3BLOOD KEPING 30 [END]

Iya judulnya ga salah kok. Ini memang episode terakhir dari cerbung ini. Hmm, setelah saya baca keseluruhan ternyata masih terlalu rasa romance daripada misteri dan fantasinya. Ya jadi daripada semakin ngelantur, saya akhiri saja. Yaaaah.

Eits, jangan bersedih dulu. Episode ini ekstra satu halaman panjangnya. Seiring berakhirnya cerita ini, saya udah mulai menuliskan lanjutannya kok. Nyaris setiap hari pikiran saya ada di Viga buat mencari misteri-misteri yang twist-nya sudah tersebar di season satu. Hehehe berasa ga ada kerjaan, salah besar loh. Saya banyak pikiran tentang project novel romance baru dan catatan akhir kuliah [final defense juga] [wisuda juga] [emaak, pengen pake toga di sabuga] [amin]. Ups curhat malah. Okelah, intinya saya akhiri season satu ini untuk kembali dengan season dua yang lebih mengejutkan dengan action-nya. Selamat membaca episode terakhir...
***

3BLOOD SEASON 1: HINT
END
Setelah berkendara hampir setengah jam dari kota, kami akhirnya sampai di tempat Leil berada. Yap, segera setelah aku tahu bahwa Leil dipenjara, aku mendatangi rumah tahanan di kota. Namun, Leil sudah dipindahkan ke pusat rehabilitasi kejiwaan. Sebuah penjara yang diawasi langsung oleh psikiater dan dokter jiwa. Aku masih tak mengerti mengapa Leil dipindahkan ke tempat semacam itu. Bahkan ayahnya juga mungkin tidak tahu. Polisi itu memberi isyarat bahwa aku harus keluar dari mobilnya. Ia juga segera mengembalikan kartu pengenalku. Kulangkahkan kaki menapaki tanah tandus kerontang. Benarkah Leil berada di sini?

“Apa yang membuatmu ragu, ayo masuklah. Aku akan bicara dengan pengawasnya.”

“Terima kasih,” kataku datar.

Bangunan tua menjulang di hadapanku, bahkan lebih suram dari aura rumah yang kutinggali. Mustahil tempat ini digunakan oleh manusia. Aku tak bisa membayangkan apa yang Leil rasakan saat berada di dalamnya. Buruknya lagi, aku yang melemparnya ke dalam sana. Di bagian dalam juga tak jauh berbeda, bahkann semak liar tumbuh di taman dekat meja resepsionis yang sekarang kosong. Seorang pria berseragam biru datang dari koridor jauh sambil menyorot kami dengan senternya.

“Hey, ini aku Steve,” kata si polisi dan penjaga itu langsung meredupkan senternya. Ia menghampiri pria bernama Steve dengan tergopoh-gopoh. Yah, dengan postur tubuh gemuknya itu, mana mungkin ia bisa bergerak cepat. Aku ragu apakah ia benar-benar penjaga dengan gerakan selamban itu?

“Apa kabar teman lama?” sambutnya.

“Kau sendiri masih setia dengan tempat usang ini?” balas Steve lalu mereka berdua tertawa bersama. Astaga jangan sampai reuni ini membuatku terlupakan. Aku segera berdehem dan Steve kembali ke jalurnya.

“Kau tahu dimana si psikiater itu? Kudengar dia selalu di tempat ini sepanjang hari.”

“Oh, nona Miaranda. Tentu, akan kuantar kau ke ruangannya. Tapi, untuk apa kau menemuinya. Kau ada masalah kejiwaan?” ledek si pria gendut.

“Tidak. Bukan aku, tapi pemuda ini. Kau bawa saja dia ke ruangannya, aku akan kembali ke mobil.”

“Kau boleh langsung kembali ke kantormu, Steve.”

“Oh dengan senang hati. Berjuanglah Romeo, aku senang bisa membantumu. Selamat malam, Joe.”

Steve melambaikan tangan sebelum akhirnya pergi. Kini aku berada tepat di belakang Joe si siput, jika aku boleh menyebutnya begitu. Ia terus mengoceh sepanjang perjalanan dan sesekali melemparkan lawakannya padaku. Tapi aku hanya menanggapinya dengan senyuman datar. Selama melintasi lorong panjang ini yang kulihat hanya koridor suram yang terlihat menyengsarakan.

“Siapa saja yang berada di sini, Joe?”

“Eh, kau belum tahu. Kukira kau datang kemari karena sudah tau tempat macam apa ini. Kau adalah orang ketiga yang datang ke tempat ini di bulan ini. Aku takut mereka melupakan tempat ini. Tapi tak apa, selama mereka tidak melupakan gaji bulananku,” oceh Joe panjang lebar. Ia masih terus mengoceh sementara tanganku sudah berada di kerah kemejanya.

“Aku tidak ingin mendengar ocehanmu itu. Jawab saja apa yang kutanyakan!”

“Tidak perlu serius seperti itu. Kau membuatnya takut,” sahut seseorang dari ujung koridor.”

“Nona Miaranda,” sapa Joe dengan suara bergetar. Aku segera melepaskannya dan membawa diriku semakin mendekati sosok wanita itu. Parasnya cantik, dengan rambut pirang ikal yang terurai. Tapi wajahnya cukup pucat jika ia baru saja bangun tidur. Kutatap lekat bola matanya dan kutemukan sesuatu yang mengejutkan.

“Ayo bicara di ruanganku,” ajaknya.

“Terima kasih sudah mengantarnya, Joe. Kerja yang bagus,” katanya pada Joe. Kulihat pria itu masih gemetar, ia segera meninggalkanku. Aku duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan Miaranda. Tapi ia menghilang dari hadapanku, dia masih terlalu sibuk menyiapkan gelas dan sesuatu yang tercium memuakkan.

“Jadi siapa namamu dan mengapa kau datang?” tanyanya kemudian. Aku belum melihatnya lagi, tapi aku tahu pasti bahwa ia ada tepat di belakangku.

“Kau bukan manusia,” sergahku. 

Akhirnya dia muncul di hadapanku dan menuangkan air putih dalam gelasku. Tak lama kemudian ia menjatuhkan dua butir pil dan air dalam gelas berubah kemerahan. Darah sintetis, jadi aroma itu yang kucium sebelumnya. Aku tak terkejut saat ia menyuguhkan minuman itu untukku. Dia juga sudah mengetahui kalau aku bukan manusia.

“Selamat menikmati,” katanya santai. Ia duduk dan menenggak gelasnya.

“Aku tak pernah bisa menikmati darah sintetis. Itu penemuan yang menjijikan,” kataku sinis.

“Wow, ternyata kau tipe yang agresif yah. Aku suka vampir yang agresif. Aku mencium aroma yang berbeda darimu, apa kau vampir baru?”

“Hentikan perbincangan mengenai ini. Aku datang hanya untuk Leil Grazdien. Aku akan membawanya pergi dari tempat ini.”

“Tunggu dulu, jadi gadis itu. Kau mengenalnya?”

“Dia bersamaku.”

“Jadi vampir yang membunuh kekasihnya adalah kau? Sekarang kau mengatakan bahwa kau bersamanya?”

“Dimana dia?”

“Darahnya sangat manis, aku suka dia berada di tempat ini. Pasti sangat mengerikan baginya melihat kekasih tercinta terbunuh di depan mata oleh makhluk mengerikan sepertimu.”

“Mereka bukan sepasang kekasih.”

“Itu bahkan menjadikannya lebih malang.”
Entah apa yang merasukiku, emosi kembali memuncak. Aku menghantamkan tubuh kecilnya ke dinding dan kini lenganku tengah menekan lehernya.

“Aku tahu ini tak akan membunuhmu atau membuatmu berteriak kesakitan. Setidaknya ini membuatmu sadar bahwa aku tak butuh ocehanmu itu! Dimana dia!”

“Kau dan aku sama-sama dalam keadaan yang tak baik, bukan?” bisik Miaranda sambil menatap tajam ke arah lengan kiiku. Sialan, dia jeli juga. “Jadi untuk apa saling menghajar. Emosimu sangat berlebihan, terlalu kekanakan dan tidak stabil. Apa kau anak baru?” lanjutnya.

“Dimana dia?” geramku lagi. Miaranda hanya tersenyum sinis.

“Kau akan melepaskanku?” Perlahan aku mulai melepaskannya. Logika kembali masuk dalam kepalaku. Apa yang terjadi denganku?

“Maafkan aku,” kataku kemudian. 

Ia melemparkan sebuah selimut tebal tepat ke arahku. Aku menangkapnya sebelum benda itu mendarat di wajahku. Miaranda mengambil anak kunci dari lemari dan segera keluar dari ruangan. Ia bahkan mengunci ruangannya, mungkin ia takut ada yang melihat ruangannya yang porak poranda karena aksiku. Aku mengekorinya kembali melintasi lorong yang lebih gelap. Lampu yang menyala hanya beberapa buah setiap sepuluh meter. Jarak yang terlalu jauh untuk penglihatan manusia. Tapi menyadari bahwa Miaranda bukanlah manusia, maka aku tak heran untuk itu.

“Dia sangat menggiurkan. Banyak yang mengincarnya sewaktu berada di kantor polisi. Karena itulah aku membuat surat rekomendasi agar dia berada dalam pengawasanku.”

“Itu karena aku lalai melindunginya.”

“Kau benar-benar bersamanya?” aku hanya mengangguk.

“Baiklah. Tempat ini sebenarnya perlindungan yang paling aman dari para vampir, terutama karena aku yang menjaganya. Tapi malam ini ada beberapa vampir yang berhasil menyusup dan hendak mencurinya dariku. Kupertaruhkan semuanya untuk mengusir mereka.”

Pantas saja ia terlihat sangat pucat dan lelah. Ternyata ia baru saja bertarung. Itu cukup menjelaskan mengapa dia meminum darah sintetis meskipun rasanya memuakkan. Ia perlu banyak energi untuk pulih dan berjaga semalaman.

“Untuk apa kau bekerja di tempat seperti ini?”

“Entahlah, aku hanya pernah gagal menjaga pria yang kucintai. Jadi aku menghukum diriku di sini. Menjaga manusia lemah lainnya. Bagaimana denganmu?”

“Maksudmu?”

“Untuk apa kau datang ke tempat seperti ini dan menemui seorang gadis yang bahkan takut dengan keberadaanmu?”

“Entahlah, mungkin sedikit mirip denganmu. Aku gagal menjaganya dari pria yang dia cintai. Pria itu, Joshua Franklin, tak sebaik yang Leil tahu. Sialnya, aku bahkan tak bisa membuktikan hal itu.”

“Kau penjahatnya disini.”

“Yap. Aku penjahatnya. Dan berharap ada pintu maaf yang terbuka. Sepertinya ini malam yang tepat untuk memohon pengampunan.”

“Selamat berjuang.”
***
Cihuy bonus fresh from the oven.
Bener-bener baru buat beberapa puluh menit lalu.

LEIL
“Aku melihatmu,” bisikku.

Aku tahu ini berlebihan, tapi aku melihatnya. Aku melihat Pierre dengan mata indahnya meski mataku terpejam dalam gelap. Aku merasakan kehadirannya, meski aku tak bisa mendengar ungkapan hatinya. Tapi aku tak tahu mengapa dia membisu di sana. Tidakkah dia memiliki hal yang ingin diungkapkan? Sesuatu yang membawanya ke tempat hina ini. Aku terus bertanya, apa ia datang hanya untuk memandangi punggungku dan terpaku dalam kegelapan?

“Ah kau masih saja diam.”

Aku bangkit. Duduk menghadap tembok dengan temaram cahaya. Aku hanya melihat bayangannya tepat di belakangku, di balik jeruji. Apa yang dia lakukan? Membisu untuk melihatku yang menyedihkan ini? Kudengar suara gemerincing kunci. Ia membuka sel.

“Maafkan aku,” jawab Piere singkat mengakhiri kebisuan. Pierre melapisi tubuhku dengan selimut yang begitu hangat.

“Apa maafmu bisa mengembalikan Nyonya Franklin ataupun Jossie?”

“Aku tahu. Maaf bukanlah sesuatu yang bisa membayar kecewamu dan menebus semua salahku. Aku punya sesuatu untukmu. Mungkin hal ini bisa membantumu memaafkanku.”

“Apa ini tawar menawar?”

“Hanya hadiah ulang tahun. Apa aku yang terakhir mengucapkan selamat ulang tahun untukmu?”

“Kau benar, ini hari ulang tahunku. Di hari ini 23 tahun lalu, lahirlah manusia tak tahu apa-apa yang sekarang meringkuk ketakutan. Hari itu aku mengenal dunia, entah apa yang kurasakan. Seharusnya bahagia. Lalu hari ini aku berkenalan dengan dunia dan semakin ketakutan karenanya. Bukankah ini lucu? Kau yang pertama mengucapkan selamat. Tak ada yang datang menemuiku selain kau dan beberapa vampir kelaparan.”

“Malam ini kau bisa melakukan pertukaran jiwa. Aku bisa mengembalikan Jossie untukmu.”

“Yang mati tak akan pernah kembali. Kebohongan apa lagi yang ingin kau sampaikan padaku?”

“Memang bukan menghidupkan kembali Joshua Franklin. Tapi kami bisa menghidupkan memorinya dan menggunakan jiwa seseorang untuk menjadi Joshua Franklin sebelum kematiannya. Kau bahkan tak akan menyadari bahwa Jossie sudah mati.”

“Lalu apa yang kau tawarkan?”

“Hanya perlu mengorbankan satu nyawa untuk membawa kembali Joshua Franklin. Satu nyawa yang menyaksikan kematiannya. Sofia akan merapalkan mantera untuk pertukaran. Sedangkan kau adalah orang yang menginginkan Jossie kembali. Jadi tinggal aku saja yang tersisa dan aku bersedia untuk menukarkan diri untuk memori Jossie.”

“Haruskah seperti itu?”

“Kumohon terimalah penawaranku.”

“Lalu bagaimana denganmu?”

“Aku akan menggantikan Jossie. Aku akan jadi yang mati dan akulah yang dilupakan. Tak ada lagi tumpukan krisan dan tangisan di hari itu. Mungkin semua yang kau ingat hanya kau dan Jossie duduk di bangku rumah sakit dan menyaksikan kematian nyonya Franklin. Selanjutnya akan berlaku normal, bahkan kematianku tak bisa mengganggu kebahagiaanmu.”

Bodoh. Mana mungkin itu menjadi pertukaran yang setimpal? Bagaimana mungkin aku menukarkan nyawa seseorang yang masih ada di dunia ini hanya untuk menjadi tumbal bagi memori yang sudah mati? Bagaimana mungkin aku harus menukar mereka? Bukannya aku tak bahagia jika Jossie kembali, tapi aku juga ingin tetap bersamamu. Apa aku terlalu serakah?

“Leil, kulakukan ini sebagai permintaan maaf. Aku tahu kesalahanku bahkan sudah menggunung. Aku tak tahu lagi bagaimana harus membayarnya.”

“Lalu kau pikir dengan menghilang begitu saja akan melunasi semuanya?”

“Kau sampai seperti ini karena kau mencintai Jossie.”

Bodoh. Aku memang mengagumi Jossie. Sebagai seorang perempuan, aku juga punya impian ingin seperti Cinderella. Bertemu pangeran dan menikahinya untuk hidup bahagia. Tapi semakin aku dekat dengan Jossie, aku semakin menyadari bahwa aku menjadi gadis tak tahu diri. Aku semakin menyadari tempatku. Bahkan aku masih jauh di bawah standar Cinderella. 

“Juga karena aku membunuhnya,” lanjut Pierre.

Bodoh. Aku merasa bersalah pada Jossie karena aku belum bisa melunasi hutang budi pada keluarganya. Apalagi setelah ia kehilangan ibunya. Aku semakin bersalah. Saat aku melihatnya harus pergi juga, aku seperti tenggelam dalam lautan dosa pada keluarga Franklin. Karena yang membunuh Jossie telah menjadi pria yang kucintai.

“Pierre,” gumamku.

“Kumohon terimalah penawaranku.”

“Kau melupakanku. Aku akan menangisi kepergianmu.”

“Tidak. Jossie akan senantiasa berada di sampingmu. Jossie akan menghapus air matamu. Jossie akan membuatmu bahagia. Jossie akan membantumu melupakanku. Jossie akan…”

“Jossie sudah mati,” potongku.

“Leil?”

Bodoh. Bodoh. Bodoh. Pierre bodoh. Aku berbalik untuk menatap mata turquoise indah yang begitu kurindukan. Masih sama seperti terakhir aku melihatnya. Masih indah dan memenjaraku dalam keindahan itu. Haruskah aku yang mengatakannya padamu?”

“Aku bukannya tak mencintai Jossie, aku merasa tidak pantas untuknya. Aku hanya merasa bersalah. Aku hanya bersimpati pada kehilangannya. Karena dialah yang tahu persis apa yang kurasakan dulu ketika pertama kehilangan. Aku terlalu banyak berhutang budi padanya. Aku menyesali kematiannya untuk hal itu. Karena aku tak punya kesempatan untuk membalasnya.”

“Aku akan memberimu kesempatan itu.”

“Pierre, apa benar kau ingin membayar kesalahanmu?”

“Aku tak akan ragu lagi jika kau yang mengatakannya langsung. Akan kulakukan apapun. Kumohon terimalah.”

“Hiduplah.” Pierre terkejut mendengar kalimatku.

“Tentang Jossie, kau tak perlu berpura-pura lagi. Kau juga pasti sudah mengetahuinya kan? Tentang Joshua Franklin yang kita kenal dan Joshua Franklin yang sebenarnya.”

“Dia tak sebaik itu,” gumam Pierre. Aku mendengar adanya muatan kecewa saat dia mengatakannya.

“Aku tahu. Dia menjadikanku bahan pertaruhan. Aku mendengarnya sendiri saat kami berada di Rumah Sakit. Lalu aku mempertimbangkan kalimatmu dulu. Bahwa Jossie yang lemah lembut sampai menikam orang asing sepertimu.”

“Leil,”

“Aku hanya jadi bahan pertaruhannya,” kataku sambil menyeka air mata. Ya, entah mengapa terasa perih mengingatnya. Kebaikan Jossie yang semu juga tak ada kesempatan untuk bertanya langsung padanya. Ia pasti punya alasan mengapa melakukan hal ini.

“Jujur, aku tak ingin berkorban untuk Joshua Franklin. Aku bahkan tak ingin dia kembali padamu.”

“Baguslah. Berarti kau bisa memenuhi permintaanku bukan?”

“Aku tak ingin menyerahkanmu pada siapapun. Aku menginginkanmu, Leil. Bolehkah begitu?”

“Tak apa.”

Aku juga menginginkanmu. Bodoh.

“Aku mencintaimu, Leil.”

Aku juga mencintaimu. Bodoh.

“Bodoh,” kataku. Pierre tersenyum kecut.

“Ya, bodoh memang. Terlalu beresiko mengatakan ini padamu. Mencintai seorang gadis manusia akan mengundang bencana besar. Hubungan semacam ini hanya akan merugikanmu.”

“Aku siap melewati bencana apapun yang datang nantinya,” kataku.

“Bodoh.”

“Ya, aku memang bodoh. Aku mau mengambil resiko apapun asal aku bisa bersamamu. Sungguh bodoh.”

“Aku bahkan tidak tahu jati diriku. Sofia mengatakan bahwa ada tiga darah dalam diriku. Mereka semua saling lawan untuk menjadi yang paling dominan. Aku sendiri tak tahu mana yang lebih unggul. Aku mungkin saja bisa menjadi manusia. Tapi aku juga bisa menjadi werewolf dominan atau bahkan menjadi vampir dominan.”

“Aku akan membantumu menemukan jawabnya.”

“Saat satu darah dominan terbentuk…”

“Aku akan bersamamu,” potongku cepat.

“Leil…”

“Aku juga mencintaimu, Pierre.”

“Aku ingin tetap bersamamu, tuan dari tiga darah.”

“Bodoh,” gumam Pierre.

Aku tenggelam dalam peluk eratnya. Entahlah. Tak ada hal lain yang kupikirkan saat ini. Aku benar-benar tidak peduli dengan semua resiko di masa depan. Asalkan aku bisa mempertahankan Pierre saat ini, aku juga pasti bisa mempertahankannya. Selama mungkin. Aku ingin tetap bersamanya selama mungkin. Aku tak peduli jika ada tiga darah dalam dirinya. Apapun nanti yang dominan, aku tetap mencintainya. Selama ia masih bisa bertahan menjadi Pierre yang kucintai juga. Aku ingin dia menyadari bahwa ia tak bertarung sendiri. Bahwa aku juga ada di sini untuknya. 

Aku siap menemaninya memerangi musuh-musuh dalam dirinya. Karena dialah pria yang menguatkanku untuk melawan ketakutan dalam diri.



-END.
Sampai jumpa season berikutnya yaa. Jangan kangen ke saya [uhuk]. Saya tetep posting kok.
Season dua lancut secepatnya. Mungkin setelah urusan akademik beres. Doakan saya untuk segera kembali ke Viga. Saya terjebak macet wisuda di dunia nyata, ehehehe.

4 komentar:

  1. Huwaaa sudah lama ga ngikutin cerita si Leil dan tetiba udah ramat aja wkwkw..
    hmm semangat untuk proyek selanjutnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe ramat [ramat kalo di bahasa jawaku sih sarang laba-laba]. Hmm, masih related lah. Yap begitulah, udah mentok ceritanya jadi lebih baik diakhiri.

      Hapus
    2. maklum huruf "r" dan "t" berdampingan di keyboard. Oh iya, ramat artinya sarang laba-laba? kalo dibahasa jawaku sarang laba-laba disebut "sawang",padahal sawang dapat berarti lihat/kelihatan. jadi mana yang benar? sama-sama bahasa jawa beda gitu ya..

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.