Animasi yang Memenangi 102 Awards

Yap, halo... maafkan beberapa bari ini saya in-aktif post karena ada banyak urusan di dunia nyata. Nah, post kali ini saya akan share pendapat mengenai sebuah video animasi pendek yang cukup menarik. Menarik semuanya buat saya. Mulai dari ceritanya, judulnya, proses penemuannya juga. Ini video ada di youtube. Awalnya sih bermula dari kegabutan dan sendirian di kost dan kuota internet full, jadi saya nonton iklan-iklan tivi yang punya konsep keren. Adakah yang setipe dengan saya nonton iklan? Hehehe.

Kemudian saya nemu video dengan judul; Animasi pendek ini memenangi 102 awards. Langsung saya klik dan tonton. Cuma dengan durasi tujuh menitan, dapat membuka mata tentang realita yang cukup masih relevan. Ya, videonya diposting sekitar tiga tahun lalu [di channel youtube-nya dipost tanggal 17 Mei 2014]. Graphic-nya sederhana, animasinya juga sederhana bahkan di awal-awal rasanya creepy. Tapi itu menggambarkan realita kekinian sekali. Yuk tonton dulu ah...


Setelah nonton, saya ga tahu sih apa yang anda rasakan. Tapi saya ingin share sedikit tentang pendapat saya sih. 

Jadi, pada dasarnya memang benar manusia itu makhluk social yang tak bisa hidup sendiri tanpa manusia lain. Tapi di lain pihak, saya juga merasa bahwa ada benarnya juga kalimat Homo Homini Lupus waktu pelajaran sosiologi di SMA. Manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Di awal, si tokoh utama bangun tidur dengan semua perabotan yang disusun dari manusia lainnya.

Menurut saja, judul yang tepat adalah kehampaan dalam realitas dan tenggelam dalam rutinitas. Itu sih, ketika manusia tidak menghargai jasa manusia lainnya dalam hidup, maka dia ga akan pernah melihat bahwa selama ini dia menginjak-injak orang lain sampai kemudian dia sendiri juga terinjak. Digambarkan betapa elitnya si bapak tokoh utama ini menjalani pagi menuju kantor. Mulai dari bangun tidur, sarapan, naik taksi, berhenti di lampu merah, pintu otomatis di kantor, lift manusia, loker dan akhirnya dia sendiri ternyata hanya selembar keset. 

Yap, jika tujuan yang dibuat hanya semata-mata untuk kebutuhan dunia, ya seperti itulah gambarannya. Manusia hanya robot yang terjebak dalam rutinitas, rela menginjak dan mengabaikan orang lain seolah lebih rendah dari dirinya. Padahal ia juga hanya kesetnya manusia lain. Jika videonya dilanjutkan lagi sampai ke dalam ruangan, mungkin saja si bapak yang masuk itu hanya seorang manajer yang menjadi gantungan jas bapak direktur. Jika diperpanjang lagi, mungkin si bapak direktur hanya tempat pensilnya bapak CEO. Lebih panjang lagi, mungkin bapak CEO hanya karpet mahalnya bapak Pemegang saham. Terus diperpanjang, mungkin si bapak Pemegang saham itu hanya kesetnya bapak Presiden. Dan seterusnya sampai tak terhingga. Intinya manusia hanya saling menginjak untuk menuju posisi yang tertinggi. 

Miris sebenarnya. Jika dikaitkan dengan realitas mahasiswa fresh graduate yang berjuang saling tindih untuk bisa lolos seleksi di korporasi yang bona fide. Yang sekiranya mau membayar minimal sepuluh juta per bulan hanya untuk gaji seorang fresh graduate berbekal IPK tinggi [maaf, ini bukan sesi curhat mahasisa minimalis]. Mereka seperti berlomba-lomba mengumpulkan gaji tertinggi di perusahaan dengan prestige tertinggi untuk dapat status terpandang di manusia lainnya. Untuk dapat membeli apapun yang mereka inginkan. Untuk mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan hati [katanya]. Tapi apa yang dimaksud dengan kepuasan hati jika hidupnya begitu-begitu saja terjebak dalam rutinitas bangun pagi, menginjak-injak orang yang pekerjaannya lebih rendah dan akhirnya hanya berakhir sebagai keset bapak CEO? 

Maaf, seperti yang saya bilang di awal pembahasan, bahwa ini murni ide saya, opini saya yang muncul dari kepala yang abnormal ini. Dari dulu saya tidak pernah punya orientasi untuk bekerja pada orang lain [sungguh sebuah keangkuhan si butiran debu ini]. Saya tidak pernah menganggap bahwa bekerja di korporasi besar adalah sebuah prestige. Saya tidak pernah merasa demikian, bahkan kakak-kakak kelas yang sejalan pemikiran dengan saya [dan yang meracuni saya] dengan ekstrem menyebut mereka sebagai kaum budak korporasi. Tajam? Memang, lidah memang tidak bertulang tapi menjadi sangat tajam saat mengucap kalimat vulgar.

Bagi saya, hidup sebagai budak korporasi mungkin ada baiknya. Sama seperti alasan teman-teman lainnya mengincar kehidupan di korporasi besar. Mungkin menjadi wahana yang tepat untuk mengembangkan diri. Mungkin menjadi wahana yang tepat untuk mencari uang saku lebih di usia muda. Mungkin menjadi kawah yang tepat untuk belajar mendirikan korporasi yang nantinya akan menyaingi. Iya, sayatak menutup mata akan semua alasan itu, teman.

Hanya saja, saya punya mimpi yang lebih indah daripada hanya sekedar jadi budak korporasi. Saya ingin menjadi berguna untuk orang-orang disekitar secepat mungkin. Sayaingin bukan hanya saya yang berkembang, tapi mereka juga. Mungkin terdengar sok sosialis. Tapi memang begitulah. Saya ingin belajar dengan orang yang juga ingin dan mau belajar. Saya benci keadaan yang mengharuskan saya belajar sendiri satu arah dengan orang yang maha pandai. Saya benci pelajaran konvensional yang punya kesenjangan vertikal. Saya mahasisa, dia dosen. Saya inginnya, dia guru buatku dan saya bisa jadi guru buatnya. Saya ingin saling bertukar pemikiran dengan ide yang berbeda. Bukan memberi soal yang jawabannya harus benar karena jika tidak, akan dapat nilai nol. Jadi saya bisa tumbuh bersama mereka. Tidak hanya tumbuh dengan saling menginjak dan saling memanfaatan tapi dengan bergandengan tangan dan sama-sama menegakkan kepala menuju ke arah yang lebih baik [MERDEKA].

Sudah ah, semakin lama semakin mirip pidato kampanye calon lurah. Ingat yaa, bukan aku meremehkan teman-teman yang punya impian tinggi bekerja di korporasi. Boleh kok, aku juga menghargainya. Tapi, aku juga harus menghargai impianku sendiri kan? Jadi mari saling hormat-menghormati bukan saling bacok membacoki. Terima kasih sudah mampir di antara semua ke-randoman ini. Saya hargai itu.



Kamis pagi tanggal merah. Renungan mahasisa butiran debu.
Di Bandung rasa Bulan. Plesiran tapi bukan plesir.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.