A.C.E

Kali ini akan aku share cerpen favoritku. Yang menurutku terbaik yang pernah kubuat dalam genre ini. Tapi entah kenapa tidak berniat mengirimnya ke media. Meskipun iming-iming Kompas yang satu juta untuk satu cerpen, ehehe. Mungkin karena ide awalnya bukan pure dari imajinasiku sendiri. Cerita ini muncul saat aku berulang kali mendengar dan melihat music video The GazettE, Suicide Circus. Selamat baca...
***
Ruki The Gazette dalam Suicide Circus.
Si ACE dalam cerita

“Kau menyukai sirkus?”

“Ya, saat aku kecil dan ayah masih ada untuk mengajak pergi.”

“Ini akan jadi kasus yang sesuai untukmu, Eve.” Eve tak merespon apapun. Ia tetap diam dalam persiapannya, mengeluarkan lencana kepolisian dari kantong kemeja. Ia memang bekerja untuk kepolisian tapi ia bukan polisi. Ia seorang psikolog kriminal.

“Eve,” panggil seseorang di ujung telepon. 

“Yap. Aku sudah sampai dan tahu apa yang harus kulakukan. Masuk dan nikmati sirkusnya,” jawab Eve enteng. Segera ia memutuskan panggilan, meninggalkan ponsel tetap dalam mobil. Riuh musik ceria ala sirkus di pasar malam segera menghampiri telinganya. Ramai orang-orang berbaris di pintu masuk. Eve juga ikut berbaris.
*

Yang paling berbahaya bukanlah wanita dengan ular-ularnya. Bukan juga pria yang bisa menaklukan harimau untuk dengan jinak melompati lingkaran api. Bukan pula pria dengan kaki panjang berwajah badut. Target operasi adalah yang paling berbahaya dalam sirkus. Dia tak pernah ada dalam pertunjukkan, karena baginya sirkus ini adalah pertunjukkannya. Dia berkeliaran dimana saja dia mau karena keramaian itulah sangkarnya. Ia tak selalu tersenyum seperti aktor sirkus lainnya, karena senyumnya bisa berarti kematian. Dia akan menggenggam tanganmu dengan lembut dan hangat tapi seketika itulah dia sedang meremukkanmu. 

“Selamat datang di sirkus Napoleon,” sapa seorang pria tepat setelah Eve menyerahkan tiket masuk. Dia terlihat tampan dengan tatapan mata sayunya. Rambutnya ikal sebahu dan dibiarkannya tergerai. Ia mengenakan setelan jas dengan taburan blink-blink putih yang memancar terkena sorot lampu. Eve menemukannya sebagai sosok yang menawan. Dia menawarkan tangan kanannya pada Eve. Hangat dan lembut. Saat inilah juga Eve tengah menyerahkan diri pada kriminal paling berbahaya di sirkus ini. Dialah jantung ‘sirkus bunuh diri’ Napoleon. Dialah target Eve.

“Terima kasih,” jawab Eve singkat.

Eve mulai mengelilingi arena dan melihat semua wahana dan atraksi. Ia menikmati semuanya bahkan sampai tiga puluh menit menuju tutup, hanya ada Eve sendiri. Duduk sambil menghabiskan aromanis berukuran besar. Kemudian pria yang tadi menyapanya kini hadir kembali. Duduk di samping Eve.

“Kau masih menikmati pertunjukkan, nona?” tanyanya ramah.

“Apa pertunjukkannya sudah habis?” tanya Eve.

“Semua dalam area ini adalah pertunjukkan yang tak seharusnya dilewatkan. Oh, namaku Ace. Ditulis dengan huruf kapital semua, ACE.”

“Eve.”
*

Kelompok sirkus Napoleon berisi orang-orang gila dan dipimpin oleh yang paling gila. Ace yang menciptakan sirkus ini. Dia yang mengatur segala pertunjukan. Ia bisa menjadi penyambut penonton dengan senyum indahnya. Ia bisa juga bertugas memastikan semua pertunjukan berlangsung dengan baik. Ia yang memutuskan kapan pertunjukan harus mulai dan kapan harus berakhir bahkan hanya dengan jentikan jari. Ada yang mengatakan bahkan bianglala dan komedi putar juga beroperasi karena Ace. Ia yang mengumpulkan delapan orang lainnya untuk berkomplot. Entah apa tujuannya belum diketahui. Kejahatannya sangat terorganisir tanpa bukti. Setiap kali diadakan pertunjukan pasti ada yang penonton yang tak pulang. Kemudian ditemukan mati di keesokan harinya. Bunuh diri.

“Apa kata orang-orang tentang sirkus kami?” tanya Ace. Ia bahkan mengajak Eve untuk ikut makan malam bersama setelah sirkus tutup. Eve adalah penonton yang tak pulang malam ini.

“Sirkus bunuh diri, itu julukan kalian. Kelompok sirkus yang terdiri dari orang-orang gila tak punya tempat untuk kembali, itu definisi untuk sirkus kalian.” Semua orang yang berada di meja makan gaduh. Seolah mereka semua tidak setuju dengan kalimat Eve. Ace menenangkan mereka dengan menghentakkan cangkirnya ke meja. Suasana kembali kondusif. Eve memandangi ketenangan dan hidangan di atas meja. Mereka semua terlihat seperti keluarga normal yang bahagia.
*

Black (38 tahun), tidak diketahui pria atau wanita karena ia selalu mengenakan kostum hitam ketat dan tak pernah melepasnya. Bahkan setelah pertunjukkan berakhir. Ia dulunya dipasung di sebuah gua yang sangat gelap. 

Hebi (35 tahun), wanita cantik yang selalu mengenakan make up tebal dan berkalung ular-ular hidup. Ia menjadi korban perdagangan manusia dan dimasukkan dalam etalase kaca sepanjang hidupnya. 

Sile (28 tahun), pria ini menjadi yang paling diam, tapi paling ekspresif. Ia kehilangan suranya dalam kecelakaan kerja dan kini ia hanya bisa berpantomim. 

Haye (40 tahun), badut ceria yang jangkung dengan tambahan egrang. Ia ditolak menjadi militer karena kurang tinggi. 

Fatty (39 tahun), wanita gendut yang terbuang dari dunia model karena malpraktek dokter gizi. 

Madoshi (25 tahun), wanita cantik mantan asisten laboratorium dengan mata kiri yang buta dan sepenuhnya abu-abu karena dijadikan bahan eksperimen. Ia pandai meracik larutan-larutan aneh untuk pertunjukkan warna. 

Nasai (34 tahun), pria kurus dengan kelenturan tubuh yang fantastis. Ia menguasai akrobatik tali, keahlian yang didapatnya karena penyiksaan sepuluh tahun sebagai sandera perang. Ia dimasukkan dalam sumur tua penuh lintah dan bertahan hanya dengan bergelantungan di sulur.

Piro (27 tahun), pria berbadan kekar penuh tato. Ahli dalam atraksi api. Data sebelumnya tidak diketahui.

ACE (umur tidak diketahui), data tidak diketahui.
*

“Semua orang di sini datang dengan lukanya masing-masing,” kata Ace.

“Apa lukamu, nona Eve?” tanya Fatty sambil terus mengunyah. Eve mempertimbangkan sebuah jawaban. Ia juga menatap yang lainnya, mereka semua tertuju pada Eve. Ace juga menatapnya.

“Aku kehilangan keluargaku. Ayah dan ibu, dua adik laki-lakiku, kakak laki-lakiku, kakak iparku, juga keponakanku yang baru berusia lima tahun,” jawab Eve sambil terus menatap Ace. Ia bahkan merasakan matanya perih menahan air mata.

“Mereka semua mati?” tanya Hebi.

“Hebi!” tegur Ace. 

“Ya. Di hari yang sama,” lanjut Eve. Ia bahkan mengabaikan rasa simpati Ace yang coba menghentikan pertanyaan Hebi. Ia tak peduli lagi. Bahkan menemukan ini sebagai jalan masuk untuk membawa mereka semua keluar dari sirkus. Ya, seperti tujuan utama Eve, menangkap mereka hidup-hidup untuk dibawa ke panti rehabilitasi penyakit kejiwaan.

“Kau membunuh pelakunya?” tanya Black.

“Atau jangan-jangan kau yang membunuh mereka?” cecar Nasai. Eve hanya tersenyum kecut. Ia masih belum melepas pandangannya pada Ace. Pria itu membalas tatapan Eve dengan datar.

“Kulihat dia menembakkan peluru ke mulutnya, semua orang melihat kematiannya. Tapi kemudian aku mendengar kabar dia masih hidup dan bersenang-senang dengan kehidupannya,” kembali Eve bercerita.

“Dia kekasihku,” lanjut Eve.

“Itu menyakitkan,” kata Madoshi. Ia bahkan sudah mulai sesenggukan. Sile berpantonim menenangkan Madoshi. Akhirnya Ace memutuskan untuk bubar, semua orang kembali ke kamarnya masing-masing. Hanya tersisa Ace dan Eve saja.

“Hey, pernah berpikir untuk pindah ke tempat yang lebih baik? Aku ini bisa dibilang seorang dokter. Kupikir keluargamu akan lebih baik jika tinggal di tempat yang layak,” kata Eve coba meyakinkan Ace untuk melancarkan misi.

“Kau pikir tempat ini tak layak? Lalu apa kau juga sudah berada di tempat yang layak?”

“Bukan begitu.”

“Mengapa tidak kau pikirkan hidupmu terlebih dahulu, dokter Eve. Keluargamu dibantai oleh orang yang kau kasihi. Dia membiarkanmu hidup sendirian. Dia membiarkanmu tercabik-cabik dengan kesedihan. Kau juga manusia biasa yang punya batasan dalam menanggung luka bukan? Pernahkah kau coba ingin membalasnya? Pernahkah kau coba ingin membunuhnya? Pertanyakan semua itu pada dirimu sendiri sebelum menghakimi kami.” Tangan Eve bergetar. Ia tahu apa yang Ace katakan pernah ia rasakan. Kini pria itu tengah melumatnya halus dalam ketakutan di masa lalu.

“Aku ingin membunuh pria itu. Tapi dia harusnya sudah mati.”

“Masih ada bagian dari pria itu, dokter Eve. Kau bisa membalas kematian keluargamu dengan membunuhnya.” Mata Eve terbelalak menatap Ace.

“Kau adalah sisa kenangan yang ditinggalkan pria itu. Lukamu ada karena kau pun masih ada. Kau yang memperpanjang penderitaanmu sendiri, nona,” lanjut Ace. Eve diam. Kata-kata Ace telah menembus perasaannya. Hingga kesadarannya kembali pada logika. Inilah kekuatan persuasif si jantung sirkus. Mereka diam cukup lama.

“Jadi kau mau bagaimana?” tanya Ace kemudian.

“Boleh aku menginap?”

“Tidak ada kamar kosong untuk tamu dan luka baru. Pulanglah ke rumahmu sendiri. Kami sudah cukup banyak menanggung luka kami sendiri. Terimakasih atas kesediaanmu menonton sirkus Napoleon dan berbagi cerita, nona Eve.” Ace mengantar Eve keluar dari ruang makan.

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

Polisi sudah mengepung mereka. Delapan anggota sirkus Napoleon sudah terkapar dengan peluru di kepalanya masing-masing. Wajah Ace berubah tegang sembari menatap satu per satu rekan yang bersimbah darah. Lampu sorot dari helikopter kepolisian juga menerangi wajahnya. Eve juga terkejut dengan aksi sapu bersih. Ia tak diberitahu tentang eksekusi ini.

“Mereka semua mati. Teman-temanku. Keluargaku. Black. Hebi. Sile. Haye. Fatty. Madoshi. Nasai. Piro. Mati,” gumam Ace dengan suara bergetar. Ia ditodong puluhan senapan. Eve berdiri di samping Ace untuk menenangkannya.

“Hentikan. Bukan ini misinya kan? Misinya adalah penangkapan bukan pembersihan,” seru Eve.

“Maaf nona Eve. Sepertinya pertunjukkan terakhir dariku akan mengecewakan,” bisik Ace tepat di telinga Eve. Ace sudah menggenggam sebuah pistol. Ia memasukannya ke dalam mulut. Lalu dengan senyum paling menawan, ia menembak. Ace terkapar.
***

Eve masih diam di ruangannya. Tangannya masih bergetar mengingat penyergapan itu. Semua target mati. Mayat-mayat yang bersimbah darah. Malam yang temaram. Selongsong peluru yang bertebaran. Semua itu membuatnya mengingat masa lalu. Bahkan tangannya tak bisa berhenti bergetar sambil memainkan lima peluru di mejanya. Entah apa yang ada di pikirannya, Eve memilih keluar untuk jalan-jalan. Senja yang indah menyambutnya. Tapi ia malah memilih tempat yang buruk untuk singgah. Ia mengunjungi sirkus Napoleon yang bahkan masih tersegel garis polisi. Sudah tiga hari. Sepi dan gelap. Hanya lampu gerbang masuk yang masih berkedip-kedip enggan untuk mati. Eve memandang jauh ke depan. Lampu-lampu bianglala menyala serentak, wahana besar di pusat area itu berputar perlahan.

“Selamat datang di sirkus Napoleon,” sapa Ace.

“Tapi aku tak membeli tiketnya. Bahkan tadinya kupikir sirkus ini sudah mati,” jawab Eve. Ace hanya diam memandangi Eve, lalu tersenyum ramah seolah mereka belum pernah bertemu.

“Selama jantung Ace masih berdenyut, maka sirkus ini juga begitu. Meskipun Ace telah menelan sebuah peluru, tapi tetap saja semua orang tertipu. Ini bukan hanya sirkus, Eve. Ini kehidupan. Tak ada manusia yang boleh merenggut kehidupan manusia lainnya kan?” Ace merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. Eve siaga dengan pistolnya. Ia arahkan pada jantung Ace. Pria itu tersenyum.

“Senyumanmu adalah yang paling manis yang pernah aku ingat. Sangat indah. Sangat menawan. Tapi sayang sekali, pembunuh yang sudah mati bukankah harusnya tetap mati?”

Dor!

Dor!

Dor!
***

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.