Terlentang

Seorang gadis diam termenung. Hari masih pagi. Pelajar pergi belajar dan pekerja pergi bekerja. Matahari juga mulai bersinar makin hangat. Tapi gadis itu bukan pelajar. Dia bukan pula seorang pekerja apalagi matahari. Dia hanya seorang gadis yang termenung. Dia berbaring terlentang. Memandangi atap kamarnya yang tergambar jelas gelondong bambu penyangga seng. Atap kamarnya tak ada plafon. Sarang laba-laba pun ramai menjuntai di sela-sela bamboo. Kabel yang mengarah ke lampu juga terpasang mengular. Pandangannya semrawut atas pemandangan atap tanpa plafon.

Gadis itu masih diam terlentang. Merasakan kasar karpet kain yang mengalasinya sampai lutut. Sama sekali tak terasa empuk ataupun hangat. Yang ia rasakan hanya dinginnya lantai tanpa keramik di kakinya. Dingin dan berdebu.

Gadis yang terlentang di kamarnya masih diam. Tapi bukan keheningan yang didapatnya. Suara deru mesin pengaduk semen membahana. Sebuah proyek jalan tepat bergulir di depan kamarnya. Gemelutuk mesin menggulung pasir dan semen. Riuhnya sampai ke keheningan yang dibuat sang gadis. Suara motor yang berseliweran juga menyumbangkan kebisingan. Tentu saja sudah tak seriuh sebelumnya saat jam masuk sekolah dan jam kerja.

Gadis itu masih diam terlentang dengan semua kebisingan. Ia raih secarik kertas dan mulai menulis. Lancar sekali dia menuliskan sebuah kisah. Dia menulis dengan dialasi telapak tangan. Tulisannya acak adul. Dia bahkan ragu bisa membacanya nanti saat dia sudah selesai. Inspirasi mengalir deras. Tapi penanya kewalahan mengikuti derasnya cerita yang ia tuliskan. Tinta mulai abu-abu lalu menjadi putih sepenuhnya. Gadis itu tak terima. Ia bongkar penanya, ternyata isi tinta masih penuh. Ia coba menulis lagi dan lebih perlahan. Dia berhasil. Tinta kembali keluar. Gadis itu mengulangi kembali tulisan yang tadinya kehabisan tinta. Ia menulis dengan lancar sampai berganti kertas baru.

Gadis itu masih terlentang dan menulis dialasi telapak tangannya. Sesekali tangannya berhenti karena pegal. Tapi ia tetap menulis sambil terlentang. Berapa lama ia tak menulis? Itulah yang dipikirkannya. Tapi sekarang dia menulis dan dia merasa bahagia. Juga pegal.

*

Udara di luar masih dingin. Deru suara mesin pengaduk semen sudah mereda. Tulisan si gadis itu pun sudah selesai. Ia masih terlentang, meletakan kertas dan penanya. Kali ini kedua tangannya sudah bebas. Ia mengelus kucingnya yang sedari tadi tidur di atas perutnya. Kucing itu tertidur pulas setelah lari ketakutan karena suara mesin pengaduk semen. Kucing itu pulas tertidur setelah semalaman begadang mencari betina. Kucing itu kelelahan. Gadis itu pun tahu kalau kucingnya sedang lelah.

Gadis itu tersenyum. Terlentang dan hangat mengelus seekor kucing di atas tubuhnya.

***

Purbalingga, 9 Agustus 2018.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.