ME #7: [ABAIKAN] Omong Kosong di Waktu Hujan


Peringatan: Tulisan ini tidak baik untuk kesehatan jiwa anda. Karena sakit jiwa penulisnya bisa saja membuat pembacanya jijik untuk meneruskan. Jangan dibaca saat hujan. Hujan bisa membuat orang makin cengeng [ga tentu sih] [yang pasti, hujan membuat orang basah] [itupun kalo hujan-hujanan]
***

Aku benci diriku sendiri. Jujur saja ini sebuah pengakuan. Aku benci diri yang terlalu tertutup ini, aku benci menjadi introvert parah yang bahkan tak berani untuk bicara langsung dengan orang lain. Canggung selalu menjadi alasanku menghindar atau bahkan menghilang. Buatku, rasanya berat untuk menemui orang. Aku benci urusan yang tak kunjung selesai dan hanya ada satu cara penyelesaian yaitu dengan bertemu. Saat aku menghilang, aku benar-benar ketakutan ketika ada yang mencari. Aku bahkan berharap orang itu melupakanku saja. Aku sudah terlalu lama ada dan hanya jadi yang diam di pojok ruangan. Aku bahkan sampai merasa itu sangat nyaman. Tapi ada saatnya, aku juga benci terus-terusan diam tanpa ada orang yang menyadari keberadaanku. Selama empat tiga tahun kuliah dan satu tahun mangkrak wisuda, aku jadi orang pojokan yang diam dan menerima diabaikan. Lalu saat aku pergi dan benar-benar ingin menghilang saja, tiba-tiba semua orang mencari. Buat apa mereka menyadari lenyapnya aku jika biasanya mereka terbiasa mengabaikan? Tak ada salahnya kan jika seseorang yang diabaikan, berpikir untuk menghilang?

Aku tahu itu salah, aku tahu itu berlebihan. Aku tahu, aku sedang merepotkan orang lain. Aku tahu itu kekanakan. Tapi sungguh aku tidak sengaja menghilang untuk dicari. Aku hanya ingin menghilang dan meninggalkan semuanya tanpa ada yang peduli. Biarkan aku pergi.

Saat pagi hari dan kau menghilang dari tiga hari sebelumnya, setidaknya satu orang akan mencari. Maka aku hanya berharap pagi segera jadi siang, siang segera jadi sore dan malam gelap. Aku hanya berharap kita tidak segera bertemu. Aku terus diam di atas kasur dan mencari-cari alasan untuk tidur supaya bisa kujadikan bekal saat bertemu. Supaya apa yang kukatakan tak sepenuhnya kebohongan. Aku ingin hujan terus-terusan mengguyur dan menghalangi jalanku untuk bertemu. Aku ingin semua teknologi menghilang agar mereka tak juga bisa menemukanku. Aku hanya ingin diam di tempatku sembunyi dan bangun saat semuanya sudah selesai.

Tapi itu tak berguna.

Aku terlalu banyak berbohong. Aku terlalu banyak mencari alasan. Aku terlalu sering menghilang dan dengan semua alasan yang kubuat, pada akhirnya aku akan mengucapkan kata maaf. Aku terlalu banyak mengucap maaf. Ada saja alasan untuk mencariku, tetap saja terjadi kesalahan yang mengharuskan kita bertemu. Aku benci ketika pertemuan itu harus terjadi. Aku benci harus bertatatap muka dengan mereka yang sengaja kuhindari dan mengucap maaf lagi. Aku benci menjadi seolah-olah aku yang menyebabkan semua hal ini. Aku benci diriku sendiri. Aku juga benci orang lain. Ayo kita menghilang sajalah. Ayolah waktu, bergeraklah lebih cepat, berlalulah tanpa kau beritahu keberadaanku. Sungguh aku tak mau bertemu orang-orang yang tak ingin kutemui. Aku tak mau bertemu di tempat yang memang kuhindari karena kubenci. Padahal aku tiga tahun di sana, tapi jujur aku membencinya. Aku tak pernah benar-benar merasa ada di sana. Aku hanya debu yang terpinggirkan dari sepatu-sepatu mereka yang berlalu lalang. Tak ada apapun yang kukenang dari tempat itu selain pedihnya. Pedih yang tak bisa aku ungkapkan pada siapapun. Tak ada yang tahu sudah berapa kali air mata menetes di tempat itu. Tapi aku tahu, aku menghitung tetes demi tetes air mata yang jatuh dalam tiga tahunku. Ternyata itupun tak cukup, satu tahun tambahan yang menyiksa. Beberapa orang mungkin pernah melihat tangisku, tapi kebanyakan tidak. Bahkan aku tak dapat ruang dalam pandangan mereka. Tapi aku... 


Kau bahkan tidak tahu kan seberapa sering aku menangis di antara gelap dan diamnya diri ini? 

Orang-orang hanya membual dengan ekspektasi mereka. Persetan dengan sekolah di sekolah elit nan mahal dan tentunya ternama, populer, favorit. Mereka tak menjalaninya, atau setidaknya, mereka tak menjalaninya dari sudut pandang aku. Bahkan ada mereka yang seolah iri dengan 'keberuntunganku' bisa terdampar di sini. 

Keberuntungan? Kau sudah gila? Saat memikirkannya saja aku merasa gila. Tekanannya seperti menggerusku sampai hancur tak berbentuk. Bahkan perang batin itu sudah dimulai dari awal masuk. Kau pernah merasakan rasa canggung karena bersalah? Seperti kau diterima di sekolah favorit yang menjadi tujuan teman baikmu dan dia tidak? Pernah merasa bersalah karena kau diterima dan dia tidak, padahal dia yang mengajakmu mendaftar bersama? Pernah merasa tertinggalkan karena kau tak bisa menangkap apa maksud dari integral dan segala perhitungan matematika selama dua semester awal? Pernah tertekan karena nilai semestermu mengecewakan dan takut akan bayang-bayang batas nilai minimum beasiswa? Pernah memikirkan bagaimana gilanya jika beasiswa itu dicabut dan orang tuamu yang hanya petani harus bayar dua puluh juta per semester sedangkan satu tahunnya ada tiga semester? Pernah merasa canggung masuk kelas karena terlambat lima menit dan akhirnya memutuskan untuk bolos saja? Pernah merasa betapa malunya tertinggal di kelas saat tugas kelompok dan kau satu-satunya yang belum memiliki kelompok? Pernah merasa tekanan tentang status ekonomi keluargamu dalam pergaulan dan tampilan sehari-hari.

Dari sebagian kecil yang kusebutkan, apa ada yang pernah kau alami satu poin saja? Itu hanya sebagian kecil. Aku tertekan di sini, aku nyaris gila di sini. Aku tak punya teman di sini, aku ingin pergi saja dari sini. Ya, jika pikiranmu cukup peka untuk membayangkan apa yang kutuliskan, kau pasti tahu. Aku memendam semuanya dalam diam selama tiga tahun dan tambahan satu tahun menunggu. Tidakkah itu waktu yang cukup banyak untuk membuatku jadi gila? Orang lain akan berkata dengan mudahnya, cobalah lebih terbuka, mulailah bercerita pada orang lain dan curhat dan lain-lain dan sebagainya dan aku benci semua omong kosong itu. Karena pada akhirnya hanya ada aku sendiri dan beban yang tak pernah dianggap beban oleh orang lain. Pedih rasanya memendam beban yang bahkan tak berani kuceritakan pada orang tuaku sendiri. Lalu pelukan mama adalah obat dari segalanya. Dia diam memelukku tanpa bertanya apa yang terjadi. Dia menyembunyikan wajah sedihku di balik peluknya dan membiarkanku menangis sejadinya. Setidaknya mama jadi yang paling tahu apa yang kurasakan tanpa aku harus mengatakan. Itu menyebalkan.

Dari semua hal, mama menjadi alasan mengapa lompat dari lantai tertinggi sebuah gedung atau minum racun tikus terdengar sangat receh. Aku baru menjalani sebagian dari perjalanannya. Entah peran mana saja yang sudah kumainkan dengan baik, karena manusia punya banyak peran dan itu semua akan kacau pada waktunya. Peranku sebagai anak, peranku sebagai kakak, peranku sebagai mahasisa, lalu peranku sebagai sarjana hingga peran sebagai pekerja, sebagai wanita, sebagai isteri, sebagai ibu, sebagai nenek, sebagai masyarakat dan juga sebagai orang lain. Orang lain mulai menanyakan peranku saat ini. Menanyakan aku akan kerja dimana. Menanyakan soal pacar-pacaran dan nikah-nikahan. Menanyakan soal IPK. Karena tanya yang tidak terjawab akhirnya hanya jadi ekspektasi. Mereka merangkai jawabannya sendiri, ekspektasi berlebih yang begitu membebani.

 Lalu senyum mama yang begitu menenangkan. Ya, mama benar bahwa setiap manusia lahir dengan jalannya masing-masing. Jalan yang bahkan sudah dituliskan lebih dulu tanpa komentar orang lain dan sebuah alur yang tak akan berubah hanya karena omongan orang. Mungkin terdengar egois, tapi memang begitu kok. Pikirkan saja untuk berbuat sebaik mungkin atau sepengecut mungkin, kau juga akan menemukan jalan itu sendiri. Untuk diriku yang terlanjur jadi super duper pengecut binti menyebalkan, biarkanlah begitu. Tak usah komentari aku, tak usah pedulikan aku, tak usah mencariku. Intinya, aku masih hidup dan aku sedang berjalan di jalanku. Tidak usah pilihkan jalan-jalan lainnya, karena ini aku yang jalani. Terima kasih karena sudah peduli. Tapi cukup sampai di sini saja. Kepedulian orang kadang membuatku merasa terbebani.
*

P.S: Hujan memang bisa membuat orang jadi cengeng. 

Tulisan ini lahir di hari hujan pada Senin, 16 Oktober 2017. Di ruang yang hanya ada aku sendiri dan aku sedang sembunyi. Bahkan tak berani membuka hape. Aku sedang lari, trus hujan dan jadi cengeng. Lalu tulisan macam apa itu [setelah kubaca lagi dari atas], menye-menye sekali dan begitu kasar [maafkan kekasaran bahasaku]. Tapi entah bagaimana saat hujan reda, aku merasa sangat lega telah bercerita. Entah kau mau baca atau tidak, bukan urusanku. Satu-satunya yang tersisa saat ini hanya pening kepala karena menangis dalam diam. Kau puas sekarang? Sudah kubeberkan semuanya. Jadi, jangan cari aku.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.