Yatta, finally update
juga ini sinetron. Karena semalam masih sempat begadang jadi saya tambahin
secuil ilustrasi deh biar tambah mantap. Oh iya, kepingan kali ini sepertinya
klimaks cerita. Jadi peringatan bagi anda yang lemah jantung harap membacanya
dengan didampingi orang terdekat karena konten dalam kepingan kali ini
mengandung unsur-unsur yang mengejutkan.
Hapy reading…
Hapy reading…
Televisi
di lobi rumah sakit masih menyala menampilkan dua orang pembaca berita yang
langsung memotong acara sebelumnya. Sebuah berita duka ditampilkan di layar
dengan judul yang mengejutkan.
“Kota Viga ikut berduka setelah
kehilangan sosok dermawan hebat. Suzanne Franklin meninggal pukul 2 dini hari
di Rumah Sakit Franklin’s Group. Beliau tidak dapat diselamatkan karena
kegagalan operasi setelah kecelakaan yang dialaminya. Seperti yang kita
ketahui, kecelakaan dialami dermawan ini pada pukul 9 malam di KM 345…”
LEIL
“Jossie,
jangan bertindak bodoh,” teriakku dari kejauhan sambil berusaha mendekat.
“Tidak
akan kulepaskan dia! Dia mencuri yang paling berharga dalam hidupku, dia
membunuh ibuku, Leil.”
Aku
tak tahu lagi bagaimana cara melepaskan Jossie dari vampir wanita yang
menerobos rumah sakit dan mencuri beberapa kantong darah terbatas yang telah
disiapkan untuk operasi Nyonya Franklin. Entah mengapa vampir wanita itu diam tak
mencoba membebaskan diri. Padahal dia bisa saja dengan mudah melempar Jossie.
Mungkinkah dia sangat kelaparan atau mungkin ia akan memberikannya pada
anak-anaknya yang kelaparan. Setidaknya mencuri kantong darah lebih baik
daripada menculik manusia dan manyedot habis darahnya. Sayangnya, ia mencuri
kantong yang salah. Lalu bagaimana aku bisa menyelamatkan keduanya?
“Aku
akan membunuhnya!” teriak Jossie.
Aku
menarik tubuh Jossie dan melakukan kontak mata dengan si vampir wanita berharap
ia mengerti apa yang aku mohonkan. Tapi itu tak terjadi, aku juga tak tahu apa
yang dia pikirkan saat ini. Dia hanya diam dan akupun tak bisa melihat wajahnya
yang separuh tertutup masker. Seolah dia memang berniat menyembunyikan
identitasnya dari pemburu. Di tengah kekacauan, aku justru terlempar. Ketika
aku mencoba mendekat lagi, sekelebat bayangan berkecepatan tinggi menyambar
Jossie dan menghantamkannya ke pinus raksasa. Bisa kupastikan dia adalah
vampir. Mungkinkah itu upaya penyelamatan si vampir wanita? Jadi sekarang ada
dua vampir?
“Jossie,
gunakan pisaumu!” teriakku sambil terus mendekati arena pergumulan, sementara
vampir wanita itu mengejarku dengan terpincang. Ia menghentikan langkahku dan
menahanku jauh dari Jossie. Maskernya sudah terkoyak dan kini jelas aku bisa
melihat wajahnya. Dia adalah Sofia.
“Leil,
tolong aku!” kulihat gerakan tangan Jossie dengan pisau yang mencoba menghujam
liar ke tubuh si vampir. Tapi, semua terlambat, aku tak mendengar suara Jossie
lagi.
“Menjauh
dari temanku, vampir busuk!” teriakku sambil melempar pisauku yang kemudian
mengenai lengan kirinya. Ia melompat kesakitan karena sayatan pisauku. Vampir
itu berbalik menuju arahku dengan gerakan cepat.
“Pergilah.
Aku akan mengurusnya,” seru Sofia sambil melesat menyambut vampir itu. Tapi Anehnya
aku hanya diam menyambut kedatangannya padaku. Wajah tampannya, rambut
hitamnya, tubuh menjulang yang hanya terbalut kemeja putih dengan celana pendek
hitam dan mata turqouise itu?
Kecepatannya membelah kabut dan dengan jelas kulihat dia dengan bibir
berhiaskan darah Jossie.
“Pierre…”
gumamku.
Benarkah
itu dia? Aku harus terbangun untuk menyadari mimpi macam apa ini? Tapi aku tak
juga terbangun, aku tetap di sini. Jika ini sebuah mimpi, maka harusnya mimpi
itu sudah tak di sini. Kini ia berada tepat di hadapanku, Sofia menghalangi
tubuhku dari Pierre. Ia mendorongku jauh sedangkan ia terlempar karena serangan
Pierre. Pierre kembali menemukanku, mencengkeram kedua bahuku dan aku pun
terdorong jauh. Tubuhku berhenti bergerak ketika dia memojokkanku di batang
pinus raksasa.
“Leil,
jam tanganmu!” teriak Sofia.
Dia
benar, jam tanganku terbuat dari perak tapi aku tak bisa berbuat apapun ketika
Pierre mengunciku dengan tatapan matanya. Tapi mata itu bukan mata yang biasa
kukagumi. Matanya seolah kehilangan keindahannya, tatapannya tak bisa lagi
menyejukkan. Bahkan ia membuatku ketakutan. Itu bukan dia, sungguh itu bukan
dia. Tapi seberapa banyak pun aku menyangkal, kenyataannya tetap tidak berubah.
Dia tetaplah Pierre.
“Menjauh
darinya, dasar bodoh!” Sofia menancapkan sebuah jarum ke punggung Pierre ketika
ia mulai membelai leherku dengan jarinya yang terasa tajam. Seketika Pierre
jatuh tak sadarkan diri.
“Pierre?”
aku masih menggeleng tak percaya.
“Harusnya
kau sudah bersiap untuk kemungkinan ini karena kau sudah tahu bahwa Pierre
bukan manusia. Maaf untuk kekacauan ini, tapi aku tak bisa membereskan sisanya.”
Mereka
menghilang dalam kabut. Hanya kalimat itu yang kudapat dari Sofia. Sama sekali
tak menjawab apa yang ingin kutanyakan padanya. Sekarang tak ada yang tersisa
di sini. Hanya dingin, hening, sepi dan sendiri. Kudekati tubuh Jossie yang
terkoyak. Sebuah keberanian bodoh nan gila berujung kematian, masih tak kupercaya
apa yang terjadi. Mimpikah ini? Pierre membunuh Jossie? Tubuhku menggigil,
terus bergetar hebat hingga aku tak mampu menahan berat tubuhku. Aku duduk
bersimpuh di samping Jossie, menahan getaran tubuhku. Ayah, apa yang sebenarnya
terjadi? Aku takut…
Pancaran
sinar mentari di ufuk timur menyadarkanku, ini bukanlah sebuah mimpi buruk.
Tapi ini benar-benar buruk.
*
DARE LIFE: Tersa-Vampir berada di balik
kematian Suzanne Franklin, akankah kita tinggal diam sementara mereka tlah
merenggut satu persatu dari kita? Ayo bergerak dan angkat busurmu. Perburuan
tlah dimulai. [VJ]
“Aku turut berduka, Leil. Jossie
adalah yang terbaik. Dia selalu mencintaimu dengan tulus. Aku berdoa semoga dia
mendapat tempat yang nyaman di samping ibunya.”
“Terima kasih June.”
June memelukku erat,
mencoba menguatkan diri walau sebenarnya aku ingin tumbang. Semua orang
menatapku dengan tatapan yang sama. Seolah aku ini adalah pengantin yang
ditinggalkan. Lebih parahnya lagi, mereka bilang aku adalah isteri yang
ditinggal mati suaminya. Banyak yang berasumsi bahwa aku dan Jossie tlah
menikah diam-diam. Apalagi dengan cincin berlian yang masih melingkar di jari
manisku.
Ratusan tangkai krisan
putih menumpuk di bawah nisan atas nama Joshua Franklin. Ratusan lainnya
bertumpuk di bawah nisan Suzanne Franklin yang tepat bersebelahan. Krisan putih, anehnya semua krisan ini malah
mengingatkanku pada satu nama yang membuatku ngeri. Pierre.
Semua temanku datang ke
pemakaman Jossie untuk melakukan hal yang sama dengan June. Sekaligus ingin kembali
menatap wajah Jossie untuk terakhir kalinya meskipun hanya melalui bingkai
foto. Merelakan pria yang mereka kagumi pergi begitu saja tanpa ucapan selamat
tinggal maupun senyum perpisahan secara langsung. Mereka masih tersedu di
hadapan foto Jossie, lalu kutatap gambaran wajah tirusnya dengan senyum menawan
yang terpenjara dalam pigura hitam, rambut pirang dan mata coklatnya tak akan
kulupakan. Maafkan aku, Jossie…
“Nona Leil, bisakah kuminta
sedikit keteranganmu tentang kematian saudara Joshua Franklin?” tanya seorang
polisi yang menghampiriku.
“Bagian mana yang paling
kalian inginkan?” tantangku. Kulihat polisi itu mulai membuka buku catatannya
yang hanya sebesar telapak tangan. Tapi ayah segera muncul sebelum mereka
membacakan pertanyaan pertama.
“Maaf tapi putriku masih
perlu waktu untuk membicarakannya.” Ayah merangkul bahuku, memperlakukanku
seolah aku tak bisa menghadapi dua polisi itu sendiri.
“Oh, baiklah. Maafkan kami,
nona. Aku turut berduka cita.” Kedua polisi itu menjauh dariku. Ayah membawaku
untuk masuk ke mobil dan kami bergerak pulang menjauh dari pemakaman dan
kerumunan pelayat yang tengah berduka sekaligus penasaran dengan kematian
Jossie. Ayah juga sepertinya menginginkan jawaban itu dariku.
Mobil berhenti begitu kami
memasuki halaman rumah sederhana kami. Ayah menatapku tajam, seperti yang
kuperkirakan sebelumnya. Ayah menginginkan jawabanku.
“Apa yang sebenarnya
terjadi, Leil? tolong katakan pada ayah.” Aku masih diam, tak berani kutatap
balik ayah yang begitu menginginkan jawaban dariku.
“Ayah, aku takut…” aku
hanya mampu memeluk ayah sambil menangis.
“Serigala mana? Vampir mana
yang membuatmu takut? Akan kubunuh mereka. Itu pasti. Atau pria itukah?”
tubuhku langsung bergetar hebat dalam pelukan ayah. Bagaimana bisa ayah
menebaknya dengan cepat dan tepat bahwa Pierre adalah satu nama pertama yang
patut dicurigai. Apa yang harus kukatakan?
“Tidurlah, dari kemarin
malam kau belum tidur.”
Aku turun dari mobil,
berjalan gontai dengan semua pertanyaan tentang Pierre, Aku, Jossie, Ayah, polisi
itu, Sofia, dan para werewolf. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku hingga aku
tak menyadari ketika kakiku terantuk kaki meja dan jatuh menghadap meja
telepon. Entah apa yang kupikirkan, jemariku malah menari di atas beberapa
tombol dengan angkanya masing-masing.
“Selamat siang, panggilan darurat Kepolisian Viga. Ada yang
bisa kami bantu?”
*
Aku masih meringkuk di atas
kasur ketika suara gaduh mendekati kamarku. Kudengar teriakan ayah memaki
seseorang dan dengan jelas ayah mencoba menahan mereka menuju kamarku. Dalam
hitungan detik pintu kamarku terbuka, aku masih dalam posisiku. Dua orang
polisi yang menemuiku di pemakaman kini muncul kembali di hadapanku.
“Nona Leil Grazdien, anda
ditangkap atas kasus pembunuhan terhadap saudara Joshua Franklin.” Aku bangkit
dari kasur dan membiarkan mereka mengunci pergelangan tanganku dengan borgol.
Tak berani kutatap ayah.
“Leil? bukan seperti ini
harusnya. Katakan pada ayah, sayang.”
“Maaf, aku telah
mengecewakan ayah.”
“Siapa yang membunuh
Jossie!” teriak ayah sambil mengguncang tubuhku. Tapi semua percuma, sia-sia,
akan kusimpan jawaban ini untuk diriku sendiri. Biarlah ini terjadi.
“Maaf ayah, aku telah
membunuh Joshua Franklin.”
***
![]() |
Bonus: visualisasi untuk Pierre, yap karena sempat gambar jadi saya tambahkan. Siapa tahu bisa untuk cuci mata. |
PIERRE
Aku tak bisa melihat apapun, pandanganku gelap dan terasa sangat dingin
merasuk ke tubuh. Dingin yang bahkan seolah membekukan hingga dalam sekejap
membuatku mati rasa. Kini, hanya telinga yang masih bisa menangkap suara
samar-samar. Yang kudengar pun bukan suara yang indah. Aku mendengar gonggongan
anjing yang terdengar semakin keras, bercampur dengan suara angin yang terbelah
dan gesekan ranting dengan daun. Aku tak merasakan tangan maupun kakiku tapi
aku yakin sedang bergerak. Suara
gonggongan anjing semakin pudar, aku semakin menjauh darinya? Tapi kemudian
senyap, aku merasa kosong karena tak ada satupun yang bisa kudengar. Di tengah
kehampaan, yang kudengar hanya desah nafas perempuan yang diikuti gerutuan.
Sofia.
“Sialan si tampan itu. Dan kau lebih kurang ajar, bodoh. Kau mendengarku!
Kau bodoh!” teriak Sofia. Tentu saja aku mendengarnya, tapi begitu sulit untuk
menjawabnya. Tak kudengar sama sekali ada satu kata yang berhasil keluar. Aku
hanya diam.
Jadi memang benar aku tengah bergerak dibawa lari Sofia. Tapi untuk apa?
Ke mana? Mengapa kami melewati hutan penuh gonggongan anjing? Kudengar sebuah
benda jatuh ke dalam air, diikuti gerutuan Sofia, lagi.
“Kuharap ini sudah sangat jauh dari mereka. Lebih baik kau cepat bangun
dan lari sendiri. Pria itu lebih gila dari yang kuduga,” katanya. Tapi aku sama
sekali tak mengerti apa yang dia bicarakan. Ada banyak sekali pertanyaan yang
ingin kutanyakan. Pertanyaan pertamaku tentu saja mengapa aku tak bisa
merasakan tubuhku? Bahkan kepalaku tak mau memikirkan kemungkinannya. Apa yang
sebenarnya Sofia gerutukan? Siapa pria yang dimaksudnya?
“Hey Pierre, maaf aku membuatmu bingung. Tapi aku tak akan menjawab semua
pertanyaanmu karena aku hanya ingin kau cepat sembuh. Karena itulah aku membuatmu
tetap diam. Ketika kau bisa bangun sendiri, akan ada beban berat yang harus kau
tanggung. Jadi istirahatkanlah dirimu dan jangan khawatir.”
Mengapa aku harus khawatir, justru semua kalimatnya membuatku semakin
khawatir. Dengan keadaan diamku saat ini, apa yang bisa kuketahui? Mengapa
Sofia mengatakan hal yang semakin tak kuketahui? Sialan kau Sofia.
“Aku ini darah murni, jadi tak mungkin si tampan dapat mengalahkanku.
Bahkan semua prajuritnya yang tak mempunyai darah sudah kujadikan abu. Dia
benar-benar meremehkan kemampuanku. Mengirim pasukan tanpa darah untuk mengejar
seorang darah murni adalah penghinaan terbesar dalam hidupku. Setidaknya dia
harus mengirim beberapa bangsawan dan darah murni lainnya jika memang berniat
mengejarku.”
Diamlah, Sofia. Ocehanmu semakin membuatku kesal.
“Pierre, ini pertama kalinya aku melihat matahari. Pagi tadi, dia masih
lingkaran jingga yang tertutup kabut. Siang hari, lingkaran itu menghilang dari
langit. Aku tak bisa menemukannya tapi cahayanya membuat seluruhnya jadi terang.
Begitu menyilaukan hingga mataku rasanya ingin terbakar. Begitu kau bangun, aku
akan menghajarmu karena membuatku bergerak di siang hari tanpa persiapan. Aku
akan membeli banyak bawang merah dan menyuruhmu mengupasnya, aku akan bahagia
ketika melihat mata turquoise indahmu
itu menangis pedih.”
Berhenti bicara, Sofia!
“Astaga, apa kita pernah berbincang sepanjang ini? Rasanya ini pertama
kali. Malam ini begitu indah, bulan memang belum mencapai purnama tapi itu tak
masalah bagiku. Selama dia masih ada di langit dan bermain-main bersama kabut
gelap. Kau tahu tidak, setebal apapun kegelapan yang menyelimuti bulan tak akan
benar-benar menutupinya. Ia akan menjadi yang paling terang lagi. Padahal
cahayanya hanya pinjaman dari matahari. Mungkin karena bulan juga bayangan,
jadi tak ada yang bisa menutupinya dengan bayangan lagi. Apa yang kau dengar,
Pierre?”
Dia menyebalkan, menceritakan tentang sebuah keindahan padahal ia sendiri
tengah menahan sakitnya. Kudengar suara Sofia bergetar, begitu pilu dan menyakitkan.
Kenangan apa yang tengah ia pikirkan? Ini pertama kalinya kudengar suaranya
bergetar.
“Aku kembali ketakutan, aku kembali lemah. Kemarin aku melihat sebuah
kematian yang menyakitkan. Aku melihat gadis itu bergetar ketakutan dan itu
mengingatkanku pada diriku sendiri. Saat itu aku pergi dengan dingin, seolah
aku tak peduli padahal aku ingin memeluk gadis itu erat-erat. Aku ingin dia
menangis keras dalam lindunganku, aku ingin menguatkannya. Aku ingin
membantunya melewati hari yang menakutkan itu tapi aku hanya bisa melarikan
diri. Karena aku ketakutan…”
Sofia memberi jeda pada kalimatnya. Sungguh semakin mengesalkan ketika ia
kembali menceritakan hal yang tidak kuketahui. Apa dia tengah membahas masa
lalunya? Lalu gadis yang ia ceritakan? Siapa gadis itu? Kudengar semilir angin
menghempas rerumputan. Gesekan daun dan ranting pohon juga terdengar
setelahnya. Gelombang-gelombang kecil di permukaan air yang tenang mulai
terdengar. Mungkin karena daun yang jatuh ke permukaannya.
“Malam yang menenangkan. Ini kali pertamaku membawamu ke tempat ini. Ini
juga pertama kalinya aku bicara tentang ketakutanku. Ini pertama kalinya
kubiarkan kau mendengarku bergetar ketakutan. Kau juga pasti tahu bagaimana aku
peduli padamu. Jadi maafkan jika sikapku selama ini tak mengenakkan. Aku hanya
tak mau kehilangan lagi dan kau sudah menjadi bagian penting dari hidupku. Tak
akan kubiarkan siapapun mendapatkanmu. Tak kubiarkan orang lain melukaimu dan
tentu saja tak kubiarkan kau melakukan hal bodoh yang mungkin mencelakakan dirimu
sendiri. Itulah janji yang kubuat saat kita pertama bertemu. Itulah yang
membuatku selalu muncul pertama tanpa kau minta. Kau masih mendengarku, bocah
bodoh!”
Saat kita pertama kali berjumpa?
“Kau masih begitu muda, sekarat dan berlumur darah di semak-semak rumahku
yang hancur dan banjir darah. Yang pertama kulihat adalah tatapan mata turquoise itu yang seolah tak ingin
padam. Tapi aku justru memadamkannya agar jiwaku kembali menyala. Kini waktunya
untuk kembali menyala bersama-sama. Kau mendengarku?”
Tapi itu tak menjawab apapun. Tak satupun.
“Malam semakin malam, tenang saja, aku sudah makan dan kaupun sudah
kuberi makan. Mulai saat ini aku akan menambah janjiku, aku tidak akan
membuatmu kelaparan. Meskipun aku harus menjejalkan makanan ke mulutmu, itu akan
kulakukan. Aneh sekali, mataku terasa sangat pedih. Padahal aku hanya
memandangi bulan yang biasanya bersahabat denganku. Mengapa terasa pedih? Apa
karena cahaya bulan adalah pinjaman dari matahari?”
Pertanyaan bodoh. Mengapa kau terus melemparkan pertanyaan jika kau tahu
aku bahkan tak bisa bersuara untuk menjawabnya?
“Kau harusnya tahu bahwa makna tak harus diungkapkan lewat suara. Suara
hanya sebagian kecil menyiratkan makna. Astaga, aku semakin tak mengerti dengan
yang kukatakan. Kau juga sama kan, Pierre? Kau pasti tak mengerti apa yang
wanita tua ini katakan. Maaf, aku justru mengganggu istirahatmu.”
Kemudian diam, tak terdengar apapun. Bahkan suara angin, gemericik air,
gelombang di permukaan dan gesekan daun-daun mulai meredup. Tidak, jangan dulu.
Aku tak mau itu terjadi, setidaknya aku bahagia masih bisa mendengar Sofia
bercerita. Tak bisakah aku mendengarnya terus? Ya, segalanya hampir senyap
sampai bisikan Sofia terdengar sangat jelas dalam diriku.
“Aku ingin kau tetap bersamaku maka aku akan terus mempertahankanmu.
Selamat tidur, sayangku.”
Sekarang benar-benar hilang. Aku kosong.
(Bersambung…)
Halo, tuliskan sesuatu. Eh sedikit pengumuman nih, saya tertarik untuk membuat kisah-kisah dongeng spin off. Yang sedang saya garap sekarang adalah spin off nya the Red Riding Hood alias si tudung merah. Semoga bisa cepat selesai
BalasHapus