THE MISSING LINK 14

/Jealousy : //Distrust// Suspicion// Suspiciosnes/

14 JEALOUSY
*

“Maaf Tuan Giles, ruang mandi utama akan digunakan oleh Tuan Ivory. Harap anda menunggu atau menggunakan ruang mandi belakang,” kata pelayan Ivory yang menunggu di depan pintu. Giles diam dan membiarkan pelayannya yang mengurus.

“Tuanku sedang terburu-buru. Ada undangan penting untuk beliau pagi ini. Beliau bahkan mewakili keluarga Saphiro dalam pertemuan tersebut. Bisakah kau buat majikanmu mengalah?”

“Maaf, tapi beliau sudah di sini.”

Ivory muncul dari lorong, diikuti tiga slav nya. Ia terlihat riang dan semakin riang saja saat menemukan Giles dan para pelayan juga slav-nya berkumpul di depan pintu ruang mandi.

“Selamat pagi Giles. Kuharap kau tidak keberatan untuk menggunakan ruang mandi di belakang. Aku harus segera membersihkan diri. Kuda baru akan datang hari ini dan aku malah menumpahkan susu ke kemejaku. Ini menyusahkan.”

“Kau mandi hanya karena tumpahan susu? Kau mandi hanya untuk menyambut kuda baru?” tanya Giles.

“Yap, kuda baru hadiah dari ayah. Aku memintanya kemarin. Tak kusangka akan datang begitu cepat. Ayo mandi, Pin.” Ivory melenggang santai masuk ke ruang mandi. Sementara pelayan dan para slav-nya tak berani menatap rombongan Giles. Giles hanya diam di depan pintu, tak ada yang berani mengusik diamnya. Sampai lima menit kemudian, mereka masih dalam diam.

“Tuan Giles, kami akan mempersiapkan ruang mandi belakang,” kata si pelayan kemudian. Para slav langsung undur diri untuk bersiap. Tersisa Giles dan pelayannya.

“Bocah itu membuatku kesal,” gumam Giles.

“Tuan Giles, terkadang sikap dewasa diperlukan untuk menunjukkan kualitas. Dan saya yakin anda punya sisi yang lebih baik daripada Tuan Ivory. Kecemburuan hanya akan menimbulkan ma…” Dalam hitungan detik, si pelayan tersungkur. Tangan Giles masih mengepal erat.

“Jangan bicara padaku soal bocah itu lagi!”
*

Giles mengetuk pintu kamar ayah, meskipun ia tahu bahwa ayah tak ada di kamarnya. Beliau sedang dalam perjalanan bisnis sejak dua hari lalu. Sore ini Giles membawa surat-surat yang datang dan ditujukan untuk ayah. Ia selalu memilah surat yang datang dan selalu mengantarkannya ke kamar ayah. 

“Ya masuk,” teriak seseorang dari dalam. Giles segera masuk dan menemukan Ivory tengah duduk santai di sofa panjang dekat perapian.

“Pikirmu apa yang sedang kau lakukan?”

“Aku? Hmm, aku hanya sedang memilih sofa panjang yang cukup lebar untuk tempat tidur slav pribadiku. Aku sudah berkeliling manor dan tak menemukannya. Ternyata ayah memiliki apa yang kubutuhkan.”

“Tidak baik masuk ke kamar seseorang yang sedang tidak ada di tempat.”

Ivory seolah mengabaikan kalimat Giles. Ia masih saja duduk santai sambil memakan anggur dan buah-buahan yang tersedia di samping sofa.

“Jika aku memberi tahu ayah, dia pasti tidak menolaknya. Jadi jangan terlalu tegang, Giles. Kau mau apel? Sepertinya selera ayah tidak terlalu tinggi. Apelnya tidak enak, jadi hanya kumakan satu gigitan. Kau mau?” Giles menghampiri Ivory. Ia menerima apel yang memang sudah menghilang satu gigitan. Ivory tersenyum mengejek saat Giles menerima apelnya.

“Apa kau tak pernah meminta apapun pada ayah?”

“Aku masih tahu diri,” kata Giles. Ia segera menuju meja kerja ayah untuk meletakkan surat-surat.

“Apa menurutmu ayah masih punya harga diri?”

“Jaga bicaramu.”

“Aku pernah melihat ayah membungkuk memohon pada ayah Seraphina. Aku juga pernah melihat ayah ketakutan karena Lady Seraphina marah. Kau juga pasti pernah melihat ayah dalam keadaan memalukan, bukan? Misalnya saat pelayan Lady Seraphina menghajarnya atau saat dia berlutut untuk mencium tanganku. Bukankah itu memalukan?”

“Bicaramu memalukan, Ivory.”

“Apa dia benar-benar bangsawan? Menurutku dia sama sekali tak punya aura kebangsawanan dan kharisma. Dia mirip seperti pemungut sampah di antara tumpukan sampah. Tidak terlihat perbedaannya.”

“IVORY!” Giles sudah mengepalkan tangannya. Ia siap menghantamkan tinjunya pada Ivory tapi kemudian terhenti karena pintu terbuka. Empat orang penjaga masuk ke dalam kamar.

“Oh kalian sudah datang, lama sekali. Bawa sofa ini ke kamarku sekarang juga. Aku tak bisa melihat Crispin terlalu sering tidur meringkuk di lantai depan perapian.”

“Baik, Tuan Ivory.” Para penjaga mulai bekerja. Mereka menggotong sofa panjang yang dimaksud Ivory. Giles hanya diam memandangi mereka bergerak. Termasuk memandangi Ivory yang masih santai berbaring di sofa sementara para penjaga berusaha keras menggotong sofa.

“Aku keluar dulu, kakak.”

“Sialan,” batin Giles.
*

Giles mengayukan pedangnya. Ia bahkan menggunakan pedang koleksi ayah, bukan lagi pedang untuk berlatih anggar. Lima orang slav nya berdiri berjajar menemaninya berlatih. Giles melemparkan sebuah pedang pada salah satu slav-nya.

“Temani aku bermain,” kata Giles.

Dengan ragu-ragu, slav berambut hitam itu menerima ajakan Giles. Ia maju ke arena dan bertanding melawan Giles. Dengan kecepatan dan kemahirannya, Giles menyerang si slav. Tangannya mengucurkan darah. Pedang Giles menyayat lengan si slav yang bahkan tak tahu cara menggenggam pedangnya.

“Apa kau tak bisa menyerangku?” kali ini Giles menghantamkan tinjunya, si slav tersungkur. Giles mengambil pedang yang terlempar dan kembali melemparkannya pada slav lain. Hasilnya tak jauh beda. Tiga slav tersungkur di arena. Darah mengotori lantai marmer putihnya. Giles masih menduduki slav ketiga yang sudah terlentang tak berdaya. Giles menamparnya.

“Bagaimana bisa ayah salah pilih dan memungut Ivory sialan. Di saat harusnya hanya aku yang bisa menyelamatkan ayah! Sekarang aku bahkan tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu ayah! Setiap hari, si brengsek kecil itu semakin mengoyak harga diri ayah. Bagaimana bisa ayah tetap bertahan saat diinjak-injak olehnya! Aku membencinya!”

“Jika bukan karena ayah, aku pasti sudah membunuhnya! Aku pasti membunuh bocah sialan itu! Dia membuatku gila!”

“Tuan…” 

Pelayan Giles segera masuk setelah sebelumnya mengetuk pintu ruang anggar. Ia sedikit terkejut saat mendapati ruangan itu bernoda darah. Juga saat ia melihat tiga dari lima slav Giles terkapar dengan luka robek karena pedang. Tapi si pelayan tetap bersikap tenang.

“Tuan Giles, Tuan Saphiro sudah kembali dari perjalanannya,” kata pelayan Giles mengabarkan. Giles langsung bersemangat. Ia melempar pedangnya dan bergegas.

“Siapkan teh dan biskuitnya, aku yang akan membawanya masuk menemui ayah,” kata Giles memerintahkan pelayannya. Sementara ia kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian.
*

“Tuan Ivory sedang ada di dalam, beliau sedang berbicara dengan Tuan Saphiro. Mohon tunggu mereka selesai, Tuan Giles.” Seketika semangat Giles luntur. Lagi-lagi ia terlambat.

Giles tetap menunggu di depan pintu. Ia sendirian. Meski sudah setengah jam ia duduk di sana, ia sama sekali tak ada niatan untuk pergi. Dengan sabar ia menunggu, hingga Ivory keluar dari ruangan. Giles bangkit dan membawa nampan teh serta biskuit. Mereka bertemu di depan pintu. Giles diam saja mengabaikan seringai di wajah Ivory.

“Ayah…” sapa Giles. Ayah tersenyum.

“Aku punya hadiah menarik untukmu, Giles.” Ayah menggenggam botol wine lalu dalam seketika ia memukul kepala Giles dengan botol itu. Darah mengalir dari pelipis mata Giles. Ayah terlihat panik tapi ia merasa serba salah. Hingga akhirnya dia hanya berteriak meluapkan kekesalannya.

“Aku masih di sini, ayah.” 

Kali ini ayah menghantarkan tinjunya ke perut Giles dan membuat bocah itu tersungkur. Ayah menghampirinya dan mencengkeram kerah kemeja Giles. Ia kembali membenturkan kepala Giles ke arah tepian ranjang. Giles hanya diam menahan perihnya. Ayah melemparkan Giles ke atas kasur. Ia menatap bayangan dirinya di cermin. Ia begitu berantakan hanya karena seorang bocah laki-laki bermata turquoise. Ia kacau karena seorang bocah yang terpaksa harus menjadi kesayangannya. Ia bahkan menghajar kesayangannya hanya karena bocah itu.

“Bocah itu! Harusnya aku biarkan dia mati membusuk di tengah jalan! Harusnya aku membiarkan dia dicabik-cabik anjing hutan! Harusnya dia tak datang kemari! Harusnya dia mati saja! Dasar bodoh! Tak berguna! Pembawa sial!” umpat ayah. Setiap umpatannya ia tujukan pada Ivory. Tapi di setiap umpatan, disertai tamparan yang mendarat di wajah tampan Giles.

“Mengapa kau tak memberontak, Giles?” tanya ayah lembut. Ia seolah tersadar bahwa tak ada gunanya menghajar Giles. Ada tatap penyesalan dalam matanya. Tangannya lembut membelai wajah Giles. Perlahan, ia menyeka darah yang mengaliri wajah tampan anak kesayangannya.

“Karena aku tidak berguna untukmu, ayah. Jika saja aku yang menjadi anjing Lady Seraphina, kau pasti tidak akan menderita seperti ini. Jadi aku hanya akan menerima saja. Bahkan jika ayah menggunakanku sebagai pelampiasan. Aku tetap bahagia karena masih berguna untukmu.”

“Oh Giles sayangku.”
***


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.