![]() |
[no ilustration to display] karena author lagi frustasi gegara ngurus revisi. harap dimaklumi :) |
Haloo,
saya kangen. Di antara banyak paper employee engagement dan paper social anthropology, saya melarikan diri ke kota kecil bernama Viga ini. Menemui
Leil dan menengok keadaan Pierre. Eh di tengah jalan malah ketemu Sofia dan
berpapasan dengan Jossie yang pulang mengantar Leil. Semuanya juga ikut
bingung, mungkin psikologi author ada
korelasinya dengan psikologi tokoh. Hmm, daripada semakin ngelantur langsung
saja kalian baca lanjutan dari keping kemarin. Happy reading…
PIERRE
Aku masih terbaring di atas
sofa, tubuhku serasa tak mampu lagi bergerak keluar dan berjalan di bawah dunia
sang matahari. Sofia mengganti perban yang membalut lukaku, darah masih terus
mengucur meskipun sudah berlalu dua hari. Ya, setelah kejadian itu aku hanya
berbaring di sofa rumah Sofia. Entah mengapa aku merasa aman dan nyaman saat
berada di sini.
Sofia adalah vampir berdarah
murni tapi ia mau menampung makhluk tak jelas sepertiku di rumahnya. Ia juga
hidup soliter, berbeda dengan trueblood
lainnya yang hidup dalam kelompok bernama persaudaraan trueblood. Dalam hierarki kehidupan vampir, merekalah golongan yang
berada di puncak kekuasaan. Tapi karena suatu alasan yang selalu Sofia tutupi
dariku, ia memilih untuk keluar dari puncak piramida tersebut. Ia hidup sendiri
menghuni rumah ini setelah suami dan tiga anaknya mati dibantai werewolf.
“Maaf merepotkanmu. Aku
akan pergi besok.”
“Bodoh. Kau pikir aku tidak
tahu. Untuk bergerak saja kau masih kepayahan. Tetaplah di sini sampai aku
bersihkan racun dari anak panah pemburu vampir itu. Jika tidak semuanya keluar,
kau akan mati.”
“Tapi dia juga masih dalam
bahaya.”
“Dia…
gadis itu? Kau pikir ayahnya yang pemburu itu tidak bisa melindunginya?
Sudahlah, lagipula dengan keadaanmu sekarang, kau bisa melindunginya? Sebagai
apa? Vampir? Ayahnya akan membunuhmu lebih dahulu saat tahu kau vampir,” ejek
Sofia.
“Aku
akan melindunginya sebagai seorang pria.”
Sofia
diam mendengarnya lalu mendadak terbahak sambil mengetuk keningku. Ya, Sofia
benar, aku menjadi vampir semenjak serangan terakhir. Tubuh werewolf-ku
kepayahan menanggung luka yang begitu berat hingga darah keduaku mendominasi.
Kupikir aku harus menemui kakek tukang sandiwara itu. Ia mengetahui tentang
tiga darah yang mengalir dalam tubuhku jadi mungkin ia mengetahui asal-usulku.
“Pria
bodoh,” celetuk Sofia. Dia menepuk dadaku, refleks tubuh ringkihku terbatuk
hingga darah mengalir melewati ujung bibir. Sofia menyeka darah itu dengan ibu
jarinya kemudian menyesapnya. Ia terlihat begitu menikmatinya.
“Darahmu
saling berperang jadi rasanya sedikit aneh,” celetuknya.
“Mengapa
aku harus memiliki tiga darah? Darimana asal tiga darah ini?” Sofia memalingkan
wajah dariku dan seolah berusaha menghindar. Tapi tanganku cepat menahannya.
“Itu
karena kau istimewa.”
“Darah
mana yang paling kau suka?”
“Pertanyaan
apa itu? Sangat tidak penting. Kau tak bisa menolak tiga darah itu tapi kau
bisa memilih satu yang terkuat untuk jadi dominannya dirimu. Semakin lama kau
mengunci kemampuanmu, sakit yang kau rasakan akan bertambah. Jadi lepaskan
saja.”
“Semakin
sering aku melepasnya, maka kesempatanku hidup normal akan semakin kecil. Aku
tak mau itu terjadi karena aku memilih menjadi manusia.”
“Astaga,
kau memang bodoh. Berkali-kali kubilang bahwa menjadi manusia itu pilihan yang
paling tidak menguntungkan. Jika kau jadi manusia, kau hanya akan jadi
makananku. Cobalah pilihan lain.”
“Sofia
kau pasti tahu asal-usulku bukan? Tolong katakan semuanya padaku? Mengapa tiga
darah berbeda ini mengalir dalam tubuhku? Mengapa aku tidak hidup dengan satu
identitas dominan saja?” Sofia memalingkan wajahnya dariku. Ia menutupiku
dengan selimut.
“Jangan
konyol. Diam di sini sampai kau benar-benar sembuh, bodoh.” Saat wajahku keluar
dari balik selimut, dia sudah menghilang. Apa jawabannya begitu rahasia hingga
dia tak mau mengatakannya? Atau apakah aku terlalu hina untuk tahu jawabannya?
LEIL
“Leil,
awas keranjang mawarnya!” teriak June.
Tapi
terlambat, keranjang itu menggelinding tertabrak langkahku yang tengah memeluk
keranjang krisan. Kulempar keranjang krisan hingga isinya menghambur
kemana-mana sementara keranjang mawar yang menggelinding berhenti di depan
pintu dengan beberapa kelopak mawar yang tergerus. Keduanya berantakan, kakiku
seolah tak punya tenaga untuk menopang kecerobohan ini. Aku bersimpuh di tengah
hamburan krisan dan mawar merah. Memandangi keduanya berantakan. June datang,
aku siap dengan omelannya yang hanya kubiarkan. Pikiranku terlalu sibuk untuk
mendengarkan June. Pikiranku melayang pada hal lain.
“Maafkan
aku June. Aku hanya bisa membuat kekacauan.”
“Apa
yang kau bicarakan. Semakin lama kau diam di situ, kau semakin aneh saja. Sudah
bereskan saja semua kekacauan yang kau buat.”
“Apa
tidak ada hal berguna yang bisa kulakukan? Apa aku hanya bisa menangis saat
kekacauan terjadi? Mengapa aku hanya bisa berbuat kekacauan?” tiba-tiba air
mata mengalir dengan sendirinya. Sedangkan tanganku tak berniat menghapusnya.
“Leil,”
June memelukku erat dan tangis ini semakin menjadi. Aku tak tahu harus
bercerita pada siapa tentang kegilaan ini. Tak akan ada yang mau mendengarku,
mereka akan menganggapku gila. June memberiku jeda waktu untuk menenangkan diri
di gazebo belakang. Aku duduk sambil membuang duri tiap mawar yang baru saja
June panen.
Langit
yang tadinya biru kini perlahan terkena invasi abu-abu. Mendung menggantung
terlihat tebal dan cukup meyakinkan bahwa sore ini akan hujan lebat. Angin bertiup
membawa wangi mawar dan semerbak bunga lainnya dari taman. Kuletakan gunting
dan diam menikmati pikiranku sendiri yang terbang melayang-layang. Kuhirup
wangi mawar yang masih kupegang hingga seekor kupu-kupu biru melintas. Apa
vampir wanita itu datang lagi ataukah hanya kupu-kupu biasa? Petir yang
tiba-tiba menyambar membuatku berjingkat dan nyeri di jari telunjukku. Duri
mawar menancap di sana dan saat kulepaskan, sebulir cairan merah keluar dan
perlahan semakin tumpah. Hanya bisa kupandangi darah itu, sialnya hal itu malah
membuatku kembali memikirkan Pierre. Tubuhnya begitu dingin dan wajahnya yang
pucat, kecepatannya, seolah dia adalah vampir. Jika dia memang vampir, dia
pasti meminum darah manusia ‘kan? Apa rasa darahku? Apa darahku bisa
memuaskannya?
Perlahan
telunjukku semakin dekat dengan bibir. Aku justru semakin penasaran dengan rasa
darahku. Aku penasaran apakah Pierre akan menginginkan darahku? Apa benar dia
vampir? Sebuah tangan yang terasa sangat dingin menghentikan laju telunjukku.
Dia menahanku dan kulihat kemudian adalah Sofia.
“Jangan
paksakan dirimu melakukannya. Biar aku saja yang menjawab semua rasa
penasaranmu,” katanya sambil memasukkan telunjukku ke dalam mulutnya. Aku
sedikit tersentak ketika ia menarik darahku lebih banyak dari yang muncul di
permukaan. Tapi aku tak bisa menghentikannya, bibirku kaku hingga akhirnya dia
berhenti dengan sendirinya. Sofia menutup luka di telunjukku dengan plester.
“Terima
kasih,” kataku. Tentu saja kutujukan pada plesternya bukan karena ia telah
menyesap darahku. Ia duduk di sampingku sambil memainkan setangkai mawar.
“Kau
terlalu banyak memikirkan bocah bodoh itu hingga kau juga berlaku bodoh,”
katanya ketus.
“Siapa
bocah yang kau maksud?”
“Kau
juga bodoh. Ya, kau yang kedua. Pierre ada bersamaku, dia adalah yang paling
bodoh yang pernah kutemui.” Jawabannya hanya kutanggapi dengan anggukan kepala.
“Apa
kau tidak bisa bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa? Kau melamun, mengacau
dan tiba-tiba menangis. Itu mencurigakan, orang lain akan bertanya-tanya
tentang semua itu. Ketika kau menjawabnya, mereka akan menganggapmu gila.” Ya,
dia mengatakan tepat apa yang terjadi padaku. Dia bahkan mengatakan keanehan
dan kekacauanku hari ini secara detail. Apa dia mengawasiku seharian ini?
“Aku
tidak bisa berpura-pura. Apa Pierre baik-baik saja?”
“Hmm,
sepertinya aku juga harus menghapus ingatanmu. Jika kau tetap saja bertingkah
bodoh seperti ini,” sahut Sofia enteng.
“Kalau
begitu lakukankah. Hapus juga memoriku, biarkan aku kembali kosong. Semua orang
mengaggapku gila saat aku menceritakan hal ini. Mereka tak percaya dengan
ceritaku.”
“Bukankah
aku pernah melakukannya sekali?”
“Tidak
ada salahnya jika kau melakukannya lagi.”
“Sayang
sekali, karena aku tak mau melakukannya. Ya, aku pernah menghapus ingatanmu
tapi kau bahkan tak melupakan kami. Aku benci untuk mengulangi hal yang
sia-sia, hanya membuang waktu saja.”
“Malangnya
diriku.”
“Kau
menyukai Pierre ‘kan? Awalnya memang kau hanya penasaran dengannya, tapi
setelah kau tahu bahwa Pierre bukan manusia kau bahkan semakin menginginkannya.
Kau tak menghindarinya meskipun seharusnya begitu. Kau bisa saja menghindarinya
dan memilih pria flamboyan yang biasa mengejarmu.”
“Apa
begitu jelas?”
“Hmm,
itulah yang kurasakan dari darahmu. Begitu rumit, rasa penasaranmu dan rasa
takutmu saling memberontak. Pasti pilihan yang sulit,”
“Ya,
aku tak menyangka akan sesulit ini.”
“Mengapa
kau memilih Pierre?”
“Kau
tak bisa merasakannya dari darahku?”
“Aku
hanya mencicipimu jadi mana mungkin aku bisa tahu sepenuhnya tentang apa yang
kau pikirkan.” Kusibak helaian rambutku ke sisi kiri sehingga leherku sebelah
kanan tersingkap. Sofia hanya menatapku tajam. Entah karena dia menginginkanku
atau karena terkejut aku bisa senekat ini.
“Kalau
begitu, minumlah lebih banyak,” kataku. Dia malah memalingkan wajah.
“Kalian
sama-sama bodoh.”
Kami
saling diam. Tak ada kalimat yang keluar, menikmati pikiran masing-masing.
Kupandangi tetes gerimis yang menerpa kelopak-kelopak mawar. Aroma mawar juga
sesekali melintas ketika angin membawanya mendekat pada hidungku. Langit masih
tetap gelap. Aku tetap diam. Dalam hati bertanya mengapa June bahkan tidak
tertarik untuk melongok keadaanku. Sofia juga diam, dia sama sekali tak
mengarahkan pandangannya padaku. Seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu yang
rumit. Apa masalah yang begitu rumit untuk seorang vampir?
“Pierre
memiliki tiga darah berbeda. Jadi ketika kau bertanya siapa Pierre sebenarnya,
aku tak tahu jawaban mana yang tepat. Dia bisa saja seorang manusia, werewolf
ataupun vampir. Kurasa kau sudah melihat semua perubahannya, bukan?” ujar Sofia
memecah keheningan.
“Apa
itu mungkin?”
“Hmm,
memang sangat langka tapi itulah yang terjadi. Karena tiga darahnya, ia menjadi
buruan vampir juga werewolf. Tapi manusia juga memburunya.”
“Mengapa?”
“Persekutuan Trueblood menganggap Pierre sebagai keajaiban dan juga ancaman. Tiga darah dalam satu tubuh menjadikannya tak terkalahkan jika dia memanfaatkannya dengan baik. Ketika dia memilih untuk bergabung dengan salah satu kelompok, maka dia akan menjadi senjata andalan yang tak terhentikan.”
“Persekutuan Trueblood menganggap Pierre sebagai keajaiban dan juga ancaman. Tiga darah dalam satu tubuh menjadikannya tak terkalahkan jika dia memanfaatkannya dengan baik. Ketika dia memilih untuk bergabung dengan salah satu kelompok, maka dia akan menjadi senjata andalan yang tak terhentikan.”
“Kau
adalah vampir, apa kau akan membawanya pada klanmu?”
“Aku
tak ambil bagian dalam politik. Aku hidup sendiri, karena itulah aku selalu
menampungnya. Dia tak tahu harus pulang kemana, ia kebingungan akan tempatnya.
Aku keluar dari persekutuan karena aku kasihan padanya. Ia masih begitu muda
ketika tahu ada tiga darah dalam tubuhnya. Ia masih sangat muda ketika seluruh
klan memburunya.”
“Jika
dia sendiri sudah sibuk dengan para pemburunya, mengapa masih sempat
menolongku?”
“Karena
itulah kubilang dia itu pria bodoh.”
“Ya,
aku tak cukup pantas untuk dipertahankan seperti itu.”
“Kau
cukup pantas untuk diperjuangkan.”
“Maksudmu?”
“Ah,
melelahkan bicara dengan orang bodoh.” Sofia menghilang dari pandangan. Ia
memudar begitu saja bagai asap yang terburai saat angin menghempasnya. Mengapa
dia tak pernah mengatakan segala sesuatunya dengan tuntas?
“Leil?”
aku berbalik ke arah sumber suara. Jossie mendekat hingga akhirnya duduk di
sampingku. Berapa lama kami tak jumpa?
“Hey
Josh, lama tak jumpa.” Ia hanya melayangkan senyum indahnya.
Jossie
mengantarku pulang. June memberiku cuti untuk esok hari bukan karena dia
prihatin dengan keadaanku yang lebih banyak melamun dan membuat kekacauan di
hari ini. Tapi karena undangan Jossie. Ya, sekali lagi Jossie mengundangku. Kali
ini bukan untuk tampil di acara publik mengingat kejadian tak menyenangkan yang
pernah terjadi. Ketika Leil si gadis biasa ini tiba-tiba menjadi Cinderella dan
diburu media dan pecinta Joshua Franklin. Jossie mengundangku dan ayah untuk
makan malam bersama di mansion keluarga Franklin. Makan malam ini sengaja
Jossie adakan untuk menyambut kepulangan Nyonya Franklin dari pembukaan kantor
cabang di Tersa. Ya pembukaan kantor cabang di Tersa bertepatan dengan hari
ulang tahun Nyonya Franklin. Jika biasanya Jossie yang akan hadir untuk
melakukan peresmian kantor cabang baru, kali ini ia mewakilkan pada ibunya agar
dia sendiri bisa merangkai pesta kejutan ini di rumah. Tapi jossie tak
mengundang banyak orang, hanya aku dan ayah saja.
Aku
masih meringkuk di kursi teras rumah ditemani secangkir kopi yang mulai dingin.
Ya, sudah lama aku diam di sini. Menikmati malam yang mulai sepi dan ayah juga
belum kembali dari pekerjaannya. Tidak seperti malam sebelumnya, kali ini aku
merasa benar-benar sendiri.
Diam,
hening, tenang. Tak ada yang mengintai di balik semak. Tak ada yang akan datang
tiba-tiba untuk menculikku. Tak ada yang datang untuk mengacaukan lagi rumahku.
Tak ada yang akan datang untuk kembali membelah televisiku. Tak akan ada yang
datang, bukan?
(Bersambung…)
Tidak ada komentar