[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 28

Yatta, finally update juga ini sinetron. Karena semalam masih sempat begadang jadi saya tambahin secuil ilustrasi deh biar tambah mantap. Oh iya, kepingan kali ini sepertinya klimaks cerita. Jadi peringatan bagi anda yang lemah jantung harap membacanya dengan didampingi orang terdekat karena konten dalam kepingan kali ini mengandung unsur-unsur yang mengejutkan. 
Hapy reading

Televisi di lobi rumah sakit masih menyala menampilkan dua orang pembaca berita yang langsung memotong acara sebelumnya. Sebuah berita duka ditampilkan di layar dengan judul yang mengejutkan.
“Kota Viga ikut berduka setelah kehilangan sosok dermawan hebat. Suzanne Franklin meninggal pukul 2 dini hari di Rumah Sakit Franklin’s Group. Beliau tidak dapat diselamatkan karena kegagalan operasi setelah kecelakaan yang dialaminya. Seperti yang kita ketahui, kecelakaan dialami dermawan ini pada pukul 9 malam di KM 345…”

LEIL
“Jossie, jangan bertindak bodoh,” teriakku dari kejauhan sambil berusaha mendekat.
“Tidak akan kulepaskan dia! Dia mencuri yang paling berharga dalam hidupku, dia membunuh ibuku, Leil.”
Aku tak tahu lagi bagaimana cara melepaskan Jossie dari vampir wanita yang menerobos rumah sakit dan mencuri beberapa kantong darah terbatas yang telah disiapkan untuk operasi Nyonya Franklin. Entah mengapa vampir wanita itu diam tak mencoba membebaskan diri. Padahal dia bisa saja dengan mudah melempar Jossie. Mungkinkah dia sangat kelaparan atau mungkin ia akan memberikannya pada anak-anaknya yang kelaparan. Setidaknya mencuri kantong darah lebih baik daripada menculik manusia dan manyedot habis darahnya. Sayangnya, ia mencuri kantong yang salah. Lalu bagaimana aku bisa menyelamatkan keduanya?
“Aku akan membunuhnya!” teriak Jossie.
Aku menarik tubuh Jossie dan melakukan kontak mata dengan si vampir wanita berharap ia mengerti apa yang aku mohonkan. Tapi itu tak terjadi, aku juga tak tahu apa yang dia pikirkan saat ini. Dia hanya diam dan akupun tak bisa melihat wajahnya yang separuh tertutup masker. Seolah dia memang berniat menyembunyikan identitasnya dari pemburu. Di tengah kekacauan, aku justru terlempar. Ketika aku mencoba mendekat lagi, sekelebat bayangan berkecepatan tinggi menyambar Jossie dan menghantamkannya ke pinus raksasa. Bisa kupastikan dia adalah vampir. Mungkinkah itu upaya penyelamatan si vampir wanita? Jadi sekarang ada dua vampir?
“Jossie, gunakan pisaumu!” teriakku sambil terus mendekati arena pergumulan, sementara vampir wanita itu mengejarku dengan terpincang. Ia menghentikan langkahku dan menahanku jauh dari Jossie. Maskernya sudah terkoyak dan kini jelas aku bisa melihat wajahnya. Dia adalah Sofia.
“Leil, tolong aku!” kulihat gerakan tangan Jossie dengan pisau yang mencoba menghujam liar ke tubuh si vampir. Tapi, semua terlambat, aku tak mendengar suara Jossie lagi.
“Menjauh dari temanku, vampir busuk!” teriakku sambil melempar pisauku yang kemudian mengenai lengan kirinya. Ia melompat kesakitan karena sayatan pisauku. Vampir itu berbalik menuju arahku dengan gerakan cepat.
“Pergilah. Aku akan mengurusnya,” seru Sofia sambil melesat menyambut vampir itu. Tapi Anehnya aku hanya diam menyambut kedatangannya padaku. Wajah tampannya, rambut hitamnya, tubuh menjulang yang hanya terbalut kemeja putih dengan celana pendek hitam dan mata turqouise itu? Kecepatannya membelah kabut dan dengan jelas kulihat dia dengan bibir berhiaskan darah Jossie.
“Pierre…” gumamku.
Benarkah itu dia? Aku harus terbangun untuk menyadari mimpi macam apa ini? Tapi aku tak juga terbangun, aku tetap di sini. Jika ini sebuah mimpi, maka harusnya mimpi itu sudah tak di sini. Kini ia berada tepat di hadapanku, Sofia menghalangi tubuhku dari Pierre. Ia mendorongku jauh sedangkan ia terlempar karena serangan Pierre. Pierre kembali menemukanku, mencengkeram kedua bahuku dan aku pun terdorong jauh. Tubuhku berhenti bergerak ketika dia memojokkanku di batang pinus raksasa.
“Leil, jam tanganmu!” teriak Sofia.
Dia benar, jam tanganku terbuat dari perak tapi aku tak bisa berbuat apapun ketika Pierre mengunciku dengan tatapan matanya. Tapi mata itu bukan mata yang biasa kukagumi. Matanya seolah kehilangan keindahannya, tatapannya tak bisa lagi menyejukkan. Bahkan ia membuatku ketakutan. Itu bukan dia, sungguh itu bukan dia. Tapi seberapa banyak pun aku menyangkal, kenyataannya tetap tidak berubah. Dia tetaplah Pierre.
“Menjauh darinya, dasar bodoh!” Sofia menancapkan sebuah jarum ke punggung Pierre ketika ia mulai membelai leherku dengan jarinya yang terasa tajam. Seketika Pierre jatuh tak sadarkan diri.
“Pierre?” aku masih menggeleng tak percaya.
“Harusnya kau sudah bersiap untuk kemungkinan ini karena kau sudah tahu bahwa Pierre bukan manusia. Maaf untuk kekacauan ini, tapi aku tak bisa membereskan sisanya.”
Mereka menghilang dalam kabut. Hanya kalimat itu yang kudapat dari Sofia. Sama sekali tak menjawab apa yang ingin kutanyakan padanya. Sekarang tak ada yang tersisa di sini. Hanya dingin, hening, sepi dan sendiri. Kudekati tubuh Jossie yang terkoyak. Sebuah keberanian bodoh nan gila berujung kematian, masih tak kupercaya apa yang terjadi. Mimpikah ini? Pierre membunuh Jossie? Tubuhku menggigil, terus bergetar hebat hingga aku tak mampu menahan berat tubuhku. Aku duduk bersimpuh di samping Jossie, menahan getaran tubuhku. Ayah, apa yang sebenarnya terjadi? Aku takut…
Pancaran sinar mentari di ufuk timur menyadarkanku, ini bukanlah sebuah mimpi buruk. Tapi ini benar-benar buruk.
*
DARE LIFE: Tersa-Vampir berada di balik kematian Suzanne Franklin, akankah kita tinggal diam sementara mereka tlah merenggut satu persatu dari kita? Ayo bergerak dan angkat busurmu. Perburuan tlah dimulai. [VJ]
“Aku turut berduka, Leil. Jossie adalah yang terbaik. Dia selalu mencintaimu dengan tulus. Aku berdoa semoga dia mendapat tempat yang nyaman di samping ibunya.”
“Terima kasih June.”
June memelukku erat, mencoba menguatkan diri walau sebenarnya aku ingin tumbang. Semua orang menatapku dengan tatapan yang sama. Seolah aku ini adalah pengantin yang ditinggalkan. Lebih parahnya lagi, mereka bilang aku adalah isteri yang ditinggal mati suaminya. Banyak yang berasumsi bahwa aku dan Jossie tlah menikah diam-diam. Apalagi dengan cincin berlian yang masih melingkar di jari manisku.
Ratusan tangkai krisan putih menumpuk di bawah nisan atas nama Joshua Franklin. Ratusan lainnya bertumpuk di bawah nisan Suzanne Franklin yang tepat bersebelahan.  Krisan putih, anehnya semua krisan ini malah mengingatkanku pada satu nama yang membuatku ngeri. Pierre.
Semua temanku datang ke pemakaman Jossie untuk melakukan hal yang sama dengan June. Sekaligus ingin kembali menatap wajah Jossie untuk terakhir kalinya meskipun hanya melalui bingkai foto. Merelakan pria yang mereka kagumi pergi begitu saja tanpa ucapan selamat tinggal maupun senyum perpisahan secara langsung. Mereka masih tersedu di hadapan foto Jossie, lalu kutatap gambaran wajah tirusnya dengan senyum menawan yang terpenjara dalam pigura hitam, rambut pirang dan mata coklatnya tak akan kulupakan. Maafkan aku, Jossie…
“Nona Leil, bisakah kuminta sedikit keteranganmu tentang kematian saudara Joshua Franklin?” tanya seorang polisi yang menghampiriku.
“Bagian mana yang paling kalian inginkan?” tantangku. Kulihat polisi itu mulai membuka buku catatannya yang hanya sebesar telapak tangan. Tapi ayah segera muncul sebelum mereka membacakan pertanyaan pertama.
“Maaf tapi putriku masih perlu waktu untuk membicarakannya.” Ayah merangkul bahuku, memperlakukanku seolah aku tak bisa menghadapi dua polisi itu sendiri.
“Oh, baiklah. Maafkan kami, nona. Aku turut berduka cita.” Kedua polisi itu menjauh dariku. Ayah membawaku untuk masuk ke mobil dan kami bergerak pulang menjauh dari pemakaman dan kerumunan pelayat yang tengah berduka sekaligus penasaran dengan kematian Jossie. Ayah juga sepertinya menginginkan jawaban itu dariku.
Mobil berhenti begitu kami memasuki halaman rumah sederhana kami. Ayah menatapku tajam, seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Ayah menginginkan jawabanku.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Leil? tolong katakan pada ayah.” Aku masih diam, tak berani kutatap balik ayah yang begitu menginginkan jawaban dariku.
“Ayah, aku takut…” aku hanya mampu memeluk ayah sambil menangis.
“Serigala mana? Vampir mana yang membuatmu takut? Akan kubunuh mereka. Itu pasti. Atau pria itukah?” tubuhku langsung bergetar hebat dalam pelukan ayah. Bagaimana bisa ayah menebaknya dengan cepat dan tepat bahwa Pierre adalah satu nama pertama yang patut dicurigai. Apa yang harus kukatakan?
“Tidurlah, dari kemarin malam kau belum tidur.”
Aku turun dari mobil, berjalan gontai dengan semua pertanyaan tentang Pierre, Aku, Jossie, Ayah, polisi itu, Sofia, dan para werewolf. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku hingga aku tak menyadari ketika kakiku terantuk kaki meja dan jatuh menghadap meja telepon. Entah apa yang kupikirkan, jemariku malah menari di atas beberapa tombol dengan angkanya masing-masing.
“Selamat siang, panggilan darurat Kepolisian Viga. Ada yang bisa kami bantu?”
*
Aku masih meringkuk di atas kasur ketika suara gaduh mendekati kamarku. Kudengar teriakan ayah memaki seseorang dan dengan jelas ayah mencoba menahan mereka menuju kamarku. Dalam hitungan detik pintu kamarku terbuka, aku masih dalam posisiku. Dua orang polisi yang menemuiku di pemakaman kini muncul kembali di hadapanku.
“Nona Leil Grazdien, anda ditangkap atas kasus pembunuhan terhadap saudara Joshua Franklin.” Aku bangkit dari kasur dan membiarkan mereka mengunci pergelangan tanganku dengan borgol. Tak berani kutatap ayah.
“Leil? bukan seperti ini harusnya. Katakan pada ayah, sayang.”
“Maaf, aku telah mengecewakan ayah.”
“Siapa yang membunuh Jossie!” teriak ayah sambil mengguncang tubuhku. Tapi semua percuma, sia-sia, akan kusimpan jawaban ini untuk diriku sendiri. Biarlah ini terjadi.
“Maaf ayah, aku telah membunuh Joshua Franklin.”
***
Bonus: visualisasi untuk Pierre, yap karena sempat gambar jadi saya tambahkan. Siapa tahu bisa untuk cuci mata.

PIERRE
Aku tak bisa melihat apapun, pandanganku gelap dan terasa sangat dingin merasuk ke tubuh. Dingin yang bahkan seolah membekukan hingga dalam sekejap membuatku mati rasa. Kini, hanya telinga yang masih bisa menangkap suara samar-samar. Yang kudengar pun bukan suara yang indah. Aku mendengar gonggongan anjing yang terdengar semakin keras, bercampur dengan suara angin yang terbelah dan gesekan ranting dengan daun. Aku tak merasakan tangan maupun kakiku tapi aku yakin sedang bergerak.  Suara gonggongan anjing semakin pudar, aku semakin menjauh darinya? Tapi kemudian senyap, aku merasa kosong karena tak ada satupun yang bisa kudengar. Di tengah kehampaan, yang kudengar hanya desah nafas perempuan yang diikuti gerutuan. Sofia.
“Sialan si tampan itu. Dan kau lebih kurang ajar, bodoh. Kau mendengarku! Kau bodoh!” teriak Sofia. Tentu saja aku mendengarnya, tapi begitu sulit untuk menjawabnya. Tak kudengar sama sekali ada satu kata yang berhasil keluar. Aku hanya diam.
Jadi memang benar aku tengah bergerak dibawa lari Sofia. Tapi untuk apa? Ke mana? Mengapa kami melewati hutan penuh gonggongan anjing? Kudengar sebuah benda jatuh ke dalam air, diikuti gerutuan Sofia, lagi.
“Kuharap ini sudah sangat jauh dari mereka. Lebih baik kau cepat bangun dan lari sendiri. Pria itu lebih gila dari yang kuduga,” katanya. Tapi aku sama sekali tak mengerti apa yang dia bicarakan. Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan. Pertanyaan pertamaku tentu saja mengapa aku tak bisa merasakan tubuhku? Bahkan kepalaku tak mau memikirkan kemungkinannya. Apa yang sebenarnya Sofia gerutukan? Siapa pria yang dimaksudnya?
“Hey Pierre, maaf aku membuatmu bingung. Tapi aku tak akan menjawab semua pertanyaanmu karena aku hanya ingin kau cepat sembuh. Karena itulah aku membuatmu tetap diam. Ketika kau bisa bangun sendiri, akan ada beban berat yang harus kau tanggung. Jadi istirahatkanlah dirimu dan jangan khawatir.”
Mengapa aku harus khawatir, justru semua kalimatnya membuatku semakin khawatir. Dengan keadaan diamku saat ini, apa yang bisa kuketahui? Mengapa Sofia mengatakan hal yang semakin tak kuketahui? Sialan kau Sofia.
“Aku ini darah murni, jadi tak mungkin si tampan dapat mengalahkanku. Bahkan semua prajuritnya yang tak mempunyai darah sudah kujadikan abu. Dia benar-benar meremehkan kemampuanku. Mengirim pasukan tanpa darah untuk mengejar seorang darah murni adalah penghinaan terbesar dalam hidupku. Setidaknya dia harus mengirim beberapa bangsawan dan darah murni lainnya jika memang berniat mengejarku.”
Diamlah, Sofia. Ocehanmu semakin membuatku kesal.
“Pierre, ini pertama kalinya aku melihat matahari. Pagi tadi, dia masih lingkaran jingga yang tertutup kabut. Siang hari, lingkaran itu menghilang dari langit. Aku tak bisa menemukannya tapi cahayanya membuat seluruhnya jadi terang. Begitu menyilaukan hingga mataku rasanya ingin terbakar. Begitu kau bangun, aku akan menghajarmu karena membuatku bergerak di siang hari tanpa persiapan. Aku akan membeli banyak bawang merah dan menyuruhmu mengupasnya, aku akan bahagia ketika melihat mata turquoise indahmu itu menangis pedih.”
Berhenti bicara, Sofia!
“Astaga, apa kita pernah berbincang sepanjang ini? Rasanya ini pertama kali. Malam ini begitu indah, bulan memang belum mencapai purnama tapi itu tak masalah bagiku. Selama dia masih ada di langit dan bermain-main bersama kabut gelap. Kau tahu tidak, setebal apapun kegelapan yang menyelimuti bulan tak akan benar-benar menutupinya. Ia akan menjadi yang paling terang lagi. Padahal cahayanya hanya pinjaman dari matahari. Mungkin karena bulan juga bayangan, jadi tak ada yang bisa menutupinya dengan bayangan lagi. Apa yang kau dengar, Pierre?”
Dia menyebalkan, menceritakan tentang sebuah keindahan padahal ia sendiri tengah menahan sakitnya. Kudengar suara Sofia bergetar, begitu pilu dan menyakitkan. Kenangan apa yang tengah ia pikirkan? Ini pertama kalinya kudengar suaranya bergetar.
“Aku kembali ketakutan, aku kembali lemah. Kemarin aku melihat sebuah kematian yang menyakitkan. Aku melihat gadis itu bergetar ketakutan dan itu mengingatkanku pada diriku sendiri. Saat itu aku pergi dengan dingin, seolah aku tak peduli padahal aku ingin memeluk gadis itu erat-erat. Aku ingin dia menangis keras dalam lindunganku, aku ingin menguatkannya. Aku ingin membantunya melewati hari yang menakutkan itu tapi aku hanya bisa melarikan diri. Karena aku ketakutan…”
Sofia memberi jeda pada kalimatnya. Sungguh semakin mengesalkan ketika ia kembali menceritakan hal yang tidak kuketahui. Apa dia tengah membahas masa lalunya? Lalu gadis yang ia ceritakan? Siapa gadis itu? Kudengar semilir angin menghempas rerumputan. Gesekan daun dan ranting pohon juga terdengar setelahnya. Gelombang-gelombang kecil di permukaan air yang tenang mulai terdengar. Mungkin karena daun yang jatuh ke permukaannya.
“Malam yang menenangkan. Ini kali pertamaku membawamu ke tempat ini. Ini juga pertama kalinya aku bicara tentang ketakutanku. Ini pertama kalinya kubiarkan kau mendengarku bergetar ketakutan. Kau juga pasti tahu bagaimana aku peduli padamu. Jadi maafkan jika sikapku selama ini tak mengenakkan. Aku hanya tak mau kehilangan lagi dan kau sudah menjadi bagian penting dari hidupku. Tak akan kubiarkan siapapun mendapatkanmu. Tak kubiarkan orang lain melukaimu dan tentu saja tak kubiarkan kau melakukan hal bodoh yang mungkin mencelakakan dirimu sendiri. Itulah janji yang kubuat saat kita pertama bertemu. Itulah yang membuatku selalu muncul pertama tanpa kau minta. Kau masih mendengarku, bocah bodoh!”
Saat kita pertama kali berjumpa?
“Kau masih begitu muda, sekarat dan berlumur darah di semak-semak rumahku yang hancur dan banjir darah. Yang pertama kulihat adalah tatapan mata turquoise itu yang seolah tak ingin padam. Tapi aku justru memadamkannya agar jiwaku kembali menyala. Kini waktunya untuk kembali menyala bersama-sama. Kau mendengarku?”
Tapi itu tak menjawab apapun. Tak satupun.
“Malam semakin malam, tenang saja, aku sudah makan dan kaupun sudah kuberi makan. Mulai saat ini aku akan menambah janjiku, aku tidak akan membuatmu kelaparan. Meskipun aku harus menjejalkan makanan ke mulutmu, itu akan kulakukan. Aneh sekali, mataku terasa sangat pedih. Padahal aku hanya memandangi bulan yang biasanya bersahabat denganku. Mengapa terasa pedih? Apa karena cahaya bulan adalah pinjaman dari matahari?”
Pertanyaan bodoh. Mengapa kau terus melemparkan pertanyaan jika kau tahu aku bahkan tak bisa bersuara untuk menjawabnya?
“Kau harusnya tahu bahwa makna tak harus diungkapkan lewat suara. Suara hanya sebagian kecil menyiratkan makna. Astaga, aku semakin tak mengerti dengan yang kukatakan. Kau juga sama kan, Pierre? Kau pasti tak mengerti apa yang wanita tua ini katakan. Maaf, aku justru mengganggu istirahatmu.”
Kemudian diam, tak terdengar apapun. Bahkan suara angin, gemericik air, gelombang di permukaan dan gesekan daun-daun mulai meredup. Tidak, jangan dulu. Aku tak mau itu terjadi, setidaknya aku bahagia masih bisa mendengar Sofia bercerita. Tak bisakah aku mendengarnya terus? Ya, segalanya hampir senyap sampai bisikan Sofia terdengar sangat jelas dalam diriku.
“Aku ingin kau tetap bersamaku maka aku akan terus mempertahankanmu. Selamat tidur, sayangku.”
Sekarang benar-benar hilang. Aku kosong.

(Bersambung…)

1 komentar:

  1. Halo, tuliskan sesuatu. Eh sedikit pengumuman nih, saya tertarik untuk membuat kisah-kisah dongeng spin off. Yang sedang saya garap sekarang adalah spin off nya the Red Riding Hood alias si tudung merah. Semoga bisa cepat selesai

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.