THE MISSING LINK 15

/Deception: // Dishonesty// Trickery// Trick// Fraud// Cheating/

DECEPTION
*

Crispin membersihkan abu dari perapian. Ivory hanya memandanginya dari atas sofa panjang tempat Crispin tidur. Sudah tiga hari ini Crispin lelap tidur di sofa itu. Ivory terkikik sendiri saat memikirkan kembali raut kesal di wajah Giles saat itu. Ia benar-benar puas.

“Bisakah kau berhenti tertawa sendiri? Itu menyeramkan,” sahut Crispin yang ternyata mendengar suara tawa Ivory. Tawa Ivory makin meledak. Ia terbahak.

“Aku bahagia saja.”

“Tidak baik menumpuk abu di perapian. Harusnya dibersihkan setiap hari,” kata Crispin mengomentari tumpukan abu dalam perapian.

“Sudah kubilang kau tidak perlu melakukan itu, Pin. Akan kuperintahkan slav lain untuk membersihkannya,” kata Ivory.

“Aku bisa melakukannya. Biar aku saja. Kau juga tak mau mendengar apa yang kukatakan tadi. Bukankah sudah kubilang untuk keluar dulu. Debu dari abu-abu ini mungkin akan memenuhi ruangan.”

“Aku baik-baik saja. Kau hanya terlalu khawatir, Pin.”

Tok…tok..tok…

Sebuah ketukan di pintu menghentikan perdebatan keduanya. Ivory masih tetap di atas sofa dan Crispin bersiap membukakan pintu. Ia melepas sarung tangan dan kain penutup hidung.

“Ya,” teriak Ivory tanpa beranjak dari sofa. Crispin langsung menuju pintu untuk membukanya.

“Sekeras apapun kau berteriak, tak akan terdengar. Kau harus membukanya,” gerutu Crispin. Seorang slav masuk setelah Crispin mempersilahkannya. Dia adalah salah satu slav Giles. Ivory hanya memandanginya masuk.

“Tuan Giles mengundang anda untuk bertemu di ruangannya. Bersediakah anda menghadirinya, Tuan Ivory?” kata slav Giles.

“Hmm, di ruangan Giles ya…” kata Ivory seolah mempertimbangkan.

“Aku akan datang,” lanjutnya.

“Kami akan menyajikan teh dan dessert untuk anda,” kata si slav. Crispin langsung berinisiatif bicara soal alergi gluten Ivory. Tentu saja ini adalah tugasnya.

“Tapi mohon hindari…”

“Aku akan datang. Sampaikan itu pada tuanmu. Dengan senang hati aku menerima undangannya,” potong Ivory. Dalam saat yang bersamaan, Ivory juga menatap tajam ke arah Crispin. Seolah memberi kode baginya untuk tetap diam. Slav Giles langsung undur diri setelah mendengar jawaban Ivory. Ivory tersenyum puas begitu pintu tertutup. Justru Crispin yang terlihat cemas.

“Hey, mengapa kau memotong kalimatku?” cecar Crispin.

“Anggaplah tadi kau tidak berada dalam ruangan, Pin. Anggap saja kau tidak mengetahui kedatangan slav Giles ke ruanganku. Anggaplah kau tidak tahu tentang undangannya. Abaikan saja,” kata Ivory.

“Maksudmu? Kau sengaja tak memberi tahu mereka soal alergimu? Bagaimana jika mereka menyajikan biskuit atau roti dari tepung terigu biasa atau dari tepung gandum? Kau bilang harus menghindari makanan dengan gluten ‘kan?” Ivory tersenyum.

“Kau memang perhatian, Pin. Tapi inilah saat yang kutunggu. Ketika Giles membuat kesalahan, semua orang akan mengira bahwa ia tak bisa lagi mengendalikan kecemburuannya. Bahkan ayah juga tak mungkin lagi mengampuninya. Ia akan tamat dan aku yang menjadi satu-satunya.”

“Itu mengerikan.”

“Jika tidak seperti itu, Ivory tak akan pernah menjadi Ivory. Jika tidak seperti itu, bukankah kita tak bisa bertahan?”

“Kurasa kau sudah keterlaluan, Ivory. Kau sudah menjadi kesayangan ayah. Kau bahkan tak bisa dibantah oleh siapapun. Lady Seraphina juga sangat menyayangimu. Mengapa kau masih saja bersikap sejahat itu pada Giles?”

“Kau tidak suka aku seperti ini, Pin?”

“Kau tidak seperti yang kukenal. Kau bahkan sering mengerjai Giles. Kurasa sudah cukup baik untukmu karena Giles berhasil menahan kekesalannya. Tapi apa kau tahu keadaan slav-nya? Mereka jadi tempat pelampiasan kemarahan Giles. Menyedihkan melihatnya. Apa sebenarnya yang ingin kau ambil lagi darinya? Apakah semua yang kau dapat tidak cukup?”

“Aku akan mengundang ayah juga untuk datang. Aku hanya ingin melihat ayah menghajar Giles di depan mataku sendiri. Aku ingin melihat kemarahan yang selama ini hanya disembunyikan di balik pintu setelah aku pergi. Itu akan menyenangkan. Temani aku menghadiri undangannya, Pin.”

“Maaf. Tapi aku tak ingin melihatnya. Kau bisa mengajak slav lain, Tuan Ivory.”

Crispin undur diri. Ivory masih tersenyum membayangkan rencananya berjalan. Meski ia tak habis pikir mengapa Crispin harus menentangnya.
*

Ivory duduk di kursi yang disediakan. Tepat berhadapan dengan Giles. Slav Giles langsung menghidangkan teh juga aneka macam biskuit dan dessert. Sebuah brownies dengan taburan almond dan lelehan cokelat di atasnya. Terlihat menggiurkan. Juga mematikan, pikir Ivory.

“Wow, aku terkesan dengan jamuanmu, Giles.”

“Senang jika kau merasa begitu,” balas Giles malas. Ivory mulai menyendok dessert-nya. Ia juga segera menyeruput teh yang masih hangat. Sementara Giles diam memandangi tamunya makan dengan lahap.

“Jadi, apa tujuan dari jamuan ini? Apa ini hanya basa-basi karena kepalamu terbentur sesuatu?” pancing Ivory. Ia berhenti makan dan memerhatikan kain kasa yang menutupi pelipis Giles. Ia juga punya lebam di pipinya dan ada luka yang sudah kehitaman di sudut bibirnya. Giles tersenyum mendengar pertanyaan kritis Ivory.

“Kau pengamat yang baik.”

“Itu pujian atau sindiran? Entah mengapa aku tidak merasa bahwa acara ini sengaja diadakan untuk memujiku. Langsung saja Giles, waktuku terbatas,” kata Ivory.

“Aku memang sedang memujimu, Ivory. Aku memuji keberanianmu untuk merendahkan ayah. Jadi, aku mohon berhenti bertindak kekanakan. Ayah sudah cukup lelah dengan urusan bisnis. Tapi keberadaanmu yang harusnya membantu ayah, justru bersikap sebaliknya.”

“Aku hanya merepotkan ayah?” pancing Ivory.

“Setidaknya, itulah yang aku lihat. Ayah sangat sibuk mengurusmu. Jadilah mandiri dan penuhi kebutuhanmu sendiri.”

“Kau meminta ini hanya karena keegoisanmu saja ‘kan Giles?”

“Aku tak berniat…”

“Apa kau sudah lelah menjadi tempat ayah melampiaskan kekesalannya? Apa kau sudah bosan dipukuli? Sepertinya kau yang mulai lupa diri, Giles. Karena kesalahanmu ini semua terjadi. Kau yang seharusnya memikat Lady Seraphina tapi kau gagal. Kau yang harusnya jadi kesayangan ayah, ternyata keberadaanku malah jadi yang paling menguntungkan bagi ayah.”

“Kau bicara terlalu banyak.”

“Kau menasehatiku untuk jadi berguna dan mandiri. Tapi kaulah yang tidak berguna di rumah ini, Giles. Jadi, tidak usah berpikir bahwa kau lebih baik daripada aku hanya karena kau mandiri.”

“IVORY!” Giles menyapu cangkir tehnya. Cangkir dan piring-piring itu jatuh berserakan menjadi kepingan. Slav Giles yang masih terbalut perban segera memunguti kekacauannya.

“Lihatlah kemarahanmu, Giles. Kau bahkan menghajar slav yang melayanimu. Bukankah kau menyedihkan?”

“Aku tidak pernah menyangka jika ayah akan terselamatkan oleh bocah sombong sepertimu. Suatu hari nanti, ayah akan tahu kesalahan terbesarnya bukanlah aku. Tapi kesalahannya adalah memungutmu di malam itu. Kau tak seharusnya ada di tempat ini dan menjadi kesayangan ayah!” bentak Giles. Ia tak dapat lagi menahan emosinya.

“Kau pikir dengan sikap emosional itu, kau bisa jadi kesayangan? Berhentilah bermimpi konyol, Giles. Akulah kesayangan ayah. Dan kau hanya pecundang tak berguna yang tak menyadari ketidak bergunaannya.”

“Hanya aku kesayangan ayah. Hanya aku yang membawa keberuntungan baginya. Tak ada yang lain. Turquoise tak pernah punya tempat di Manor Saphiro. Menghilang sajalah kau!”

“Kau pikir bisa kembali jadi kesayangan ayah?” tanya Ivory dengan seringainya. Giles yang geram hanya menggenggam erat gagang cangkir tehnya. 

Ivory mulai merasakan gejala alerginya muncul. Kulitnya memerah perlahan dan ia merasakan gatal yang sangat. Perutnya mual, Ivory menutupi mulutnya. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membanjiri permukaan kulitnya. Ivory terjatuh dari kursinya, ia kemudian muntah. Slav Ivory segera menghampirinya, Giles juga ikut bangkit dari kursinya karena khawatir. Ivory merasakan dadanya sesak, seolah paru-parunya tak mau lagi memompa oksigen. Ia terengah-engah dalam kepayahan. Giles dan semua slav yang berada di ruangan seketika panik.

“Tuan Ivory…”

“Hey, Ivory. Jangan bercanda!” seru Giles. Ia mencoba membantu Ivory tapi ia malah tersungkur karena dorongan ayah. Ayah masuk dalam ruangan. Ia segera menggendong Ivory.

“Ayah?” panggil Giles. Ia kemudian menghampiri ayah, ia bahkan berlutut di kakinya.

“Kau keterlaluan Giles.” Giles berdiri, ia ingin menatap dengan jelas wajah Ivory yang penuh kemenangan di balik kepayahannya.

“Aku tidak selicik itu ayah. Dia yang…” 

Plaaak

Ayah menampar pipi Giles. Sepertinya ayah sangat kesal sampai ia memukul Giles hingga meninggalkan warna merah di wajah tampan Giles. Ayah segera membawa Ivory keluar dari ruangan. Yang terakhir Giles lihat adalah seringai kemenangan di wajah licik Ivory.

“Dia benar-benar menyebalkan,” gumam Giles.
*

Ivory berada di kamarnya. Dokter pribadi ayah sedang memberikan resep untuknya. Ayah menunggui dengan khawatir di sampingnya. Ivory menatap raut cemas di wajah ayah dengan tatapan sayu. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas. Bahkan ia sempat sesak nafas untuk beberapa menit awal. Tapi setelah semuanya terjadi, yang ia rasakan hanya kelegaan. Skenarionya berjalan lancar. Ia melihatnya. Ia sudah melihat langsung ayah menghajar Giles.

“Kau alergi gluten, sayangku.”

“Ayah… aku hanya tidak ingin menolak jamuan makan Giles. Akan menyakitkan baginya jika aku menolak. Aku takut dia kecewa.”

“Giles pasti memberimu dessert dari tepung terigu biasa. Dia memang keterlaluan. Kecemburuannya sangat mengerikan. Aku tak pernah membayangkan dia berbuat sekejam ini padamu, sayangku.”
Ivory tersenyum lemah, ia membuat senyumnya terlihat tegar. Ayah terlihat menyayanginya secara alami. Crispin murung di balik pintu kamar. Si dokter segera keluar. 

“Bagaimana keadaan Tuan Ivory?” tanya Crispin pada si dokter.

“Dia baik-baik saja. Beruntung dia hanya makan beberapa suap jadi reaksinya tidak begitu berat.”

Giles melintas koridor depan kamar Ivory. Ia berjalan terpincang dan wajahnya penuh luka lebam. Ia menghampiri Crispin.

“Apa tuanmu masih hidup?” tanya Giles.

“Tuan Ivory baik-baik saja,” jawab Crispin. Lalu Giles pergi begitu saja. Crispin semakin sedih saat ia melihat keadaan Giles. Ia jadi seperti itu karena Ivory. Crispin merasa kehilangan sahabatnya. Ia merasa kehilangan Alastair.
***

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.