Kamboja Abu-Abu

Luna hanyalah seorang gadis yang diamnya lebih banyak daripada bicaranya. Mulutnya mungkin jarang berbicara, tapi penglihatan matanya lebih tajam dari siapapun. Ia bisa melihat jauh apa yang terjadi di depan. Termasuk saat ini. Ia tengah berada di acara pemakaman neneknya. Semua orang mengenakan pakaian hitam tanda duka. Payung hitam juga menghalangi pandangan Luna akan langit biru cerah di atasnya. Ayahnya duduk bersimpuh seolah tengah berpamitan untuk terakhir kali dengan sang ibu. Pemuka agama membacakan doa-doa. Luna ikut menengadahkan kedua telapak tangan, mengaminkan alunan doa. Tapi matanya jauh melihat ke depan. Ke arah mendung yang melingkupi seorang pria yang berdiri di bawah rimbunnya kamboja. Bahkan mendungnya juga membuat bunga-bunga kamboja terlihat abu-abu. Pria itu ikut berduka, ia juga dilapisi pakaian hitam tanpa payung. Luna terus memandanginya tanpa sadar doa berakhir dan beberapa orang mulai pudar dari kerumunan.

**

“Luna,” panggil Surya, kakaknya. Surya menggenggam tangan Luna, keduanya berjalan beriring di belakang ayah ibundanya.

“Kau tadi melihatnya?” tanya Luna.

“Siapa?”

“Pria yang di bawah kamboja?” Surya tertawa renyah.

“Halusinasi atau imajinasi? Apapun itu, kau mengalami peningkatan ke tahap kritis. Selamat Luna,” ejek Surya. 

Luna masih diam di kamarnya. Memandangi rintik-rintik hujan yang menabrak kaca jendela. Ia menempelkan telapak tangannya di kaca. Tak ada yang melintas di jalanan karena hujan. Luna memainkan telunjukknya, menggambar bintang di kaca yang mengembun. Baru jam satu siang. Rumahnya masih ramai dikunjungi tetangga yang menyampaikan duka cita. Luna tak menemukan kesenangan lain di keramaian itu. Ia tetap duduk di kamarnya sambil menyisir rambut lurus panjang mencapai punggung.

“Luna, gurumu datang. Turun dan temuilah dia,” kata Surya sambil mengetuk pintu kamar Luna. Luna segera keluar, ia bahkan membiarkan rambutnya tergerai. Surya menggenggam tangan Luna dan menuntunnya ke ruangan tempat semuanya berkumpul. Di taman samping rumah. Sudah ada ayah ibundanya, si ibu guru wali kelasnya dan Surya di hadapannya. Luna duduk di samping Surya. Seolah sebuah sidang baru saja dimulai, tangan Luna bergetar sampai Surya menggenggamnya lagi.

“Kau sudah bolos sekolah selama tiga hari. Padahal kau tidak juga di rumah. Apa yang kau lakukan, hah?” bentak ayahnya. Sang ibu mencoba menenangkan pria itu. Tatap penuh selidik dari wali kelasnya juga menghujam. Luna masih diam. Ia tak tahu apa yang harus dia katakan. Yang ia lakukan hanya memandangi Surya, karena dialah satu-satunya yang tahu tentang Luna. Tapi saat ini, mereka tak mengharapkan penjelasan dari Surya. Mereka hanya ingin Luna bicara. Itu saja.

“Luna, katakan saja,” bujuk Surya.

“Aku melihat orang mati.”

Akhirnya ia bicara tapi kalimatnya membuat semua orang diam. Sang ayah geleng-geleng kepala. Wali kelasnya menjelaskan semua keanehan Luna di sekolah. Termasuk pembicaraannya yang tidak masuk akal untuk ukuran gadis kelas enam sekolah dasar. Ibunya hanya bisa menangis mendengar pemaparan si wali kelas. Surya membawa Luna pergi dari taman. Tangannya masih menggenggam erat jemari adik kecilnya itu. Ia mengembalikan Luna ke kamarnya. Kembali untuk waktu yang lama. Sangat lama.

Luna masih diam di kamarnya. Memandangi rintik-rintik hujan yang menabrak kaca jendela. Ia menempelkan telapak tangannya di kaca. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat hari hujan. Memang hari masih pagi. Tapi tak ada sekolah bagi Luna. Sepuluh tahun ini ia diam di kamarnya. Bermacam guru dibayar orang tuanya untuk mengajar di rumah. Beberapa psikiater juga turut diundang. Tapi tak ada yang mau berlama-lama dengan Luna. Mereka pasti segera keluar dan menangis lalu kapok datang lagi.

Tak ada yang melintas di jalanan karena hujan. Luna memainkan telunjukknya, menggambar bintang di kaca yang mengembun. Baru jam tujuh pagi. Rumahnya masih ramai dikunjungi tetangga yang menyampaikan duka cita. Luna tak menemukan kesenangan lain di keramaian itu. Ia tetap duduk di kamarnya sambil menyisir rambut lurus yang kini sudah panjang mencapai lantai jika ia berdiri. 

Gerimis membawa mendung atau mendung membawa gerimis, itulah yang ada di pikiran Luna saat ini. Di luar gelap. Pagi yang kelam. Pintu diketuk tiga kali, kemudian Surya masuk. Ia kini menjelma sebagai pemuda tampan dengan mata yang semakin sayu. Surya mengambil sisir dari tangan Luna, ia menatap adik perempuannya yang tatapnya semakin kosong. Kulitnya putih pucat. Sepuluh tahun ia tak keluar rumah dan hari ini ia akan keluar. Ya, dia harus keluar. Surya menyisir rambut Luna dan menggelungnya dengan rapi. Ia pandangi pantulan wajah Luna di cermin. Begitu indah dan rapuh.

“Mereka sudah datang. Ayo keluar dan hormati mereka sebagai orang tua kita,” kata Surya. Luna merengkuh tubuh Surya seketika. Matanya berkaca-kaca. Surya tak bisa menerka apa yang dipikirkan adiknya hingga matanya begitu. Ia tak tahu apakah Luna senang karena diajak keluar dari kamar. Atau ia justru bersedih karena kembali harus menghadiri pemakaman? 

Semua orang berkumpul mengelilingi dua liang lahat. Perlahan peti dimasukkan dan siap tertimbun tanah. Hari ini upacara pemakaman ayah ibunda Luna. Mereka menjadi korban kecelakaan pesawat. Semua orang berkumpul dalam hitam. Luna juga mengenakan gaun hitam. Tangannya masih dalam genggaman tangan Surya. Keduanya benar-benar diam dalam hening. Sesekali kilatan petir terlukis di langit suram tanpa raungan petirnya. Gerimis masih rintik-rintik. Surya memayungi Luna yang diam seperti biasanya. Tak ada tangisan, tak ada kata-kata. Hanya terdengar suara pemuka agama tengah membacakan doa-doa. Semua orang yang hadir mengaminkan bersama. Termasuk Luna. Tapi ia teralihkan. Matanya kembali menyorot ke arah bunga kamboja yang menjadi abu-abu di ujung pemakaman. Dan ia kembali menemukannya. Pria yang sama. Ia mengenakan setelan hitam. Luna bahkan masih bisa melihat sisi mendungnya tampil lebih gelap daripada mendung di langit. Doa masih terus mengalun, tapi Luna tak mempedulikannya. Ia berjalan menjauh dari kerumunan.

“Luna?” panggil Surya.

Luna terus berjalan menjauh. Ia bahkan membiarkan hujan membasahinya. Kerumunan mulai ramai dengan gumaman. Surya mengejar Luna sambil terus memanggilnya. Tapi luna tak peduli. Ia hanya menatap ke arah pria di bawah pohon kamboja itu. Pria itu juga tetap diam di tempatnya.

“Aku melihatmu. Aku menemukanmu,” gumam Luna.

“Luna, mau kemana kau? Hey, Luna.” Terdengar suara Surya yang mengejar dengan cepat. Luna juga mempercepat langkahnya menuju pria itu. Tapi semakin dekat, langkahnya semakin berat. Dadanya semakin sesak, seolah semua udara menolak untuk masuk dalam paru-parunya. Luna mengulurkan tangan ke arah pria itu. Tapi pria itu tetap diam dan memandangi Luna. Ia merasa kepalanya semakin berat. Seolah-olah semua isi kepalanya meluruh. Luna bahkan tak lagi mendengar panggilan Surya, matanya samar menatap wajah pria itu. 

“Siapa namamu?” gumam Luna. Hanya itu yang bisa ia bisikkan sampai kemudian seluruh pandangannya gelap. Ia jatuh dalam dekapan Surya. 

Luna terpejam untuk waktu yang bahkan ia tak tahu seberapa lama. Ia hanya melihat gelap tapi telinganya masih mendengar kesibukan di luar kesadarannya. Ia mendengar banyak orang disekelilingnya, ia mendengar gesekan dedaunan pohon di luar. Anehnya, ia mencium aroma khas bunga kamboja putih dalam tidurnya. Kemudian Luna kembali terlelap. Sangat nyenyak. Hingga pendengarannya kembali, matanya tetap terpejam. Luna mendengar televisi menyala. Sebuah berita siang, wanita pembaca berita tengah menyampaikan informasi mengenai perampokan sebuah bank oleh satu orang perampok bersenjata. Senjatanya diketahui sebagai revolver, pelaku masih dalam pengejaran polisi. Korban tewas dalam perampokan berjumlah tujuh orang. Kemudian berita berganti. Berganti lagi. Lagi. Yang tersisa kemudian hanya iklan minuman penyegar.

Luna mengerjap-ngerjapkan matanya. Perlahan ia mulai mendapatkan kembali pandangannya. Ia menatap langit-langit. Ia mendengar suara tangisan yang perlahan reda. Lehernya pegal ketika ia coba memiringkan kepala menuju sumber suara. Tak ia temukan. Luna duduk, ia memandangi sekeliling. Tak ada yang berubah dari kamarnya. Tatanannya tetap sama, juga gerimis yang membentur kaca jendela. Luna menghampiri jendela. Ada gerimis di luar sana dan iring-iringan mobil dengan bendera kuning tanda duka cita. Tak lama kemudian, Luna melihat pria itu. Dia berjalan perlahan seolah membelah rintik hujan dan menikmatinya. Pria itu pria yang Luna lihat di bawah pohon Kamboja di pemakaman. Pria itu adalah pria yang mengenakan pakaian hitam selalu. Luna memerhatikannya sekali lagi hingga tak terlihat.

“Kakak,” panggil Luna. 

Luna keluar kamar untuk mencari Surya. Luna segera menemukannya. Kakaknya terlihat berantakan di sudut ruang tengah. Bukan hanya Surya tapi juga seluruh ruangan itu berantakan. Beberapa perabotan ditutupi kain putih, tumpukkan bungkus mi instan menggunung di dekat sofa. Juga berserakan uang pecahan seratus ribu yang bercampur botol obat putih berukuran sedang. Luna berjalan tanpa alas kaki menuju Surya. Ia bahkan tak bisa melihat lantai rumahnya yang tertimbun sampah cukup dalam. Luna terus berjalan sampai kakinya terantuk sebuah benda dalam tumpukkan. Sebuah revolver. Ia memungutnya.

“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya Surya.

“Kakak, aku melihat pria itu lagi. Dia datang di pemakaman nenek. Dia juga ada di pemakaman temanku. Aku melihatnya dari kaca jendela, dia mengikuti rombongan duka cita menuju pemakaman. Aku melihatnya. Pria yang sama di semua pemakaman itu. Pria yang kuceritakan hanya padamu. Pria yang membuat semua orang mengira aku gila.”

“Luna hentikan.”

“Aku melihatnya dan itu sebuah kebenaran, kak.” Surya menggeleng dengan tatap sedih. Mata sayunya mengalirkan air mata. Ada semacam penyesalan dalam tatapnya. Ia seolah menyesal karena pada akhirnya ia tak bisa percaya pada adik kecilnya, meski ia berusaha. Ya, ia berusaha sangat keras untuk percaya. Bahkan ia menjadi yang paling berusaha di antara semua orang.

“Kukira setelah tumor sialan di kepalamu aku singkirkan, kau kembali waras. Kukira kau akan normal seperti gadis lainnya. Kukira pria sialan itu hanya halusinasi efek obat saja. Kukira aku bisa percaya padamu, Luna.” Luna terkejut mendengar kalimat Surya. Ia diam dan mengamati. Ia tak lagi bicara. Ia hanya memandangi kakaknya. Surya semakin kurus, wajah tampannya terbenam brewok tak terurus. Mata sayunya semakin cekung dan gelap. Luna bertanya-tanya, seberapa lama dia terpejam? Seberapa lama ia tidur dalam gelap?

Surya diam di pojok ruangan. Air mata masih terus menetes. Tangannya bergetar mencari sesuatu dari tumpukkan botol obat penenang yang kosong. Tapi ia tak menemukan apapun kecuali penyesalan. Ia menyesal percaya bahwa adiknya waras. Ia menyesal karena berusaha mati-matian menyembuhkan Luna. Ia menyesal atas hidupnya. Ia menyesal atas semuanya.

“Kakak…” seketika Surya terbelalak melihat revolver ada di tangan kanan Luna. Serangan panik kembali menelannya. Semua hal yang didengarnya hanya semakin membuat runyam.

“Luna, buang jauh-jauh benda itu.”

“Kakak, aku ingin bertemu dengannya sekali lagi.”

“Luna, kupikir itu bukan ide yang bagus.” Sirene polisi terdengar nyaring berseliweran di jalanan depan rumah. Surya tak juga menemukan obat penenangnya meski hanya sebutir. Luna juga masih terus bicara soal pria di bawah pohon kamboja.

“Kakak…”

“Luna, hiduplah dengan baik. Jika kau ingin menemuinya, maka yang perlu kau lakukan hanya keluar dan menemuinya. Aku akan mengantarmu menemuinya. Jadi jangan bersedih. Ceritakanlah ceritamu pada pria itu. Jika ia tak mau mendengarmu, aku yakin kau pasti tahu kemana kau harus kembali,” jelas Surya. Air matanya sudah tiada. Ia menunjuk dada sebelah kiri dengan telunjuknya yang bergetar. Luna mempererat genggaman di tangan kanannya.

“Aku mengerti. Terima kasih sudah memahamiku kak Surya.”

Dor!

Sebuah pemakaman kembali dihadiri Luna. Alunan doa kembali dipanjatkan. Tapi Luna tak ada di baris depan, ia berada jauh di tengah kerumunan. Semua orang mengenakan pakaian hitam kembali kecuali Luna. Ia mengenakan gaun putih nan anggun. Rambutnya disanggul rapi, padahal ia tak ingat siapa yang melakukannya karena bukan Surya. Luna kini tengah menatap pria di bawah pohon Kamboja. Pria itu tersenyum ke arah Luna. Bahkan saat tersenyum, mendung yang meliputinya tidak hilang.

“Kau selalu datang saat pemakaman dan tak pernah luput dari pemakaman keluargaku. Apa kita saudara?” tanya Luna.

“Ah, kau menemukanku lagi.” 

“Siapa kau?”

“Aku hanya makhluk yang tak punya tempat kembali. Aku iri dengan mereka yang tetap punya tempat kembali sekalipun sudah mati. Karena itulah aku selalu merasa damai menyaksikan upacara pemakaman.”

“Pulanglah denganku.” Pria itu terlihat sangat terkejut dengan tawaran Luna.

“Kau tak punya tempat kembali kan? Kalau begitu pulanglah bersamaku. Aku akan berbagi rumah kosong itu sebagai tempatmu kembali juga.”

Luna tak tahu apa yang harus dia lakukan. Satu yang pasti, dia sudah mengatakan apa yang harus dia katakan. Ia sudah menemui pria yang ingin dia temui. Ia tak peduli jika pria itu memang hobi mengantarkan manusia ke pemakaman atau justru ia pembawa undangan ke pemakaman itu sendiri. Luna hanya menatap pria itu seperti ia menatap manusia lainnya. Tidak, ia bahkan tak bisa menatap manusia lain selain neneknya, temannya, wali kelasnya, ayah ibundanya dan kakaknya. Dan mereka semua kini sudah berkumpul di pemakaman yang damai kata pria itu. Luna mengulurkan tangannya pada pria itu. Ia menyambutnya dan membawanya pulang. Tapi sebenarnya Luna juga tak tahu apa yang dilakukannya. Apakah dia yang menyapa pemberi pesan itu dan mengulur waktu pemakamannya. Atau sekarang justru ia yang tengah diantarkan pria itu ke pemakaman.

***

Author's note: Sebuah cerpen lama yang pernah dikirim berkali-kali ke media hanya saja terlalu absurd untuk dimuat. Terima kasih sudah bersedia mampir.


salam Agustus, MERDEKA,
Adz.



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.