Neraka Tanah Surga


Air mata Anak Tanpa Ayah-Bunda
*

Seorang bocah laki-laki berlarian kecil, seukuran dengan mungil badannya. Semakin lama semakin kencang saja. Bukan. Tidak. Bukan sedang berolahraga. Tidak sedang dikejar. Bocah itu hanya sedang berjingkat menghindari permukaan aspal jalanan yang semakin panas tersengat terik mentari. Kakinya tak beralas sampai mengeras karena kapalan. Dengan berpeluh, ia masih saja berteriak, beradu keras dengan deru mesin dan lengking klakson. Menghampiri tiap isyarat telunjuk yang tertuju padanya. Menghampiri tiap sopir yang memesan kretek.

Jeda lampu hijau, si bocah minggir. Duduk di emperan toko tepi tempat sampah. Bergumam nyaman saat kakinya menyentuh dingin keramik toko. Rasanya seperti berjalan di neraka dan tiba-tiba menyentuh lantai surga. Belum semenit ia merasakan kesurgaan itu, si pemilik toko langsung menghujatnya. Bukan hanya makian dari pemilik toko, tapi juga semua binatang piaraan dari dalam mulutnya. Tentu saja ditujukan untuk si bocah yang langsung tunggang langgang pergi.

Hari ini kepulan asap kendaraan bercampur dengan asap rokok dan pengasapan sarang nyamuk. Kepulannya terasa nikmat bagi si bocah. Jika asap kendaraan dan asap rokok saja sudah seperti bakaran selinting ganja, maka hari ini ia bagaikan menikmati heroin. Mungkin. Si bocah terbang bersama semua asap yang ia setarakan sebagai heroin. Membuatnya menghayal bisa merasakan surga di tanah neraka tempatnya hidup. Menjauh sejenak dari realita kehidupan neraka di tanah surga yang ia jalani kini.  Sadarkah ia nanti jika hidupnya saling berkebalikan?

Entahlah. 

Ia tak ingat lagi kehidupannya. Sedari badannya masih merah, ia sudah berkenalan dengan aroma sampah yang terasa bagai aroma masakan bunda. Tak ada air susu, air teh atau air tajin. Yang ia minum hanya tetesan air hujan atau mencari genangan yang belum tercampuri kencing anjing. Tak ada kasur juga selimut nyaman yang membungkus tubuh bayinya, hanya kain jarit dan dilapis koran dalam ranjang kardus. Saat ia belajar merangkak, ia merangkak di antara buangan manusia lainnya. Tentang ibunya, ia juga bertanya. Yang ia tahu hanya ibu kota. Tentang ayahnya, ia benar-benar tak punya. Karena sampai saat ini belum ada ayah kota.
***


Plesiran, 9 November 2016

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.