The Missing Link O3


03 CRISPIN
*

Alastair masuk ke sebuah ruangan di bagian belakang rumah. Sebuah kamar, yang lebih mirip seperti ruang penampungan. Alasnya hanya ubin dan beberapa slav tiduran santai bergerombol. Hanya ada lima ranjang susun tiga yang nampak lusuh di pingirannya. Bau tidak sedap dari aroma keringat para slav juga seketika menguar. Alastair hanya melihatnya tanpa bisa mengungkapkan rasanya harus tinggal di ruangan itu.

“Kalian dapat teman baru. Tujuh slav baru untuk istal,” kata si pelayan. Dia meninggalkan Alastair dan enam bocah lainnya di ambang pintu. Keenamnya mulai masuk dan berbaur dengan para penghuni lama. Mereka membungkuk, tersenyum seolah menghaturkan hormat pada penghuni ruangan. Alastair masih tetap diam di tempatnya. Ia masih memeluk pakaian yang diberikan si pelayan, sementara tubuhnya masih hanya terbalut kain katun tipis. 

“Hey kau! Apa kau akan diam saja di sana?” Alastair hanya menatap slav yang mengajaknya bicara. Masih tanpa kata. Hingga slav lain menimpali.

“Aku tak suka tatapanmu!” serunya dengan nada meninggi. Alastair juga hanya menatapnya.

“Kau memang menyebalkan,” lanjutnya. Ia segera menghampiri Alastair dan memukulnya. Alastair terjungkal, ia segera bangkit dan balik menyerang si slav. Pekelahian terjadi, tidak ada yang melerainya. Slav lainnya justru seperti bahagiamendapatkan tontonan menarik. Si slav nyaris kalah, Alastair berdiri dan menendangi perut bocah yang hanya bisa meringis menahan sakitnya. Ia meringkuk melapisi kepalanya dengan kedua tangan.

“Aku tidak suka nada bicaramu,” kata Alastair. Ia memungut kain katun dan pakaiannya.

“Aku juga tidak suka berhutang. Jadi pukulanmu aku kembalikan,” lanjutnya. Saat Alastair hendak mengenakan pakaian, lima slav memeganginya. Kemudian seluruh penghuni ruangan beruntun menghajarnya. Di tengah pergumulan, seseorang menarik lengan Alastair dan mengeluarkannya dari kerumunan.

“Hentikan. Apa sih yang kalian pikirkan! Jika pelayan mengetahui keadaan ini, kita semua yang akan terkena hukuman. Apa kalian sudah meupakannya!” katanya lantang. Dengan sisa ruang mata yang masih terbuka, Alastair melihat slav itu menolongnya. Slav yang memandikannya, Crispin.

“Pin,” gumam Alastair. Crispin mendengarnya, ia tersenyum pada Alastair. Lalu merangkulnya.

“Dia ini temanku, seperti kalian juga!” kata Crispin lagi.

Seluruh ruangan menjadi tenang. Tidak ada yang membantah Crispin, mereka bahkan membukakan jalan untuknya dan Alastair. Crispin membawa Alastair keluar. Alastair duduk di kursi kecil ruang pemandian. Crispin hanya memandangi wajah Alastair yang lebam dan di beberapa titik berdarah. Tatapannya cemas, ia segera menyeka luka Alastair dengan handuk basah.

“Kenapa mereka seperti itu?” tanya Alastair.

“Harusnya aku yang bertanya padamu begitu. Kau tadi berada di ruangan para slav, setidaknya jangan cari musuh di rumahmu sendiri.”

“Aku hanya jujur mengatakan apa yang kusuka dan apa yang tidak kusuka. Aku tidak suka ruangannya dan aku juga tidak suka cara bicara bocah itu. Itu jadi kesalahanku?”

“Yap. Meskipun kau tidak menyukainya, jangan tunjukan bahwa kau tidak suka. Aku juga tidak suka tempat ini awalnya. Tapi aku menahannya dan bertahan di sini. Teman-teman yang lain juga seperti itu. mereka tidak menunjukkan ketidaksukaannya karena hanya itulah cara bertahan hidup di ruma ini.”

“Itu akan sulit,” balas Alastair.

Hmm, ya itu memang sulit. Tapi coba saja. Kami semua para slav yang tinggal di rumah ini juga begitu. Kami mencoba bertahan. Jadi apa kau ma mecobanya, Alastair?” Crispin memandangi Alastair lekat-lekat dan membuat wajahnya memerah. Crispin seperti sedang menaruh harapan tinggi pada Alastair.

“Aku akan mencobanya dengan caraku sendiri,” kata Alastair kemudian.

“Aku siap menjadi pemandumu. Mulai sekarang kita teman kan? Saat kita kembali ke kamar, cobalah untuk minta maaf pada semuanya.”

“Aku yang harus meminta maaf?”

“Tentu. Kau yang paling muda.”

“Paling muda? Bahkan kupikir aku lebih tua darimu, Pin. Berapa umurmu?”

“Aku Crispin, usiaku tiga belas tahun dan aku sudah berada di rumah ayah selama empat tahun. Sedangkan kau, Alastair, usiamu lima belas tahun tapi kurang dari dua puluh empat jam berada di rumah ayah. Jadi sekarang kau paham aturannya?” tegas Crispin. Alastair hanya mengangguk pasrah.
***

Alastair sibuk menyikat lantai istal, membersihkan permukaannya dari sisa-sisa kotoran kuda. Crispin sudah mengangkut semua kotoran itu dan membuangnya ke lubang pembuangan di belakang istal. Keringatnya bercucuran, belum lagi bau kotoran kuda yang masih menyengat. Kakinya juga telanjang menyentuh lantai istal. Sudah lima hari ia bekerja di istal tapi ia tetap belum terbiasa dengan baunya. Alas air berlari keluar istal untuk menghirup udara segar. Ia lepas kain penutup hidungnya, berjongkok di atas rerumputan dan memandang jauh. 

Tempat ini sungguh tak pernah dibayangkan sebelumnya. Ia bahkan tak pernah berpikir bahwa tempat seperti ini ada. Mereka diperintahkan untuk bekerja tanpa ukuran jam kerja. Kapanpun ada pekerjaan, mereka pasti dipekerjakan. Dan selalu ada pekerjaan, apapun itu. mereka tidur bertumpuk di satu ruangan, tanpa kasur, tanpa selimut dan di ruangan tanpa ventilasi maupun jendela tempat masuk cahaya matahari dan udara. Pengap lembab dan bau tidak sedap. Setidaknya Alastair merasa beruntung karena bisa berbagi tempat tidur di ranjang susun bersama Crispin. Kebersihan dan kesehatan mereka juga tak diperhatikan. Mandi dua kali sehari menjadi hal paling mewah yang dimiliki para slav. Mereka mandi di ruang pemandian yang airnya terbatas. Bahkan para kuda mendapat jadwal mandi dan tempat mandi yang lebih baik. Lagi-lagi Alastair merasa beruntung, Crispin mengajarinya untuk mandi di tempat pemandian kuda di waktu-waktu tertentu. Alhasil, dia mandi setidaknya satu kali sehari. Untuk makanan juga tidak layak, setiap hari mereka hanya makan bubur gandum encer tanpa rasa dan yang paling mewah adalah kentang tumbuk rasa lada hitam. 

“Kau sudah selesai menggosok lantainya?” tanga si pelayan istal yang datang menuntun dua ekor kuda. Alastair langsung terlonjak, ia bangun dari lamunan dan segera menyelesaikan pekerjaannya.

“Akan kuselesaikan segera,” katanya.

Ia kembali menggosok lantai, tinggal satu blok lagi. Crispin belum juga kembali. Ada kemungkinan dia sudah menyelesaikan pekerjaannya dan langsung ke ruang makan untuk mengantri di barisan terdepan. Alastair membereskan ember dan semua peralatan bebersihnya. Si pelayan dibantu beberapa slav memasukkan kuda ke masing-masing blok kandangnya.

“Kerja bagus semuanya. Jangan ketinggalan makan atau kau akan menunggu sampai giliran makan malam,” kata si pelayan setelah semua slav yang tersisa dikumpuulkan. Semuanya hanya menjawab serempak kemudian bubar. Kebanyakan dari mereka segera berlarian kencang, sudah pasti menuju ruang makan. Sementara Alastair malah masuk ke ruang pemandian. Ia membersihkan diri sebelum menuju ruang makan. Benar saja, saat Alastair masih berbaris menunggu piringnya terisi, Crispin melambai padanya. Ia sudah duduk dengan piring makanan yang sudah didapatnya. Ia tersenyum lebar.

“Kau terlalu lama,” protes Crispin begitu Alastair duduk di sampingnya.

“Ayo makan. Aku sudah kelaparan dari tadi,” lanjutnya.

“Kalau kau lapar, ya makan saja. Buat apa menungguku?” jawab Alastair ketus.

“Aku tahu kau tidak suka makan sendirian kan? Selamat makan, Alastair.”

Alastair menyantap kentang tumbuk dengan enggan. Sementara Crispin sangat lahap seperti biasanya. Crispin menaburkan sesuatu di atas piring Alastair. 

“Aku mendapatkannya dari tukang kebun. Hari ini dia mengangkut semua kotoran kuda yang harusnya kubuang. Sebagai bayarannya, ia memberiku bawang goreng,” bisik Crispin. Alastair tersenyum mendengarnya. Ia langsung lahap menyantap makanannya sebelum slav lain tahu dan cemburu. Sekali lagi, Alastair merasa beruntung bersama Crispin.
*

Saat petang, Crispin mengajak Alastair ke padang tempat biasanya kuda digembalakan. Mereka berdua mencuri-curi kesempatan untuk menyelinap setelah menyelesaikan semua pekerjaan. Mereka berdua berbaring di atas rumput padang yang empuk, bahkan bagi Alastair terasa lebih empuk daripada kasur di kamar mereka. Alastair memandangi langit yang mulai memunculkan semburat jingga. 

“Sepertinya sudah sangat lama sejak terakhir aku melihat senja,” kata Alastair.

“Indah bukan?”

Alastair tak menjawab. Ia hanya fokus pada senja dan memikirkan kembali saat-saat sebelum ia terpenjara di tempat ini. Tapi ia tak menemukan apapun. Yang ia ingat hanya malam sisa tragedi. Yang ia ingat hanya malam saat ia dipungut dan masuk ke pedati. Yang ia ingat hanya saat ia terbangun di ruang mandi kemudian ia berakhir di sini. Seekor kucing mendekati Alastair, ia menjilati wajah Alastair.

“Kucing ini?” tanya Alastair, ia segera mengarahkan pandangnnya pada Crispin.

“Ya, aku sudah memandikannya. Diam-diam aku memberinya makan. Ia cukup pengertian dengan keadaan kita. Bahkan ia menerima saja ketika kuberikan sisa bubur gandumku untuknya. Ia tidak pemilih, benar kan kucing baik?” kata Crispin sambil memeluk si kucing. Crispin duduk dan meletakan kucing itu dalam pangkuannya.

“Siapa namanya?” tanya Crispin.

“Kucing itu?” Crispin mengangguk. Alastair bahkan tak punya jawaban atas pertanyaan Crispin. Ia bahkan tak ingat kucing siapa itu. Yang Alastair ingat hanya pertemuannya dengan kucing itu. Kucing itu menjilati hidungnya dan mereka bertemu di malam tragedi. Kucing itu dan Alastair, sepertinya hanya merekalah yang tersisa dari malam.

“Aku tak tahu. Dia hanya seekor kucing, Pin.” Crispin merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sesuatu, Alastair duduk dan memperhatikan.

“Aku menemukan morel berry di semak-semak menuju kemari. Makanlah, mereka tidak akan memberi kita buah-buahan. Ini kesempatan langka dan terbatas. Karena itulah aku mengajakmu kemari. Ayo cepat habiskan lalu kembali untuk makan malam.”

“Ya, makan malam sudah dekat,” balas Alastair. Crispin memakannya dengan lahap. Ia bahkan menyisakan muray berr yang benar-benar sudah matang untuk Alastair. Sesekali Alastair melihat dahi Crispin berkerut menahan rasa asam dari muray berry yang dimakannya.

“Hey Pin,” panggil Alastair. Ia menyerahkan dua buah morel berry yang matang pada Crispin.

“Aku beruntung memilikimu.”

“Ah, bagaimana kalau kita namakan Morel?” kata Crispin kemudian. Tangannya sibuk mengelus-elus kucing yang diberinya nama Morel.

“Morel.”
***


Note Author:
Hmm, telat update ya maafkan. #nulisrandom2017 hari ke enam dan The Missing Link episode ke-3. Yuk berbagi kerandoman dalam naungan Beautiful Random Things.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.