THE MISSING LINK 19

RECOLLECTIONS
*

Malam menuju pertengahannya. Bahkan hari mungkin sudah berganti. Ya, berganti. Sama seperti Ivory yang kembali menjadi Alastair. Ia mengunci bagian belakang Manor untuk memastikan tidak ada pelayan dan penjaga yang menghalangi para slav kabur. Ia berjalan sendiri di tengah besarnya Manor. Alastair sudah memerdekakan semua slav termasuk para slav pribadi. Juga Crispin yang lebih dulu merdeka.

“Ivory,” sapa Lady Seraphina. Tapi yang disapa hanya diam. Dia bahkan terus melaju menuju kamarnya tanpa menghiraukan kehadiran sang Lady.

“Hey, kau mulai berani mengabaikanku!” bentaknya kini. Ia bahkan berlari dan sengaja berhenti di depan Alastair.

“Menyingkir dari jalanku!” bentak Alastair.

“Kau berani menyuruhku menyingkir? Apa kau mau kusingkirkan?”

“Karena aku adalah Alastair. Jadi, berhenti memanggilku dengan nama selain Alastair. Aku sudah muak dengan semuanya. Aku benci menjadi orang lain, Seraphina.”

“Dasar tidak tahu tata karma!” Lady Seraphina menampar pipi Alastair. Keduanya hanya diam, hingga jeritan Lady Seraphina menggema. Ia melihat Morel yang tiba-tiba menghampiri Alastair. Kucing itu kini sudah sebesar kuda pacuan.

“Makhluk a…pa yang kau pe…lihara!” seru Lady Seraphina tergagap.

“Maaf, tapi aku bukan anjingmu lagi.”

Lady Seraphina ketakutan melihat Morel menyeringai. Ia bergegas melarikan diri, Alastair hanya diam saja menyaksikan. Lady Seraphina terpeleset karena menginjak gaunnya sendiri, ia jatuh menggelinding dari tangga lantai dua. Ia terus berguling, membentur tiap anak tangga. Saat itulah satu per satu ingatan Alastair tentang Seraphina mulai kembali.

“Ternyata kau masih saja ceroboh, Seraphina. Dari dulu kau memang menginginkanku jadi anjingmu bukan? Aku ingat saat ayahmu datang dan menyalami ayahku. Mereka terlihat akrab. Hingga kalian membunuh ayahku. Tentu saja kau tidak akan mati sia-sia. Keinginanmu untuk menjadikanku anjing piaraanmu, bukankah sudah kaucapai? Beristirahatlah dengan damai, tunanganku.”

Alastair berjalan kembali, ia melewatkan kamarnya. Juga tubuh Lady Seraphina di bawah tangga. Tubuh kakunya berlumur darah yang masih mengalir dari luka di kepalanya. Morel diam saja memandangi sang Lady. Ia juga tak mengekori langkah Alastair.
“Aku akan menyelesaikannya segera.”
*

Alastair terus berjalan. Ia melewati kamarnya, ia bahkan hampir melewati semua ruangan. Manor sudah sepi. Tuan Saphiro dan tamu undangannya tengah fokus pada pertemuan mereka. Para pelayan sibuk mempersiapkan jamuan. Ini kali pertama mereka bekerja tanpa slav. Mereka juga tak berani mengabarkan pada majikannya bahwa Alastair sudah melepas semua slav.

Saat melewati ruang anggar, langkah Alastair terhenti. Seseorang tengah berlatih di dalamnya. Alastair langsung masuk dan menemukan Giles sedang berlatih sendiri.

“Aku turut berduka untuk kematian slav-mu. Aku tahu betapa kalian sangat dekat,” kata Giles. Alastair tak bereaksi. Ia bahkan tak ingin mendengar apapun dari Giles sekarang. Ia hanya ingin menghapuskan semua, ia ingin membalaskan sakit hatinya. Ia sangat kehilangan Crispin.

“Aku harus membunuh ayah,” kata Alastair.

“Ivory! Kau memang bocah gila tak tahu diri!” bentak Giles. Ia bahkan melemparkan sebilah pedang untuk Alastair. Itu adalah sebuah tantangan.

“Tak ada yang boleh menyakitinya. Meskipun itu adalah kau, Ivory sang kesayangan ayah. Aku mungkin akan membunuhmu sebelum kau punya kesempatan untuk membunuhnya.”

“Sayangnya, kau yang tak punya kesempatan Giles.”

“IVORY!”

Giles langsung menerjang Alastair dengan sebuah serangan telak. Serangannya masuk, pedangnya menusuk perut Alastair. Tapi dia masih berdiri tegap seolah tak terjadi apapun. Alastair balas menyerang. Giles menangkis serangan Alastair. Mereka cukup seimbang. Alastair berhasil menggores pipi Giles, ia berdarah dan terkejut.

“Kau masih berdiri setelah serangan sambutanku?”

“Sudah kubilang, kau tak punya kesempatan.”

“Siapa kau sebenarnya, Ivory!”

“Namaku ALASTAIR!”

Alastair menyerang Giles dengan cepat. Ia bahkan seolah tak memberi jeda untuk Giles mempersiapkan langkah. Giles hanya berusaha menangkis setiap serangan, tapi Alastair bergerak menyerang seolah dia sudah tahu gerakan Giles selanjutnya. Dengan satu sentakan, pedang Giles terlepas dari genggamannya. Ia kini terkapar nyaris kehabisan nafas. Alastair diam menyaksikan Giles yang hanya meringis menahan perih dari luka-luka menganga di tubuhnya. 

“Kau seperti sudah lama mengenalku. Ini seperti kita berdua sudah sejak lama saling beradu pedang. Ini memalukan, harus mengaku kalah darimu.”

“Tidak ada gunanya kau merasa seperti itu. Bukankah tadi sudah kuingatkan bahwa kau tidak punya kesempatan untuk mengalahkanku?”

“Dasar sombong.”

“Kuharap kau tak menghalangiku lagi, Giles.” Giles tergopoh-gopoh berdiri. Ia menggapai pedangnya lagi. Alastair tak lagi mempedulikannya. Morel menunggu di depan pintu, matanya berbinar menatap Giles yang kepayahan.

“Aku tak akan membiarkanmu menyakiti ayah. Dia adalah penyelamatku. Dia yang menyelamatkanku ketika semua orang meninggalkanku. Dia satu-satunya yang menyayangiku meski aku nyaris gila setelah penculikan itu. Jadi sudah sewajarnya jika aku sekarang yang menyelamatkannya. Aku akan membunuhmu, IVORY!” Seketika Giles langsung roboh. Sebuah pedang menghujam tepat ke arah jantungnya, ia diam sekarat.

“Sudah kubilang namaku Alastair.”

“Jika kau berhasil menang, mungkin itu karena aku mengalah,” gumam Giles. Alastair tersenyum kecut mendengar kalimat itu. Sepintas ia menemukan kembali ingatannya di masa lalu. Kalimat itu tak asing baginya. Tapi kesedihan itu tak berlangsung lama. Giles kepayahan.

“Apa kau masih ingat namamu yang sebenarnya? Nama yang diberikan oleh orang tuamu? Bukan nama yang diberikan oleh si busuk itu?”

“Na… ma…ku Giles.”

Alastair tetap tenang menyaksikan saat-saat terakhir Giles. Bahkan saat dia mengucapkan kalimat terakhirnya. Ada sedikit kesedihan dalam hati Alastair. Saat Giles meninggal, semua memori tentangnya segera menelusup ke kepala Alastair. Dia kembali mengingatnya.

“Orang tuamu bekerja di workshop kesehatan. Keluarga kalian sangat dekat dengan keluargaku. Kau adalah idolaku. Kau memang kakakku, kau juga guru bagiku. Kita sering beradu anggar, kau menang dua puluh tiga kali. Rekor terbaikku adalah imbang satu kali denganmu. Aku sangat mengagumimu dan selalu berharap bisa seperti dirimu.” Morel mendekati tubuh Giles. Ia berkeliling di sekitarnya sambil mengibas-ibaskan ekornya.

“Kau selalu mengatakan kalimat itu setiap kali mengalahkanku. Kau bilang jika suatu saat aku menang, itu karena kau mengalah. Tapi aku tidak yakin hari kau mengalah.”

“Kau memang nyaris gila. Tapi bukan karena penculikan itu. Kau nyaris gila karena dendammu pada Saphiro. Kau bukan diselamatkan dari penculik, justru kau yang diculik oleh Saphiro. Saat itu kau sangat benci padanya, kau mencoba membunuh orang yang memfitnah orang tuamu. Hingga mereka merekayasa ulang ingatanmu. Kau juga terbodohi dengan nama Giles.”

“Maaf untuk kematian sia-siamu, Gideon Leasly. Tapi sayangnya kau juga sudah membuat orang yang kusayang jadi mati sia-sia. Kita memang bodoh.” 

Alastair melempar pedang di tangannya.

“Kita semua terbodohi.”

Morel menyeringai, ia seolah puas melihat Alastair semakin dekat pada Alastair yang diinginkannya. Alastair yang tak kenal belas kasih. Alastair yang tak pernah ragu. Alastair yang penuh kebencian dan tak malu-malu untuk mengungkapkannya. Dan Alastair yang dipenuhi dendam.

“Morel, tunggulah sebentar lagi. Aku akan menyelesaikannya sebelum fajar. Tragedi di sisa malam, bukankah itu selalu jadi kesukaan Saphiro?”

“Baik tuan,” jawab Morel.
***

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.