THE MISSING LINK 20

TRAGEDY
*

Alastair membuka pintu ruang rapat, semua tatap langsung tertuju padanya begitu pintu terbuka. Tuan Saphiro dan empat bangsawan lainnya termasuk ayah Lady Seraphina. Alastair melenggang masuk dengan santai.

“Sayangku, kami sedang rapat penting. Bukankah sudah kukatakan sejak sore bahwa kami tak bisa diganggu?” sambut Tuan Saphiro.

“Aku bukan kesayanganmu.”

“Hei, dengarkan ayahmu ini sayang.”

“Ayahku sudah mati saat kau menemukanku,” bantah Alastair.

“Ivory!”

“Namaku ALASTAIR!”

“Beraninya kau membentak di antara tamu-tamu terhormat!” bentak Tuan Saphiro. Alastair hanya tersenyum. Ia bahkan balik membentak ke seluruh tamu yang hadir.

“Beraninya kalian masih hidup di antara semua yang sudah mati demi kehidupan kalian! Tidakkah kalian merasa harus membayar hutang itu?”

“Apa-apaan bocah ini?” tanya ayah Lady Seraphina.

Alastair mengeluarkan sebuah ampul dari saku jaketnya. Sebuah ampul kecil bening dengan isi cairan hitam di dalamnya. Semua orang dalam ruangan langsung terkejut saat melihat benda itu. Alastair melangkah dengan mantap ke tengah ruangan. Ia duduk di kursi paling akhir dari meja panjang, memainkan si ampul dengan tenang.

“Darimana kau mendapatkannya!” sergah bangsawan yang duduk di dekat Tuan Saphiro. Ia mengenakan cincin dengan lambang keluarga dua bulan sabit. 

“Itu tidak penting.”

“Hey, jangan main-main dengan ampul itu! Jika pecah di sini, bisa jadi musibah untuk kita semua!” kata bangsawan di sampingnya. 

Alastair seolah tidak peduli, ia terus bermain lempar tangkap dengan si ampul. Bahkan ia membumbungkannya lebih tinggi lagi. Seluruh bangsawan dalam ruangan langsung cemas. Bahkan ada yang bergegas menuju pintu untuk melarikan diri. Tapi sia-sia. Pintunya terkunci, ada tiga pintu termasuk pintu darurat untuk keluar dari ruangan dan ketiganya tak bisa terbuka.

“Sayang sekali. Tak ada satupun pintu yang akan terbuka kecuali jika aku mempersilahkan kalian keluar. Morel pasti sudah mengurusnya.”

“Kau psikopat kecil!”

“Saphiro!” bentak Alastair. 

Tuan Saphiro tengah terduduk di pojok ruangan, tangannya bergetar ketakutan. Tak berani ia menatap mata Alastair. Warna turquoise-nya terlihat semakin bening ketika ruangan berubah temaram.

“Alastair sayang,” kata Tuan Saphiro akhirnya. Ia memberanikan diri untuk menghampiri Alastair.

“Letakkan ampulnya, lalu akan kukabulkan apapun permintaanmu. Apapun yang kau mau.” Alastair melambungkan ampul lagi tapi kali ini dia sengaja membiarkannya jatuh. Ampul kaca itu membentur permukaan meja lalu hancur. Cairan hitam di dalamnya langsung meluber di atas meja, lama kelamaan menjadi asap yang membakar meja kayu. 

“Ah, maaf aku menjatuhkannya.”

“Sialan!” Asap dari efek cairan hitam segera merembet memenuhi ruangan. Para bangsawan mondar-mandir ketakutan. Mereka mencoba membobol pintu tapi tetap tak ada yang mau terbuka. Satu per satu dari mereka mulai menghirup asap dari ampul. Satu persatu pula jatuh dan kejang-kejang. Alastair masih duduk tenang sambil memerhatikan kekacauan yang terjadi.

“Ayahku tak pernah setuju dengan ide penelitian mengenai senjata biologis. Lalu kalian berkomplot untuk membunuhnya, bahkan keluarga Clematines menggunakan satu-satunya putri mereka untuk menjalankan rencana busuk ini. Setelah pendekatan dengan pertunangan tidak meluluhkan tekad ayah, kalian membunuhnya. Kalian membunuh dua orang kepercayaan ayah di workshop kesehatan. Mereka adalah keluarga Leasley. Setelah workshop jatuh ke penguasaan kalian, selanjutnya adalah melenyapkan kami.”

“Siapa kau sebenarnya!”

“Aku bocah yang tertinggal dari tragedi di sisa malam itu. Keluarga Moonshide datang dan menyergap kediaman kami. Ayah dan ibu meninggal. Bahkan mereka meninggalkanku begitu saja dengan luka tusuk di jantungku. Lukanya menganga cukup lebar, aku kehabisan banyak darah dan berpikir akan mati. Hingga dia datang. Iblis itu datang lebih cepat daripada malaikat kematian. Dia membiarkanku merangkak ke tengah jalan dan ditemukan oleh si tamak busuk.”

“Moonshide!” teriak Saphiro di tengah sekaratnya.

“Aku sudah bersihkan semuanya,” kata si bangsawan Moonshide. Alastair hanya tersenyum melihat orang-orang itu bahkan masih saling berdebat melempar kesalahan. Morel hadir di hadapan Alastair. Ukurannya kini jauh lebih besar daripada sebelumnya. Bahkan tingginya sudah mencapai langit-langit. 

“Lihatlah para manusia busuk ini membusuk, Morel.”

Hampir semua yang berada di ruangan masih kejang-kejang, kemudian perlahan kulit mereka terbakar. Hangus hingga ke daging-daging dan melepuh. Mereka mulai terengah-engah dan seolah paru-paru tak dapat lagi membawa oksigen masuk. Dua bahkan sudah menggelepar menuju mati. Tuan Saphiro masih memiliki sisa-sisa tenaga untuk merangkak mendekati Alastair. Ia memeluk kaki kanan Alastair sambil memohon-mohon.

“Beri aku kesempatan…” ratap Tuan Saphiro. Matanya yang mulai membusuk masih dia gunakan semaksimal mungkin untuk memohon pengampunan.

“Jangan tatap aku seperti itu, kau makhluk menjijikan!” bentak Alastair sambil menendang Tuan Saphiro sekuat tenaga.

“Kau yang membunuh mereka. Biarkan aku membunuhmu!”

“Kumohon…”

“Setidaknya, biarkan aku memperkenalkan diri dengan pantas. Namaku Alastair dari keluarga Castfire. Aku adalah putra dari Alain Castfire dan Melfrida Castfire. Kuharap kau menerima perkenalanku di waktu yang singkat ini.”

“Keluarga Castfire?” gumam bangsawan Moonshide.

“Keluargaku adalah penanggung jawab workshop militer. Moonshide dan Clemantines mengusulkan penelitian yang melibatkan wabah sebagai senjata perang. Kalian bahkan merumuskan untuk melegalkan adanya slav. Kalian menggunakan slav sebagai bahan uji coba.”

“Kumohon… maafkan aku,” rengek Saphiro.

“Aku tak bisa mengabaikan hal ini.”

“Kumohon… matilah denganku!” seru Tuan Saphiro sambil menusukkan sebuah belati ke perut Alastair. Bocah itu mundur beberapa langkah. Sebuah lubang menganga tergambar di sana, tapi hanya dalam hitungan detik, lukanya menutup kembali. Sempurna tanpa bekas luka.

“Ba…gaimana KAU!”

“Mustahil membunuh yang sudah mati, bukan? Sekarang, matilah Saphiro. Matilah seperti para bangsawan busuk lainnya.” Tuan Saphiro mulai kewalahan dengan pernafasannya hingga ia menggelepar sampai mati. 

Alastair tertawa puas melihat semuanya kaku. Ia tertawa puas karena seluruh ingatannya kembali. Ia tertawa puas karena semuanya sudah mati. Ia tertawa puas karena akhirnya ia bisa mati. Morel datang di saat yang tepat. Alastair terjatuh dari kursi. Luka tusuk dari pedang Gideon mulai mengeluarkan darah. Tikaman dari Tuan Saphiro juga mulai ia rasakan sakitnya. Dalam sekejap, kemeja dan jaket yang dikenakannya langsung memerah karena darah.

“Kau akan mati,” bisik Morel.

“Aku akan dengan senang hati mati di sisa malam ini.”

“Ini menarik. Aku ingin bertanya satu hal padamu,” kata Morel.

“Katakanlah selagi aku masih punya sisa waktu.”

“Mengapa kau mengambil pilihan ini. Bisa saja saat itu kau menolakku. Bisa saja kau memilih mati di sisa malam tragedi itu. Mengapa kau malah menerimaku dan seolah mengulang tragedi?”

“Tapi jalan ceritanya sudah berbeda, bukan? Jika aku mati di malam itu, Saphiro dan para bangsawan busuklah pemenangnya. Tapi matinya aku malam ini sebagai pemenang. Tidak ada yang sia-sia, Morel.”

“Aku senang karena kau tak menyesalinya.”

“Sebuah pilihan adalah resiko yang sudah harus disadari akibatnya. Jadi, tak ada penyesalan. Karena jika penyesalan itu ada, maka sama saja aku tak tegas menyikapi apa yang kupilih.”

“Kau berubah drastis, Alastair. Malam itu aku hanya melihat bocah kepayahan yang putus asa karena tak punya kesempatan untuk hidup. Tapi malam ini, kau jadi monster yang bahkan menikmati setiap detiknya untuk membunuh semua kebencianmu.”

“Kau yang menghapus ingatanku?”

“Tapi bukankah aku juga mengembalikannya padamu? Aku bahkan membantumu membuat ini jadi menarik, bukan?” Alastair tersenyum mendengar jawaban Morel.

“Kau mengembalikannya saat aku membunuh mereka.”

“Jika aku tak menghapusnya, aku takut kau akan ragu. Mereka semua sangat dekat denganmu bukan?”

“Seraphina, tunanganku. Gideon, sahabat yang paling kubanggakan. Tapi Crispin… mengapa aku tak mengingat apapun tentangnya. Mengapa kau tak mengembalikan ingatanku tentang Crispin?” Morel hanya tertawa mendengar pertanyaan Alastair.

“Karena dia memang tidak ada hubungannya secara langsung denganmu. Keluarganya hanya jelata, mereka yang percaya dan berharap banyak pada keteguhan keluargamu untuk menolak ketidakadilan. Ia adalah korban dari hancurnya keluargamu.”

“Dia tak ada dalam masa laluku?”

“Dia pernah menyemir sepatumu saat kau berlibur ke pantai di barat. Dia sangat mengagumimu karena itulah saat dia mati, dia memohon agar mengembalikan ingatan itu padanya. Ia ingin mengingat kembali sosok Alastair Castfire dalam kenangannya. Aku mengabulkannya.”

“Dia memang selalu seperti itu.”

“Ini menarik.”

“Jadi, apa kau sudah kenyang? Banyak jiwa yang bisa kau makan.”

“Mereka hanya makanan pembuka. Kau tidak lupa dengan perjanjian kita, bukan?”

“Aku akan menjadi menu utama dari pesta malam ini. Terima kasih untuk waktu yang kau berikan. Meski singkat, kesempatan itu sangat berharga bagiku. Kuharap apa yang bisa kuberikan untukmu akan setimpal dengan semua pemberianmu.”

“Tentu saja. Aku akan menikmatimu. Kau sangat menggiurkan Alastair.”

“Apa aku boleh bertanya satu hal lagi?”

“Tentu.”

“Apa kau suka nama yang Crispin berikan padamu? Apa kau suka saat kami memanggilmu Morel? Kami bahkan tak tahu siapa namamu yang sebenarnya.”

“Aku suka nama apapun yang diberikan manusia. Karena pada dasarnya aku tak punya nama,” jawab Morel. Alastair tersenyum mendengarnya. Seluruh rasa sakitnya semakin terasa. Kini ia bahkan mulai mengalami gejala keracunan dari isi ampul. Morel langsung mendekatinya, ia menjilati wajah Alastair.

“Selamat malam, Morel.”

“Selamat tidur, Tuanku.”
***

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.