[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 27


Fiuh, berhasil membuat hari Kamis update. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Oh iya untuk kali ini sedikit lebih panjang dari biasanya karena keping ini saya libatkan Jossie untuk ikut bercerita. Ya, siapa tahu ada yang penasaran dengan pria ini. Happy Reading


DAY 4: PIERRE
Rasa sakit di sekujur tubuhku tak berkurang sedikitpun, justru rasanya semakin menyiksa. Ini hari keempatku terbaring. Mencoba menyembuhkan luka tapi tak ada perubahan.

“Sudah kelaparan?” celetuk Sofia yang tiba-tiba muncul. Dia berjongkok sambil memandangiku yang meringis kesakitan.

“Semakin lama menahannya, kau akan semakin tersiksa. Tubuhmu juga akan kelelahan sendiri. Luka sekecil apapun tak akan sembuh jika kau hanya diam dan menahan dahaga itu. Ayolah, jangan naif Pierre.”

Sialan dengan semoa ocehannya. Tubuhku menginginkan asupan makanan dan aku menolaknya karena itulah rasanya begitu menyakitkan. Tubuh vampirku bisa cukup rakus untuk menuntaskan dahaga, sangat berbahaya jika aku keluar dan berada di antara manusia.

“Sofia, pukul aku.”

“Hei, apa maumu bocah bodoh? Yang kau butuhkan sekarang hanya makan bukan pukulan. Kau butuh makan, sayangku.”

“Buat aku tertidur hingga aku lupa rasa laparku. Kumohon,” pintaku. Ya, ini pertama kalinya dalam sepuluh tahun darah vampirku mendominasi. Sebelumnya aku bisa menekannya untuk tetap tertidur. Aku selalu mencegah darah itu bangun tapi kini semuanya sudah terjadi.

“Apa begitu merepotkan untuk keluar sebentar dan makan?”

“Karena kata makan tak semudah mengucapkannya! Itu berarti aku harus membunuh, bukan?” Sofia langsung berdiri dengan wajah kesal.

“Dasar bodoh! Diamlah disini, aku yang akan mencari makanan untukmu!” teriaknya kesal.

“Aku tak mau mengkhianatinya, Sofia,” kataku lemah.

“Penuhilah kebutuhan tubuhmu atau kau akan kehilangannya, Tuan Vampir. Kau pasti tahu apa artinya kan? Kau mati, sebagai vampir, werewolf dan sebagai manusia dengan begitu kau mengingkari janjimu, kau mengkhianati gadis itu.”

Sofia tak menerima apapun alasanku, ia mengunci tiap jendela dan pintu di rumahnya dan menutup tirainya sampai benar-benar gelap di dalam.

“Jangan berkeliaran. Bau vampir sekarat adalah favorit werewolf. Aku akan kembali.” Begitulah ia, keras kepala tapi penuh perhatian dan penyayang. Kuharap aku bisa membalas kebaikannya suatu saat nanti.
***

LEIL
NEWS PIECE: Viga- Ratu keluarga Franklin, Suzanne Franklin, malam ini mengalami kecelakaan di km 345 setelah menghadiri acara pembukaan kantor cabang Franklin’s Group di Tersa. Mobilnya hancur, sopir meninggal di tempat sementara Suzanne Franklin luka berat.

Diam dan keheningan sebuah tempat bernama Rumah Sakit adalah sebuah mimpi buruk. Tapi, kini aku malah terjebak di tempat ini. Aku duduk di deretan bangku putih yang tersedia di depan ruang. Hatiku hancur ketika beberapa menit lalu, telepon rumah Jossie berdering dan mengabarkan berita tak mengenakkan. Saat kami mempersiapkan kejutan untuk kepulangan Nyonya Franklin dari Tersa, justru beliau yang mengejutkan kami. Ia mengalami kecelakaan dan keadaannya buruk. Aku masih tak mau memercayainya tapi itulah yang terjadi.

Kini, tim dokter keluarga Franklin tengah berusaha keras untuk menolong kliennya. Jossie terus menunduk lesu di sampingku, rasa penyesalan dan takut kehilangan tergambar jelas di wajah tampannya. Sesekali air mata meluncur tanpa penghalang.

“Bukankah semuanya akan baik saja, Josh?” tanyaku.

“Kuharap begitu, Leil.”

Seorang dokter keluar dari ruangan dan menghampiri Jossie. Ayahku juga ikut merapat. Saat ini hanya ayah yang bisa kami andalkan sebagai wali. Jossie langsung bertanya tentang ibunya.

“Nyonya Franklin dalam keadaan baik. Tapi masih memerlukan beberapa operasi kecil untuk mengeluarkan serpihan kaca yang masih ada di tubuhnya.”

“Mengapa tidak segera kau lakukan, bodoh!” seru Jossie sambil mencengkeram kemeja sang dokter. Aku berusaha melepaskan sang dokter dari kemarahan Jossie. Ayah juga membantuku.

“Tenanglah Josh. Dengarkan dulu alasannya,” kata ayah perlahan.

“Kami masih menunggu stok darah dari rumah sakit di Linas untuk operasi tersebut. Hanya tersisa satu kantong dan kami membutuhkan lebih banyak lagi untuk Nyonya Franklin. Jadi saya harap anda cukup bersabar untuk menunggu kantong darah itu sampai.”

“Berapa lama aku harus menunggunya?”

“Satu atau dua jam ke depan. Tapi kami mengusahakan secepatnya. Ini semua untuk kebaikan Nyonya Franklin.”

Si dokter undur diri dan kami kembali duduk di deretan bangku ruang tunggu. Berkali-kali Jossie meminta izin untuk bertemu dengan ibunya tapi tidak diperbolehkan. Hingga akhirnya ia kesal dan terus memukul-mukul tembok tempat kami bersandar. Aku menghampirinya untuk menenangkannya. Aku menepuk bahunya dan perlahan membawanya untuk duduk. Air mata mengalir deras, entah apa yang dia pikirkan pasti itu sangat buruk. Baru kali ini aku melihat Jossie tersedu demikian hebat. Ketegarannya meluruh hingga akhirnya bersimpuh di lantai. Menyandarkan kepalanya pada tembok yang selesai dipukulnya. Aku ikut duduk di sampingnya.

“Hey, aku tak tahu kata apa yang akan menenangkanmu. Tapi kuharap ini semua akan berakhir dengan indah. Untuk saat ini aku berdoa yang terbaik untuk ibumu. Aku juga cemas dengan keadaannya,”

“Leil, tetaplah bersamaku. Aku merasa tenang jika kau ada disini,” katanya putus asa. Jossie merebahkan badannya dan tidur dalam pangkuanku. Perlahan jemari tanganku membelai rambutnya dengan lembut. Ayah hanya berputar-putar di koridor sambil sesekali melirik jam tangannya. Jossie perlahan mulai tenang, bahkan kulihat ia terlelap di pangkuanku. Kali ini ponselnya yang berdering, bersuara beberapa kali kemudian diam dengan sendirinya. Ayah yang memeriksa panggilan itu.

“Sebuah nomor asing. Apa yang coba dia sampaikan pada Jossie?” kata ayah. Aku hanya menggeleng. Tak berapa lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Ayah sepertinya sangat penasaran dengan penelpon, saat ia akan meraih ponsel Jossie segera kuhalangi.

“Mungkin kita tunggu Jossie saja.” Ayah mengangguk, mengerti dengan alasanku. Ia kembali duduk di bangku ruang tunggu. Sementara aku masih duduk bersandar pada dinding dengan Jossie meringkuk di pangkuanku. Terlelap dengan tenang. Menatap ketenangannya memberiku ketenangan pula hingga lamat-lamat aku mendengar sesuatu dari kejauhan.

Astaga, ini kesempatan terakhirnya dan ia justru mengacuhkanku. Apa yang dia pikirkan? Terlelap di pangkuan seorang gadis? Yang benar saja. Apa dia juga berpikir untuk mengajak gadis itu tidur bersamanya. Cih, pada akhirnya dia tetap saja bodoh.

Ada yang sedang mengamati kami, yang kudengar adalah suara pria dan begitu jelas. Sudah pasti dia berada dekat sini, tapi bukan itu yang aku khawatirkan. Yang kudengar tentu saja bukan ocehan pria yang cemburu ataupun wartawan dari majalah gossip. Lorong ini begitu tenang, ketenangan menuju pertengahan malam. Lagipula, yang kudengar bukan hanya kalimat itu tapi juga suara angin yang teralihkan karena seseorang melintas dengan sangat cepat. Tentu dia bukan manusia. Ponsel Jossie kembali berdering, kali ini langsung kuraih dan saat itulah Jossie merebutnya dariku.

“Boleh kuangkat teleponnya?” tanya Jossie dengan senyumnya. Senyum indah yang berkebalikan dengan mata sembabnya. Kulepaskan tanganku dari ponselnya.

“Tentu, itu untukmu,” kataku singkat. Jossie langsung bangkit, aku juga ikut berdiri. Jossie mengangkat teleponnya dan raut wajahnya terlihat berubah drastic. Senyumnya menghilang dan selanjutnya berjalan menjauh dari aku dan ayah.

“Jossie,” panggilku. Sungguh tanganku dingin dan bergetar karena panik bercampur takut. Jossie berhenti untuk berbalik dan memandang ke arahku.

“Hati-hati,” pesanku. Setelah itu ia kembali menjauh menuju ujung lorong. Ayah menumpuk jemarinya di atas jemariku. Bodohnya, aku justru berjingkat karena terkejut dengan gerakannya. Astaga, aku ketakutan.

“Tenang saja, dia akan baik-baik saja,” kata ayah. Tapi kata-kata ayah tak sepenuhnya membuatku tenang, justru membuatku semakin gelisah. Jika yang menelpon Jossie adalah pria yang sama yang kurasakan kehadirannya. Maka Jossie sama sekali tidak baik-baik saja. Ia berhubungan dengan vampir? Aku harus menyusulnya.
***

JOSSIE
“Untuk apa kau menghubungiku lagi? Bukankah sudah kukatakan untuk diam saja dan nikmati permainannya, bodoh!”

“Oh, kau sudah bangun tidur. Apa kau mimpi indah?”

“Sialan. Kau ada di sini? Tak bisakah kau menunggu semuanya berakhir dan menerima kekalahanmu nantinya?”

Sambil terus memancingnya berbicara denganku, aku berlari memutari lorong di lantai saat ini aku berada. Terus berputar dan memerhatikan tiap pria yang melintas. Tapi aku tak menemukannya. Sialan. Dimana dia? Kesal karena tak menemukannya, aku naik kea tap untuk membebaskan paru-paru dari sesak. Ya, untuk saat ini sepertinya udara segar cukup membantu mendinginkan kepala.

“Oh, sabar Tuan Joshua Franklin. Jika kau berteriak begitu keras, gadismu itu akan mendengarnya dan berakhirlah semua kesenangan ini. Ah, iya aku hampir lupa. Kedatanganku malam ini bukan hanya untuk menjengukmu dan Nyonya tersayang itu. Hanya sebagai penjagaan dan penyampai pesan. Bahwa aku ingin keputusan malam ini juga. Permainan yang terlalu lama juga menyebalkan. Aku bosan.”

“Aku sudah di jalur kemenanganku. Sudah kusingkirkan Pierre pengganggu itu dan jalanku sudah pasti adalah menang. Bagaimanapun, kemenanganku akan mengajarkanmu bahwa yang lama menjadi sampah tak akan bisa dengan mudah menjadi berlian.”

“Kau yakin melakukannya? Wah wah, Joshua Franklin…”

Belum selesai ia berkata-kata, langsung kuakhiri pembicaraan yang mulai tak berguna ini. Dia ada di sini dan itu cukup memberiku alasan untuk mematikan telepon dan bergegas kembali menuju kamar ibu. Dia orang gila, dia bisa saja nekat mengakhiri permainan ini dengan caranya sendiri dan aku takut kecelakaan yang ibu alami adalah bagian dari kegilaannya. Saat aku berbalik, ia sudah ada di hadapanku. Mengenakan setelan mahal dan tetap menampilkan kesan tenang nan elegan tapi mengancam.

“Halo,” sapanya ceria. Ia bahkan merentangkan dua tangannya seolah menyambutku dengan pelukan.

“Kau tidak ada pekerjaan lain?”

“Inilah pekerjaanku, Tuan Joshua Franklin. Memastikan anda bermain dengan baik dan tidak membuatku bosan,” jawabnya santai.

“Oh, kau datang ke hadapanku untuk mengakui kekalahanmu secara langsung? Ya, kau memang perlu berlutut dan mengatakan dengan lantang bahwa kau kalah.” Ia tak berkata apapun, hanya menyeringai dengan licik. Bertepuk tangan dan memutariku. Tepukan tangannya terdengar penuh dengan muatan penghinaan. Apa dia sedang meremehkanku? Dia tak percaya dengan omonganku?

“Kau begitu yakin akan menang? Lucu sekali. Bisa kita lanjutkan percakapan yang tadi terputus? Aku belum selesai dengan laporanmu.”

“Saat aku menutup teleponnya, itu berarti aku sudah selesai denganmu.”

“Kau menyingkirkan pengganggu itu?”

“Aku yakin pasti dia sudah membusuk di rumah hantunya tanpa ada seorangpun yang tahu. Mengenaskan, tapi memang itulah yang akan terjadi pada semua yang berani menghalangi Joshua Franklin. Bahkan sampah sepertimu juga bisa jadi lebih busuk daripada sekarang jika kau masih saja berdiri di hadapanku dan menghalangi jalan.”

“Wow, kau memang pemain yang kejam,” katanya sambil bertepuk tangan dan menyeringai menyebalkan dengan senyum manisnya. Sialan orang ini. Aku juga harus menyingkirkannya!

“Jangan pernah mencoba menyingkirkanku karena kau yang akan tersingkir lebih dulu dari permainan ini. Ingat, sedikit sampah bisa mengacaukan seluruh istana. Jika kau tak percaya, kau boleh membuktikannya sendiri, Tuan Joshua Franklin.”

“Berbicaralah sesukamu.”

Aku pergi darinya. Mengacuhkannya yang masih terus tertawa bagai orang gila. Beberapa lampu yang menerangi jalanku menuju pintu masuk tiba-tiba padam. Hanya tersisa satu lampu yang masih berkedip-kedip antara hidup dan mati. Di antara gelap dan terang yang bergantian itulah aku melihatnya menyeringai.

“Kau yakin akan meninggalkanku dalam kekalahan?” serunya. Aku masih tak peduli, tanganku menarik gagang pintu tapi tak mau terbuka. Hingga akhirnya lampu terakhir di sini benar-benar padam. Kegelapan total menyelimuti dan aku tahu ini adalah kegilaannya. Akhirnya aku berbalik, berjalan ke arahnya dengan pukulan yang siap kuhantamkan pada wajah tampan memuakkan itu.

“Enyahlah kau, sampah!”

Sebelum pukulanku mendarat, ia menghentikanku dengan telepon dari Leil. Ponselku ada di tangannya. Dengan senyum puas yang sangat licik ia menatapku. Astaga, aku melewatkan aksi liciknya. Sejak kapan ponselku ada padanya?

“Oh, kelinci kita menelpon. Apa yang harus kulakukan? Mengatakan padanya bahwa kau sedang ada urusan denganku hingga tak bisa diganggu? Sepertinya menarik.”

“Berikan padaku!”

“Atau harus kukatakan bahwa Joshua Franklin, oh bukan, siapa nama panggilanmu? Jossie? Ya, haruskah aku memberinya selamat karena Jossie telah memilihnya sebagai kelinci mainannya? Apa dia akan bahagia mendengarnya? Apa kau akan tetap dengan kemenanganmu? Hmm, beri aku jawaban hingga aku bisa mempertimbangkannya.”

“Sialan.” Dia hanya tertawa. Ponselku masih tetap berdering, Leil mengapa kau tidak berhenti saja dan jangan campuri urusanku?

“Hanya itu jawabanmu? Hanya mengumpat? Mengapa tidak katakan hal seperti sebelumnya? Bagaimana kalau kau…”

“Lakukan sesukamu,” jawabku kesal.

“Inilah Joshua Franklin yang terkenal. Aku suka bermain denganmu.” Dia segera menerima panggilan Leil dan menyalakan speaker agar kami berdua bisa mendengar apa yang Leil katakan.

“Jossie, ada dimana kau?”

Aku masih diam, dia menatapku sambil manggut-manggut. Tatapan matanya semakin tajam, suara Leil memanggil-manggil, mengembalikanku dari diam.

“Aku ada di atap, mencari udara segar dan mendinginkan kepala,” jawabku. Kudengar Leil mendesah lega menerima jawaban dariku. Ia bahkan dengan semangat mengatakan bahwa saat ini tengah menyusul.

“Leil, bisakah kau tunggu saja di bawah?” dia segera membanting ponselku hingga menjadi kepingan. Tersenyum ke arahku sambil menyerahkan setangkai mawar merah dari saku jasnya.

“Bisa kita akhiri malam ini?” tanyaku sambil menyambut mawar merah darinya. Kali ini tatapanku juga tajam mengimbangi seringainya. Pintu terbuka dan Leil segera dalam jarak pandangku. Ajaib, dia bahkan bisa membuka pintu yang terkunci dan menyalakan kembali lampu yang tadinya padam. Bahkan dia bisa mengusir pria yang tak bisa kuusir.

“Jossie, Nyonya Franklin kritis”

“Leil Grazdien, menikahlah denganku.”

Aku berlutut, dengan geram kakiku melumat setangkai mawar merah, menggaet jemari Leil dan memasukkan cincin permata yang sudah berulang kali coba kuberikan padanya. Kali ini semuanya akan selesai.

“Jossie, tapi ibumu…”

“Menikahlah denganku.”


(Bersambung…)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.