Ballerina

Kaki berjingkat, tubuh meliuk indah diselingi musik lembut mengalun. Satu demi satu kaca di dinding memantulkan bayang gemulai sang ballerina. Tak ada siapapun lagi. Hanya dia, musik dan tariannya. Di ruangan luas putih nan lapang, hanya ada dia, berlatih dan terus berlatih. Berjingkat, melompat, jatuh, bangkit lagi dan kembali begitu seterusnya sampai tak terhitung.

Satu lagu berakhir. Tapi bukan berarti latihannya juga ikut usai. Musik hanya semacam penanda baginya untuk diam sejenak mengistirahatkan tubuh yang berpeluh. Duduk di sudut ruangan dekat tape besar, temannya. Perlahan mengurut pergelangan kaki, mengendurkan sepatu dan minum seteguk. Suara panggilan terdengar. Seseorang melangkah menuju ruang latihannya. Sang pelatih datang untuk mengirimkan beberapa lagu lagi. Juga membawa kabar gembira. Tiket pertunjukannya ludes terjual. Bagi sang pelatih itu memang kabar bahagia. Tapi bagi sang ballerina, belum tentu.

*

Senyum sempat mengembang, tapi langsung meremang digilas jadwal latihan yang semakin mengikat. Hari-hari menuju momen akbar itu dihabiskannya di studio latihan. Masih berteman kaca-kaca lebar di dinding. Ia pandangi wajah lelah dalam bayangan cermin. Itukah dirinya? Ia bahkan mulai gamang dengan dirinya dan dunia ballet yang dicintainya sejak kecil. Masihkah dia menyukai ballet? Masihkah dia menari untuk kebahagiaannya? Benarkah konser besar itu impiannya?

Alunan musik berhenti, ballerina menghentikan aksi dengan anggun. Tapi tak ada riuh tepuk tangan, juga tak ada receh di kaleng penampungnya. Memang ini bukan panggung besar dan dia bukan bintang besar. Dia hanya pengamen jalanan. Menunjukkan bakatnya untuk uang. Mengumpulkan uang untuk membeli sepatu ballet baru. Tapi apa daya, ia memang terabaikan.

Sebuah sepatu ballet indah tiba-tiba masuk ke kaleng recehnya. Seorang wanita cantik yang berdiri ditopang tongkat tersenyum ke arahnya. 
***

Plesiran, 9 November 2016

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.