Review
[Review] Humanity: Bagi Manusia Yang Punya Kemanusiaan
Manusia dan kemanusiaan
bukankah dua hal yang tak bisa dipisahkan? Seperti software dan hardware
yang saling melengkapi. Tak bernilai jika hanya salah satu yang tinggal. Sama
seperti manusia, ketika jasmani manusia tidak dilengkapi dengan kemanusiaan
maka ia bukanlah apa-apa. Manusia tidak akan menjadi manusia sepenuhnya bahkan
ia tak pantas disebut manusia. Mungkin definisinya hanya disebutkan sebagai onggokan
organ berjalan yang hanya sebuah spesies yang dibahas di buku Biologi.
Kembali ke analogi mata
uang karena manusia pun sangat dekat untuk dianalogikan sebagai dua muka
selembar uang. Selembar uang kertas awalnya bukan apa-apa, dia hanya selembar
kertas. Namun ketika dicetak bermacam warna, ia akan bernilai sesuai warnanya.
Warna inilah yang biasa ekonom sebut sebagai nilai nominal, sebuah angka yang
melabeli lembaran kertas itu. Tapi mau apapun warnanya, ia tetaplah selembar
kertas, inilah yang disebut nilai intrinsik.
Lalu apa yang membuat
manusia sama seperti lembaran uang kertas? Manusia juga memiiki nilai intrinsik
dan nilai nominal hanya saja nilai nominal manusia adalah jabatannya,
pendidikannya, kekayaannya. Lalu apa nilai intrinsik seorang manusia yang
harusnya tak boleh terlupa? Adalah kemanusiaannya.
Mau sekaya apapun seorang
manusia, dia tetaplah manusia yang tak bisa membeli semuanya. Dengan
kemanusiaan, ia akan berpikir untuk berbagi dan membuat manusia lain ikut
bahagia. Mau setinggi apapun jabatan seorang manusia, ia tak bisa menjangkau
akhir dari tinginya langit. Dengan kemanusiaan, ia akan membantu manusia lain
yang jangkauannya tak setinggi miliknya. Mau sebanyak apapun ilmu yang membuat
seorang manusia disebut pandai, ia tak bisa lebih pandai dari Sang Maha Pandai
yang menciptakan ilmu itu ada di pikiran manusia. Dengan kemanusiaan, ia bisa
membagi ilmunya agar manusia lain tidak terbodohi.
Tapi lihatlah potret
manusia masa kini (terserah mau masukin saya ato tidak, tapi FYI, saya itu aneh) kebanyakan menjadi
manusia yang kehilangan kemanusiaannya. Lalu disebut apa? Binatang? Entahlah
bahkan binatang juga tidak sebrutal manusia-manusia kosong tanpa kemanusiaan
tersebut. Cobalah kita renungkan berita yang hits minggu-minggu ini.
Ada mahasiswa yang bacok
dosennya sampai meninggal hanya karena persoalan skripsi (nb: skripsi
tidak boleh disebut hanya, justru
harusnya Maha-Skripsi). Mahasiswa adalah manusia. Manusia dibekali otak yang
berlogika sehingga menjadi mahasiswa. Tapi sebagai manusia dia hanya wadah
kosong. Ia mengkhianati logika di kepalanya, melupakan Tuhannya dan berbohong
tentang status mahasiswanya. Sedemikian pendek pemikirannya, apa wadah kosong
itu tak mempertimbangkan resiko dan manfaat dari tindakannya? Ya, namanya juga
sedang terbutakan atau memang sudah buta? Mungkin bisa dianalogikan dengan
orang yang melompat dari tebing karena dililit hutang. Pikirannya pendek,
logikanya dikesampingkan. Bahkan logikanya sudah diterjunkan ke jurang lebih
dulu. Kembali ke kasus, karena Maha-Skripsi yang membuat sang mahasiswa kesal berulang
kali dengan orang yang sama. Jadilah mahasiswa bacok dosen. Ketika dosennya
mati, maka mahasiswa tidak lagi dibuat kesal. Tapi skripsinya kan jadi tidak kelar, malah ia masuk bui bahkan lulus
sebelum waktunya alias ditendang dari kampus alias DO. Kalau sudah begini, mau
diapain lagi itu skripsi? Tak berguna kalau dilanjutkan, bukan? (udah kamu
nulis novel saja nak, puk puk puk)
![]() |
Ekonomi jadi kambing hitam tindak pembunuhan |
Lain sungai, lain juga
ikannya. Seolah menjadi berita balas dendam, di minggu yang tak terlalu jauh
muncul berita matinya seorang mahasiswi di kamar mandi kampusnya. Bahkan diduga
sudah empat hari jasadnya terkurung. Kali ini bukan dosen yang membantainya,
tapi hanya cleaning service. Ya, petugas yang seharusnya
membersihkan ruangan bukan membersihkan nyawa mahasiswa. Setelah tertangkap,
tersangka mengaku hanya karena motif ekonomi. Hanya ekonomi? Bukankah ia telah
menjadi wadah kosong setelah menggadai nyawa manusia lainnya demi rupiah? Memang
terasa janggal, memangnya berapa banyak rupiah yang dimiliki seorang mahasiswa?
Mengapa pelaku tidak merampok rumah koruptor saja yang terbukti banyak duit?
Saya juga mahasiswa dan menjadi mahasiswa dengan beasiswa. Lalu mengapa masih
ada yang beranggapan bahwa mahasiswa punya lebih banyak duit daripada ibu
kosnya? Yang dipunya mahasiswa itu lebih banyak beban di pikirannya (ups,
curhat)
![]() |
kemanusiaan hilang direnggut tuak, nyawa manusia hilang direnggut libido |
Lain cerita, Yuyun dan
empat belas birahi. Eits, tunggu dulu, ini bukan karya roman dengan judul yang
vulgar. Itu juga bukan judul cerpen bulan Mei yang tembus ke kolom cerpen
Minggu di harian Kompas. Itu bukan kisah yang cukup hanya dibayar dengan satu
juta rupiah royalti dari koran. Ini tragedi nyata bocah perempuan empat belas
tahun yang digilir empat belas bocah laki-laki kesetanan yang diperbudak libido. Astaga, mereka sungguh masih
bocah. Betapa mirisnya membayangkan adik-adik kecil ini saling mengoyak
temannya. Sebagai seorang wanita, saya ngeri membaca kisah dek Yuyun. Sebagai
seorang wanita yang akan menjadi ibu, hati saya sakit membayangkan perasaan ibu
dek Yuyun. Sebagai seorang wanita yang merdeka, saya geram dengan empat belas
wadah kosong itu. Sayangnya mereka diputuskan dihukum hanya sepuluh tahun.
Mungkin peradilan melihat para tersangka sebagai bocah yang khilaf saja tanpa
mempertimbangkan betapa sangat khilafnya mereka. Mungkin peradilan melihat
bahwa ke-khilafan itu terjadi karena tuak yang mereka tenggak. Tapi peradilan
tak mempertimbangkan bahwa mereka adalah bocah yang melanggar batasan dengan
minum tuak. Mungkin peradilan melihat mereka sebagai bocah-bocah yang membawa
harapan dari orang tuanya untuk masa depan. Tapi sudah sepantasnya pula
peradilan melihat orang tua Dek Yuyun yang kehilangan harapan dan masa
depannya. Manusia tidak pernah bisa dibandingkan dengan apapun. Hilangnya nyawa
satu manusia bahkan tak bisa tergantikan dengan nyawa lainnya. Beda dengan
sebotol tuak yang jika kau habiskan bisa kau beli lagi. Malang nian nasibmu dek
Yuyun.
Lalu bagaimana dengan
Aleppo? Ketika Paris terkena terror penembakan, nyaris seluruh dunia berduka.
Berbondong-bondong mereka menyatakan simpatinya lewat tagar save Paris. Bahkan tak hanya hits di
media sosial, televisi dan koran juga memberitakannya dengan gencar. Akhirnya
pertanyaan harus saya ulang lagi, lalu bagaimana dengan Aleppo? Ah itu hanya
sebuah kota di Syiria yang tak lebih terkenal daripada Paris. Ah, tentu saja
Aleppo tak punya menara se-romantis Eiffel. Ah, itu hanya sebuah kota di luar
benua Eropa. Ah, mata uangnya tak sekuat Euro.
Ah, kalian yang berpikir demikian sungguh wadah kosong. Penembakan di Paris
hanya untuk membuat keramaian. Hanya orang-orang yang kurang perhatian publik.
Tapi yang terjadi di Aleppo benar-benar miris, bung. Warga sipil ditembaki,
jalanan memerah karena banjir darah, pembantaian tapi tak dapat perhatian. Ini
bukan semata penarik perhatian tapi ini perang. Sayangnya berita Aleppo tak
mampu menembus ruang media, kalah dengan kegelisahan lebay Cinta dan Rangga juga perangnya dua kubu superhero. Jarang ada yang mengetahui ada civil war nyata yang tak
tayang di bioskop juga media. Hanya segelintir orang yang simpati dan mengerti.
Mereka mengubah profile picture mereka jadi merah. Bahkan
menyebarkan video kerusakan di Aleppo saja langsung kena blokir Yo***be. Miris
memang. Mengapa sesama manusia harus saling bantai? Apa hidup damai dengan
saling berdampingan hanya ada dalam dongeng saja? Manusia sudah jadi serigala
(hei ini bukan judul sinetron loh), homo
homini lupus-manusia yang satu adalah serigala bagi manusia lainnya.
Kenapa harus saling membantai? Ah, dasar wadah-wadah kosong.
Semuanya ber-gelontang,
wadah-wadah kosong itu saling beradu, riuh hingga gaduh. Intinya kacau, hanya
membuat kekacauan saja. Apakah saya terlalu berangan-angan bahwa manusia bisa
hidup damai? Seandainya semua manusia yang berilmu berdedikasi untuk membagi manfaat
dari ilmunya pada manusia yang masih awam. Seandainya semua manusia yang
berharta tidak sungkan memberi manfaat dari hartanya pada manusia yang masih
miskin. Seandainya semua manusia yang berkuasa bersedia mengayomi manusia yang
masih jelata. Seandainya semua manusia benar-benar menjaga kemanusiaannya.
Seandainya manusia-manusia itu tahu bahwa kemanusiaan lebih berharga dan lebih
dihargai daripada harta, kuasa politik dan kepandaian untuk mengibuli yang
bodoh. Seandainya, seandainya, oh seandainya.
Ada yang bilang kalau
dunia ini sudah indah, jadi nikmati saja. Tapi bagaimana dengan manusianya? Apa
kemanusiaannya masih dijaga, ah entahlah dan kembali seandainya. Manusia yang
kehilangan kemanusiaannya toh tetap berwujud manusia. Ia tidak serta merta berubah
jadi serigala (auuuuww), wujudnya tetap manusia. Tapi menjadi manusia dalam
raga tidaklah sempurna. Manusia itu hanya jadi wadah kosong. Kehilangan
kemanusiaan memang jarang terasa efeknya oleh si pelaku. Jadi kebanyakan dari
mereka tidak sadar atau memang tidak peka bahwa mereka tidak manusiawi. Jadi
bisa saja kau sudah kehilangan kemanusiaanmu. Atau mungkin kau sudah setengah
jalan menuju wadah kosong. Atau bahkan saya yang sudah menjadi wadah kosong dan
memangsa manusia lain sebagai serigala (auuuuww).
Ah entahlah…
Ah seandainya…
Bandung, 10
Mei 2016
Tidak ada komentar