Pantas saja kau terlambat pulang. Ayo nyalakan lilinnya dan ikut doa malam sebelum makan,” ajak Crispin. Ia bahkan sudah menyalakan sebatang lilin untuk Alastair.

“Berdoa?”

Tanpa jawaban, Crispin sudah membawa Alastair ke ruang makan. Sudah banyak lilin yang menyala di pinggiran ruangan. Lilin-lilin itu dideretkan rapi mengelilingi ruang, Crispin juga meletakkan lilinnya di tempatnya. Alastair juga meletakkan lilinnya. Mereka duduk tenang di ruang makan. Benar-benar tenang tidak seperti biasanya. Bahkan mangkuk-mangkuk makanan sudah terhidang di meja sesuai jumlah para slav yang duduk mengelilinginya. Menu makannya juga lengkap, bahkan ada tambahan dua iris daging di setiap mangkuk.

“Crispin,” panggil si pelayan. Ini juga tidak biasa, si pelayan ikut duduk di ruang makan dan menghadapi mangkuk yang isinya sama. Crispin langsung mengangguk seolah sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Ia berdiri tegap, seluruh slav fokus padanya.

“Terima kasih Tuhan karena telah memberi kami makanan hari ini. Semoga Tuhan juga menjamu teman-teman kami dengan baik di surga. Amin,” kata Crispin. 

Alastair terbelalak dengan doa Crispin.
***

Note Author:
Maafkan karena kemarin hilang dari peredaran. Ada hal di dunia nyata yang menghambat proses menulis saya, huhuhu maafkan. Sekarang sudah episode empat dan hari ke sembilan. Semoga terselesaikan yaa.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.