ME #1: MADAO

Haloo, nongol lagi. Post kali ini full of narsisme. Dalam label baru; terapi menyembuhkan diri sendiri. Apresiasi diri. Apapun sebutannya. Mungkin akan ada banyak part dari label ini. Karena kuusahakan nulis satu per hari.

P.S: Belum tentu posting satu per hari yaa, hehehe
***

Kebanyakan orang akan menceritakan tentang hal membanggakan dari dirinya untuk dibagi pada orang lain. Entah itu sempurna fisik, sempurna kecerdasannya, sempurna simpati dan empatinya, sempurna jabatannya, sempurna pekerjaannya, sempurna status sosialnya, sempurna pasangannya, sempurna agamanya [emang ada tipe pamer yang ini ya? hehehe]. Lalu aku yang tidak memiliki semua itu, apa yang harus kupamerkan? Bahkan aku pernah ikut sayembara menulis kisah inspiratif. Ceritaku masuk kategori dibukukan tapi masuk urutan buncit. Ga menarik dan ga menginspirasi [baca: kurang pamer mungkin]. Menurutku inspiratif atau tidaknya sebuah cerita ditentukan oleh siapa yang membaca. Iya kan?

Aku cerita ke adikku dan temannya yang sekarang SMA di almamaterku dulu. Aku bilang berhasil [secara random] diterima SNMPTN di ITB. Mereka wow dan tersenyum lebar tuh. Aku cerita ke adikku soal aku ga lulus-lulus. Dia juga wow. Padahal aku sudah melewatkan dua wisuda dari tiga wisuda dalam setahun. Harusnya dan wajarnya, kuliahku hanya tiga tahun atau sembilan semester. Eh ini malah ngaret sampai sebelas semester. Aku cerita soal depresiku dan tekanan batin untuk menyelesaikan studi. Aku cerita soal ibu dosen yang sangat membantu penyembuhan psikis ini. Aku nangis-nangis kecewa bahkan nyaris kelewat melupakan Tuhan kalo aku ga ketemu si ibu. Aku nangis di depan dosen. Aku pura-pura tegar di depan prodi. Aku nangis lagi saat telepon mama. Aku cuti sebulan pulang ke rumah, tetangga tanya kapan wisuda hanya kusenyumi saja. Insya allah nanti wisuda, mohon doanya saja. Begitu jawabku. Banyak pesan masuk di line, whats up, email. Aku habiskan saja kuota datanya dan biarkan kosong. Aku benar-benar pengecut sampai takut dengan semua itu. Di rumah pun tidak membaik. Keluargaku bukan orang kaya, keberadaanku di rumah ternyata hanya nambah beban kebutuhan sehari-hari. Apalagi mama sepertinya terus-terusan masak enak untuk membantuku baikan. Aku jadi merasa bersalah.

Hari wisuda kedua bersamaan dengan April Mop. Ada teman yang bahkan sampai telpon tanya kabar. Apa aku ikut wisuda April? Kujawab ga, dan dia ga percaya. Aku ketawa, kubilang kampret lu. Dia bilang kalo ada masalah cerita-cerita, jangan dipendam sendiri. Mataku perih, terharu. Dia tanya-tanya lagi, tapi suaraku ga bisa bertahan tetap steady. Mulai mewek, kumatikan telponnya. Aku jadi merasa bersalah. Maaf. Sungguh aku tak berniat begitu. Terima kasih sudah bertanya. Ada juga yang bertanya apa hadiah yang kuinginkan. Tapi dia memberi syarat harus yang long last. Aku juga jawab maaf. Maaf, aku belum wisuda April ini. Eh malah dia balik merasa bersalah. Dia malah minta maaf. Aku semakin merasa bersalah. Sungguh aku minta maaf karena membuatmu merasa bersalah.

Tapi ada banyak hal yang kusyukuri dari telatnya wisuda ini. Aku jadi semakin tahu batasan diriku. Saat teman-teman di sekitarku mulai pergi satu persatu, aku semakin menemukan keping demi keping tentang sejatinya aku. Aku semakin kenal dengan diriku sendiri. Aku mencoba berbaikan dengan diriku sendiri dan berhenti blaming. Aku juga semakin berusaha untuk tetap bersyukur dan berpikir positif tentang takdir yang sudah dituliskan Tuhan. Aku hanya tinggal menjalani skenarionya, untuk apa aku berkeluh kesah dan malah menyerah. Aku adalah tokoh utama dari ceritaku. Yap begitulah. Aku juga bersyukur akhirnya aku jadi bertemu dengan si ibu baik hati yang memberiku nasehat dan semangat ketika aku mulai menyerah dan depresi. Padahal beliau bukan dosen wali ataupun dosen pembimbingku. Beliau mengembalikan aku untuk tetap yakin pada nikmat Tuhan. Terima kasih ibu. Aku ga tahu lagi bagaimana keadaanku kalo ga ketemu ibu. Mungkin mengenaskan. Aku bersyukur karena dengan ngaretnya aku wisuda, aku jadi tahu siapa yang teman dan siapa yang cuma teman-temanan. Yang paling penting, dengan kengaretan ini, aku jadi dapet bahan untuk sharing tentang pengalaman yang tidak dimiliki semua orang ini.

Gambar si MADAO
Jadi kusimpulkan bahwa aku memang tidak mempunyai segala kesempurnaan di atas. Tapi aku menjadikan satu hal yang bisa kubanggakan dari serpih-serpih kegagalan itu. Aku bangga dengan hidupku dan perjuanganku. Aku ingin menjadikannya sebagai perjuangan hidup yang sempurna. Menarik bukan? Meskipun aku Madao [Marude Dame na Ojou], aku tetap tokoh utamanya. Ini ceritaku. Semoga semangat ini masih bisa kupertahankan sampai Juli dan seterusnya. Tuhan, mohon tetap pelihara hambamu yang Madao ini. Amin.

Kalo aku bisa masuk ke ITB, kenapa ga bisa keluar? hehehe. Pasti bisa.

1 komentar:

  1. BAper sendiri, maaf sentimentil terlalu drama. Eh, itupun kalo masih ada yang mampir.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.