Peluk Aku, Gelap


Sebuah roket telah meluncur hari ini. Jauh menuju kehampaan gelap di antariksa. Kepulan asap putih dari peluncurannya masih beradu terang dengan malam penuh gemintang. Hembus anginnya masih berdesir menyapu gemulai lembut rerumputan dan gaun seorang gadis yang tengah berbaring di atas padang. Warna turquoise gaunnya kontras dengan hijau tegas rerumputan. Gadis itu memandangi langit, bola matanya bergerak mengikuti garis lurus yang dibuat dari kepulan asap roket. Mulutnya masih ternganga, kagum.  Tapi tak sesuara apapun keluar.

Si gadis bangkit, membersihkan gaunnya. Ia segera menuju skuter yang parkir dekat tempatnya berbaring. Kini asap knalpot skuternya juga sudah mengepul, siap meluncur. Dalam hati si gadis, ia tengah menghitung mundur untuk peluncuran kecilnya. Lampu skuter menyala, sengaja ia nyalakan memang. Bahkan dari pertama ia berbaring di atas padang. Ia takut kegelapan. Ia takut sendiri dalam gelap. Ia takut kehampaan.

Di perempatan jalan, lampu merah menyala. Skuter gadis bergaun turquoise juga berhenti, berjajar sendiri di malam gelap nan sepi. Tak banyak yang melintas di jalanan kota kecilnya. Sebuah mobil box besar menjajari. Ada logo departemen antariksa di pintu dan box kacanya. Musik menguar dari kaca mobil yang terbuka. Berkumandang lagu kebangsaan, beriring dengan disampaikannya pidato apresiasi presiden untuk para astronot yang hari ini berangkat. 

Si gadis disergap diam. 

Jantungnya berdegup-degup tak menentu. 

Lampu hijau menyala.

Mobil bergerak perlahan, jelas, sebuah setelan seragam khusus astronot tersisa di balik box kaca. Hanya satu tersisa dari empat etalase. Mobil itu semakin jauh. Si gadis masih diam. Namanya tertulis di seragam itu. Dia tinggal ketika yang lainnya pergi. 

Si gadis tetap diam. 

Ia matikan lampu skuternya. 

Gelap.
***

Bandung rasa Bulan.
Plesiran tapi bukan plesir.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.