THE MISSING LINK 18

GLOOMY BLOSSOM
*

Hari terakhir acara, ibukota diguyur hujan lebat. Meski sudah berakhir sejam lalu, para bangsawan yang berasal dari luar ibukota masih berkumpul di penginapan tempat terselenggaranya acara. Ivory mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan kaca jendela. Memandangi cuaca di luar yang benar-benar buruk. Hujan deras disertai angin yang membuat pepohonan meliuk-liuk. Juga petir yang menggelegar sesekali.

“Apa kita tidak bisa menerobosnya saja?” tanya Ivory tidak sabar.

“Kenapa terburu-buru, sayang? Kau berharap kita berjalan di tengah badai dan kereta kuda kita tersambar petir?"

“Ayah, apa tidak ada balasan dari Manor? Kemarin aku mengirimkan surat untuk Crispin atau siapapun yang masih di Manor. Tapi aku tak juga mendapat balasan.”

“Kau sungguh penyayang, Ivory. Tenang saja, para slav sudah lebih tahu bagaimana caranya bertahan hidup. Juga menghadapi badai.”

“Aku mengkhawatirkan Crispin. Bagaimana jika kita naik kereta saja?”

“Pelayan sudah mencari tahu tentang itu. Perjalanan kereta pun dihentikan karena hujan memporak-porandakan hutan sekitaran jalur. Kita tidak punya pilihan lain selain tinggal. Mungkin esok pagi kita akan pulang.”

“Itu terlalu lama.”

“Bersabarlah.”

“Aku mau begitu hujan ini berhenti, kita langsung bergegas kembali.”

“Ivory. Kau tak mendengarkanku?”

“Ayah tak mau mendengarkanku?” tantang Ivory.

“Baiklah.”
*

Dini hari, hujan baru reda. Ivory masih terjaga, dan dia segera membangunkan para pelayan untuk bersiap memulai perjalanan. Setelah semuanya disiapkan, Ivory membangunkan ayah. Beliau terkagum-kagum dengan kegigihan Ivory menunggu hujan reda. Akhirnya mereka berangkat saat itu juga. Butuh satu jam perjalanan untuk sampai di Manor Saphiro. Selama perjalanan, Ivory tidak tidur sama sekali. Ia benar-benar mengkhawatirkan Crispin.

Begitu sampai di Manor, Ivory langsung berlarian di koridor menuju kamarnya. Tak ada Crispin di sana. Ia juga bergegas menuju dapur, tapi tetap saja ia tak menemukan Crispin. Ia bahkan sampai mencarinya di istal, ruang mandi, padang dan juga rumah kaca. Tak juga ia temukan Crispin.

“Tuan Ivory,” sapa salah satu slav yang melintas. Ivory tak mengenalnya.

“Apa anda sedang mencari Crispin?”

“Dimana dia?”

Slav itu membisiki Ivory dengan informasi yang membuatnya terbelalak. Tanpa pertanyaan lagi, Ivory segera menuju ruang karantina. Ruang besar itu tak sepenuh dulu. Hanya ada satu orang yang tengah berbaring di antara luasnya ruangan. 

“Pin…” Ivory langsung menghampiri Crispin.

Tubuh kurusnya terlihat semakin kering, wajah riangnya tergusur jadi pucat pasi. Matanya terpejam, ada sisa memar di pelipis kanan. Bahkan pipi dan dagunya membiru karena lebam. Ivory hanya menatapnya dengan sedih. Ia bahkan menangis melihat keadaan Crispin. Air matanya langsung membasahi kain tipis yang digunakan untuk selimut.

“Alastair…” gumam Crispin. Ivory langsung menggenggam erat jemari Crispin.

“Aku pulang,” bisik Ivory.

“Maaf aku terlambat menyajikan teh untukmu.”

“Maaf aku pulang terlambat, Pin.” Crispin tersenyum.

“Maaf karena membuatmu mengalami ini. Maaf, aku benar-benar menyesal. Akan kupastikan Giles membayar mahal atas apa yang dia lakukan padamu. Aku akan menghajarnya. Jika perlu, aku akan membunuhnya sekalian.”

“Kau berlebihan.”

“Apa kau sudah dapatkan obatnya? Apa dokter sudah datang kemari? Apa kau makan dengan baik? Siapa yang merawatmu saat aku pergi, Pin?”

“Aku hanya slav, Tuan.”

“Sialan. Mereka semua benar-benar brengsek.”

Ivory menyingkap selimut Crispin, ia juga membantu slav kesayangannya itu duduk. Kemudian Ivory menggendong Crispin untuk membawanya keluar dari ruang karantina. Crispin tak berkata apapun, ia hanya diam. Air matanya menetes deras.

“Maaf, aku membuatmu menangis,” kata Ivory.

“Maaf, aku menangis,” sambung Crispin.

Ivory membawa Crispin melewati koridor panjang. Ia tak peduli dengan tatapan dan ocehan para slav yang ditemuinya sepanjang jalan. Ia juga tak peduli saat seorang pelayan coba menghentikannya. Sungguh tak ada yang bisa mengganggu keputusannya. 

“Aku tak bisa memaafkan siapapun yang menyakiti Crispin-ku. Bahkan jika aku harus melawan ayah, akan kulakukan. Bahkan jika aku menjadi pendendam, aku akan baik-baik saja. Bahkan jika aku harus menjadi pembunuh, aku bersedia.”

“Aku hanya sakit.”

“Tidak usah kau sembunyikan lagi, Pin. Aku sudah tahu semuanya. Giles memang membenciku. Dia tak pernah menerimaku. Tapi aku tahu, dia terlalu pengecut untuk menyerangku. Dia terlalu patuh pada ayah hingga tak berani menyentuhku. Maaf, karena akulah kau jadi begini. Aku tak percaya jika Giles berani menyakitimu saat aku tak ada. Aku akan pastikan untuk menghajarnya.”

Dua orang slav pribadi Ivory menghampiri mereka. Juga diikuti pelayannya. Ia menawarkan diri untuk membantu membawa Crispin, tapi Ivory menolak.

“Kalian siapkan makanan untuk Crispin dan panggilkan dokter pribadi ayah.”

“Baik Tuan.”
*

“Aku sangat menyesal mengatakan ini, Tuan Ivory. Tapi saya benar-benar tidak mengetahui penyakit apa yang diderita teman anda. Ini pertama kalinya saya mendapati kasus seperti Tuan Crispin,” kata si dokter.

“Kalian berlebihan. Ini hanya pneumonia, badai dan udara dingin membuatnya semakin parah,” gumam Crispin. Ivory merapatkan selimut Crispin. Ia lalu mengantar si dokter keluar kamarnya.

“Kau benar-benar tidak tahu apa penyebab sakitnya?”

“Benar tuan. Ini tidak pernah ditemukan sebelumnya. Gejalanya mungkin sama seperti pneumonia, mengalami sesak nafas dan lemas seluruh badan. Tapi, ruam di kulitnya sama sekali tidak saya pahami. Mungkin nanti akan saya laporkan pada workshop.”

“Workshop?”

“Saya akan meminta bantuan workshop kesehatan untuk membantu identifikasi sakit Tuan Crispin. Itupun jika dia masih bisa bertahan sampai malam ini.” Ivory marah mendengar kalimat si dokter. Dia segera mencengkeramnya.

“Apa maksud ucapanmu?”

“Sepertinya ini bukan hari pertama Tuan Crispin sakit. Jika sudah terjadi lebih dari dua hari, kemungkinan saat ini keadaannya dalam masa kritis. Maaf untuk itu, Tuan Ivory.”

Ivory langsung kembali ke kamarnya. Ia bahkan mengunci pintunya. Ia tak peduli lagi pada si dokter. Ia hanya ingin segera di samping Crispin dan menemaninya.

“Aku benar-benar minta maaf. Maafkan aku Pin. Maaf, maaf, maaf…” kata Ivory. Air matanya tak terbendung lagi. Ia sesenggukan di samping Crispin. Hingga lengan Crispin mengelus kepalanya dengan lembut.

“Apa perjalananmu menyenangkan?”

“Kau akan sembuh, Pin.” Crispin tersenyum.

“Hey, jika ini adalah sebuah pilihan. Jika kau hanya punya dua pilihan antara hidup dan mati, apa kau masih mau mempedulikan keadaannya?”

“Diamlah Pin. Kau tidak akan mati.”

“Semua orang akan mati. Aku juga akan mati.”

“Ya, semua orang akan mati suatu hari nanti. Kau juga mungkin akan mati, tapi tidak hari ini. Aku tidak akan membiarkanmu mati.”

“Kau mau dengarkan pilihannya?”

“Kau memaksaku mendengarkannya, Pin.”

“Antara hidup sendiri dan menjadi raja yang menguasai singgasana. Atau mati untuk memastikan lebih banyak orang akan hidup dan menjadi pahlawan penyelamat. Mana yang lebih kau pilih?”

“Keduanya beresiko. Tapi untuk saat ini aku tak akan memberimu jawaban. Kau harus menunggu sampai esok pagi jika masih ingin mendengar jawabanku.”

“Kau memang selalu kejam seperti itu, Alastair.” Ivory terdiam cukup lama. Ia sedikit tersentak ketika Crispin memanggilnya dengan nama itu.

“Kau terlalu banyak ragu. Tidak seperti Alastair yang kukenal. Jika Alastair mungkin akan langsung memberikan jawabannya. Bagaimana jika aku kehabisan waktu sebelum mendengar jawabanmu?”

“Aku akan menghabiskan waktu bersamamu selalu, Pin.”

Ivory terlelap di sisi Crispin. Mereka melewati pagi hingga sore bersama. Ivory merasa lega karena masih menemukan Crispin di sampingnya saat ia terbangun. Tapi bukan Crispin ceria yang ditemuinya. Crispin terlelap dalam tidurnya. Wajahnya pucat. Ivory membelai wajah Crispin perlahan. Saat itulah dia rasakan suhu tubuh Crispin yang sangat tinggi.
*

Hingga malam hari, demam Crispin tidak juga turun. Bahkan Ivory sudah menghubungi dokter dan menyuruhnya menginap di Manor. Sementara ia dilanda kepanikan, Tuan Saphiro justru tengah mengadakan pertemuan dengan workshop. Undangan dibagikan di sore hari dan malam harinya, segala persiapan untuk menyambut tamu dilakukan. Semua slav bekerja lembur untuk pertemuan itu. Bahkan satu persatu tamu undangan sudah mulai berdatangan.

Ivory tak melihat Giles. Ia tak sudi melihatnya sebelum Crispin sembuh. Tapi sepertinya ayah tak lagi mempedulikannya. Ivory sudah meminta puluhan kali pada ayah untuk membantu pengobatan Crispin. Tapi ia diabaikan. Bahkan dokter pribadi yang dipanggil Ivory justru fokus merawat Giles untuk menghilangkan bekas luka di pelipisnya. Lady Seraphina juga ikut datang, dia terus mengekori Ivory tapi diabaikan. Bahkan Ivory masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.

“Alastair,” panggil Crispin.

Ivory kembali dari lamunan. Tangannya langsung menggenggam jemari Crispin yang terasa makin susut.

“Bisakah kudengar jawabanmu sekarang?”

“Apa aku punya pilihan yang lebih baik lagi, Pin?” Crispin terkekeh.

“Aku takut tidak punya pilihan lain, Alastair.”

Crispin hanya diam memandangi langit-langit. Ia tak lagi bicara, ia mendiamkan Ivory dan mereka tak tahu lagi harus bicara tentang apa. Mereka hanya saling diam dan mengabaikan.

“Hey Pin,” panggil Ivory.

“Pada akhirnya, kau tak mau menjawabnya bukan? Tapi memang begitulah kau. Kau adalah kesayangan ayah dan kau adalah sang raja. Kau tak bisa menunjukkan kelemahanmu.”

Ivory diam cukup lama untuk memikirkan topik lain yang mungkin berhasil mengalihkan fokus pembicaraan Crispin. Ia mulai tak suka dengan ocehan Crispin. 

“Kau bilang ingin menjadi anak kesayangan ayah ‘kan? Pakailah, cincin ini diberikan ayah pada anak yang paling disayanginya,” kata Ivory mencoba mengalihkan perhatian. Ia melepas cincinnya dan menaruhnya di jari manis Crispin.

“Dengan begini kau sudah menjadi kesayangannya, Pin,” lanjut Ivory. 

“Ini indah, seperti matamu.”

Crispin memandangi Ivory. Keduanya terdiam cukup lama. Ivory tak tahu apa yang dipikirkan Crispin dan apa pesan yang ingin disampaikannya lewat tatapan itu. Ivory seolah hanya melihat kehampaan di antara diam. Tapi Crispin kemudian tersenyum. Sebuah senyuman yang berhasil menarik senyum Ivory juga.

“Jemarimu juga pas mengenakannya. Kenakan saja, sampai kapanpun kau mau.”

“Dari awal berada di sini, aku selalu ingin jadi kesayangan ayah. Aku menunggu hal baik itu terjadi padaku setiap tahunnya. Tapi tak pernah terwujud. Aku hanya jadi slav kepala istal selama empat tahun,” kata Crispin.

“Kau sudah jadi kesayangan, Pin.”

“Tidak. Bukan aku, tapi kau. Kau akan menjadi kesayangan ayah sampai akhir. Bahkan jika aku mati, bukankah aku tak pernah punya kesempatan untuk jadi kesayangannya?”

“Aku tidak suka kata-katamu. Ayah tidak sebaik itu. Kesayangan bukan berarti seindah itu. Buatku, hal baik bahkan satu-satunya hal baik yang datang padaku adalah kau Crispin.”

“Maaf.” Ivory menggenggam tangan Crispin.

“Pin. Kau adalah kesayanganku.”

“Aku senang mendengarnya, Tuan Alastair.”

“Sudah kubilang ‘kan, kau sudah jadi kesayangan.” Crispin tersenyum. Morel masuk di antara keheningan keduanya. Dia mengibas-ngibaskan ekornya lalu mengeong.

“Morel,” gumam Crispin. Ivory menggendong kucing itu dan meletakkannya di atas kasur tepat di antara Crispin dan Ivory. 

“Kupikir dia tidak menyukai nama itu,” gerutu Ivory. Morel berputar-putar kemudian tertidur melingkar. Crispin mengelusnya dan Morel pun mendengkur.

“Dia menyukainya,” kata Crispin.

“Terserah kau sajalah, Pin.” Ivory ikut mengelus Morel.

“Tuan Alastair, keluargaku selalu berharap padamu hingga akhir. Ayahku selalu membanggakanmu. Ibuku juga menyayangimu. Kami selalu bersamamu bahkan hingga malam tragedi itu. Jangan buang nama Alastair hanya karena kejadian malam itu. Jangan lupakan tujuanmu datang ke sini, Tuan Alastair. Jangan dibutakan oleh kematian pion-pionmu. Kau harus tetap menjadi Alastair.”

“Pin?”

“Aku bahagia telah menjadi pion bagimu, Tuan Alastair.”

“Aku juga senang kau memanggilku dengan nama itu, Pin.” Crispin tersenyum bahagia. Terlihat indah dan tenang. Ivory ikut tersenyum melihatnya. Hingga akhirnya air mata menitik di sudut mata Ivory. Crispin telah pergi untuk selamanya.
*

Malam makin pekat bagi Alastair. Ia telah kehilangan kesayangannya. Ia telah kehilangan sahabat terbaiknya dan satu-satunya yang ia percaya. Tapi ia juga telah menemukan dirinya. Ia telah kembali pada Alastair. Sebuah nama yang dulunya menghilang karena ia telah merajai Manor dan menjadi yang tak terbantahkan.

Alastair mengumpulkan para slav di ruang karantina. Ia juga memerintahkan dua slav pribadinya dan beberapa slav lain untuk memindahkan sebuah gerobak berisi karung-karung dari istal. Morel mengikuti langkahnya menuju ruang karantina. 

Saat memasuki ruang karantina, satu slav-nya langsung menutup pintu ruang karantina. Sementara seorang lagi berjaga di depan ruangan. Alastair memerintahkan seluruh slav dalam ruangan untuk berbaris. Ia duduk di kursi dan meja yang sudah disiapkan sebelumnya.

“Diam saja dan turuti apa yang kukatakan,” kata Alastair tegas.

“Tuan Ivory, apa maksudmu?”

“Aku memerdekakan kalian, para slav.”

Hanya ada riuh para slav yang bergumam antara bingung dan kagum. Alastair membuka koper besar yang dibawanya. Isinya adalah tumpukan kertas kontrak kepemilikan atas slav.

“Gunakan uang yang kuberikan untuk pergi ke tempat kalian berasal. Jangan menampakkan diri sebelum fajar lusa.”

“Tapi, tuan pasti akan marah.”

“Aku yang bertanggung jawab. Aku Ivory adalah anak kesayangan ayah. Dia tak pernah bisa menolak apapun permintaanku. Bahkan mungkin dia lebih memilih mati daripada tak bisa memenuhi keinginanku. Pergilah, semua yang tersisa di sini akan baik saja.”

“Terima kasih, Tuan Ivory. Kami akan pergi.”

“Apa kau juga akan melepas Crispin? Atau akan membawanya bersama anda?” Ivory tersenyum kecut.

“Dia bersamaku,” kata Ivory.

“Syukurlah, saya lega jika masih ada Crispin bersama anda.”

“Ya, aku juga,” sambung Ivory.

“Tuanku, bolehkah kami mengenang nama aslimu?”

“Namaku Alastair.”
***


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.