[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 26

[no ilustration to display]
karena author lagi frustasi
gegara ngurus revisi.
harap dimaklumi :)
Haloo, saya kangen. Di antara banyak paper employee engagement dan paper social anthropology, saya melarikan diri ke kota kecil bernama Viga ini. Menemui Leil dan menengok keadaan Pierre. Eh di tengah jalan malah ketemu Sofia dan berpapasan dengan Jossie yang pulang mengantar Leil. Semuanya juga ikut bingung, mungkin psikologi author ada korelasinya dengan psikologi tokoh. Hmm, daripada semakin ngelantur langsung saja kalian baca lanjutan dari keping kemarin. Happy reading

PIERRE

Aku masih terbaring di atas sofa, tubuhku serasa tak mampu lagi bergerak keluar dan berjalan di bawah dunia sang matahari. Sofia mengganti perban yang membalut lukaku, darah masih terus mengucur meskipun sudah berlalu dua hari. Ya, setelah kejadian itu aku hanya berbaring di sofa rumah Sofia. Entah mengapa aku merasa aman dan nyaman saat berada di sini.
Sofia adalah vampir berdarah murni tapi ia mau menampung makhluk tak jelas sepertiku di rumahnya. Ia juga hidup soliter, berbeda dengan trueblood lainnya yang hidup dalam kelompok bernama persaudaraan trueblood. Dalam hierarki kehidupan vampir, merekalah golongan yang berada di puncak kekuasaan. Tapi karena suatu alasan yang selalu Sofia tutupi dariku, ia memilih untuk keluar dari puncak piramida tersebut. Ia hidup sendiri menghuni rumah ini setelah suami dan tiga anaknya mati dibantai werewolf.
“Maaf merepotkanmu. Aku akan pergi besok.”
“Bodoh. Kau pikir aku tidak tahu. Untuk bergerak saja kau masih kepayahan. Tetaplah di sini sampai aku bersihkan racun dari anak panah pemburu vampir itu. Jika tidak semuanya keluar, kau akan mati.”
“Tapi dia juga masih dalam bahaya.”
“Dia… gadis itu? Kau pikir ayahnya yang pemburu itu tidak bisa melindunginya? Sudahlah, lagipula dengan keadaanmu sekarang, kau bisa melindunginya? Sebagai apa? Vampir? Ayahnya akan membunuhmu lebih dahulu saat tahu kau vampir,” ejek Sofia.
“Aku akan melindunginya sebagai seorang pria.”
Sofia diam mendengarnya lalu mendadak terbahak sambil mengetuk keningku. Ya, Sofia benar, aku menjadi vampir semenjak serangan terakhir. Tubuh werewolf-ku kepayahan menanggung luka yang begitu berat hingga darah keduaku mendominasi. Kupikir aku harus menemui kakek tukang sandiwara itu. Ia mengetahui tentang tiga darah yang mengalir dalam tubuhku jadi mungkin ia mengetahui asal-usulku.
“Pria bodoh,” celetuk Sofia. Dia menepuk dadaku, refleks tubuh ringkihku terbatuk hingga darah mengalir melewati ujung bibir. Sofia menyeka darah itu dengan ibu jarinya kemudian menyesapnya. Ia terlihat begitu menikmatinya.
“Darahmu saling berperang jadi rasanya sedikit aneh,” celetuknya.
“Mengapa aku harus memiliki tiga darah? Darimana asal tiga darah ini?” Sofia memalingkan wajah dariku dan seolah berusaha menghindar. Tapi tanganku cepat menahannya.
“Itu karena kau istimewa.”
“Darah mana yang paling kau suka?”
“Pertanyaan apa itu? Sangat tidak penting. Kau tak bisa menolak tiga darah itu tapi kau bisa memilih satu yang terkuat untuk jadi dominannya dirimu. Semakin lama kau mengunci kemampuanmu, sakit yang kau rasakan akan bertambah. Jadi lepaskan saja.”
“Semakin sering aku melepasnya, maka kesempatanku hidup normal akan semakin kecil. Aku tak mau itu terjadi karena aku memilih menjadi manusia.”
“Astaga, kau memang bodoh. Berkali-kali kubilang bahwa menjadi manusia itu pilihan yang paling tidak menguntungkan. Jika kau jadi manusia, kau hanya akan jadi makananku. Cobalah pilihan lain.”
“Sofia kau pasti tahu asal-usulku bukan? Tolong katakan semuanya padaku? Mengapa tiga darah berbeda ini mengalir dalam tubuhku? Mengapa aku tidak hidup dengan satu identitas dominan saja?” Sofia memalingkan wajahnya dariku. Ia menutupiku dengan selimut.
“Jangan konyol. Diam di sini sampai kau benar-benar sembuh, bodoh.” Saat wajahku keluar dari balik selimut, dia sudah menghilang. Apa jawabannya begitu rahasia hingga dia tak mau mengatakannya? Atau apakah aku terlalu hina untuk tahu jawabannya?

LEIL
“Leil, awas keranjang mawarnya!” teriak June.
Tapi terlambat, keranjang itu menggelinding tertabrak langkahku yang tengah memeluk keranjang krisan. Kulempar keranjang krisan hingga isinya menghambur kemana-mana sementara keranjang mawar yang menggelinding berhenti di depan pintu dengan beberapa kelopak mawar yang tergerus. Keduanya berantakan, kakiku seolah tak punya tenaga untuk menopang kecerobohan ini. Aku bersimpuh di tengah hamburan krisan dan mawar merah. Memandangi keduanya berantakan. June datang, aku siap dengan omelannya yang hanya kubiarkan. Pikiranku terlalu sibuk untuk mendengarkan June. Pikiranku melayang pada hal lain.
“Maafkan aku June. Aku hanya bisa membuat kekacauan.”
“Apa yang kau bicarakan. Semakin lama kau diam di situ, kau semakin aneh saja. Sudah bereskan saja semua kekacauan yang kau buat.”
“Apa tidak ada hal berguna yang bisa kulakukan? Apa aku hanya bisa menangis saat kekacauan terjadi? Mengapa aku hanya bisa berbuat kekacauan?” tiba-tiba air mata mengalir dengan sendirinya. Sedangkan tanganku tak berniat menghapusnya.
“Leil,” June memelukku erat dan tangis ini semakin menjadi. Aku tak tahu harus bercerita pada siapa tentang kegilaan ini. Tak akan ada yang mau mendengarku, mereka akan menganggapku gila. June memberiku jeda waktu untuk menenangkan diri di gazebo belakang. Aku duduk sambil membuang duri tiap mawar yang baru saja June panen.
Langit yang tadinya biru kini perlahan terkena invasi abu-abu. Mendung menggantung terlihat tebal dan cukup meyakinkan bahwa sore ini akan hujan lebat. Angin bertiup membawa wangi mawar dan semerbak bunga lainnya dari taman. Kuletakan gunting dan diam menikmati pikiranku sendiri yang terbang melayang-layang. Kuhirup wangi mawar yang masih kupegang hingga seekor kupu-kupu biru melintas. Apa vampir wanita itu datang lagi ataukah hanya kupu-kupu biasa? Petir yang tiba-tiba menyambar membuatku berjingkat dan nyeri di jari telunjukku. Duri mawar menancap di sana dan saat kulepaskan, sebulir cairan merah keluar dan perlahan semakin tumpah. Hanya bisa kupandangi darah itu, sialnya hal itu malah membuatku kembali memikirkan Pierre. Tubuhnya begitu dingin dan wajahnya yang pucat, kecepatannya, seolah dia adalah vampir. Jika dia memang vampir, dia pasti meminum darah manusia ‘kan? Apa rasa darahku? Apa darahku bisa memuaskannya?
Perlahan telunjukku semakin dekat dengan bibir. Aku justru semakin penasaran dengan rasa darahku. Aku penasaran apakah Pierre akan menginginkan darahku? Apa benar dia vampir? Sebuah tangan yang terasa sangat dingin menghentikan laju telunjukku. Dia menahanku dan kulihat kemudian adalah Sofia.
“Jangan paksakan dirimu melakukannya. Biar aku saja yang menjawab semua rasa penasaranmu,” katanya sambil memasukkan telunjukku ke dalam mulutnya. Aku sedikit tersentak ketika ia menarik darahku lebih banyak dari yang muncul di permukaan. Tapi aku tak bisa menghentikannya, bibirku kaku hingga akhirnya dia berhenti dengan sendirinya. Sofia menutup luka di telunjukku dengan plester.
“Terima kasih,” kataku. Tentu saja kutujukan pada plesternya bukan karena ia telah menyesap darahku. Ia duduk di sampingku sambil memainkan setangkai mawar.
“Kau terlalu banyak memikirkan bocah bodoh itu hingga kau juga berlaku bodoh,” katanya ketus.
“Siapa bocah yang kau maksud?”
“Kau juga bodoh. Ya, kau yang kedua. Pierre ada bersamaku, dia adalah yang paling bodoh yang pernah kutemui.” Jawabannya hanya kutanggapi dengan anggukan kepala.
“Apa kau tidak bisa bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa? Kau melamun, mengacau dan tiba-tiba menangis. Itu mencurigakan, orang lain akan bertanya-tanya tentang semua itu. Ketika kau menjawabnya, mereka akan menganggapmu gila.” Ya, dia mengatakan tepat apa yang terjadi padaku. Dia bahkan mengatakan keanehan dan kekacauanku hari ini secara detail. Apa dia mengawasiku seharian ini?
“Aku tidak bisa berpura-pura. Apa Pierre baik-baik saja?”
“Hmm, sepertinya aku juga harus menghapus ingatanmu. Jika kau tetap saja bertingkah bodoh seperti ini,” sahut Sofia enteng.
“Kalau begitu lakukankah. Hapus juga memoriku, biarkan aku kembali kosong. Semua orang mengaggapku gila saat aku menceritakan hal ini. Mereka tak percaya dengan ceritaku.”
“Bukankah aku pernah melakukannya sekali?”
“Tidak ada salahnya jika kau melakukannya lagi.”
“Sayang sekali, karena aku tak mau melakukannya. Ya, aku pernah menghapus ingatanmu tapi kau bahkan tak melupakan kami. Aku benci untuk mengulangi hal yang sia-sia, hanya membuang waktu saja.”
“Malangnya diriku.”
“Kau menyukai Pierre ‘kan? Awalnya memang kau hanya penasaran dengannya, tapi setelah kau tahu bahwa Pierre bukan manusia kau bahkan semakin menginginkannya. Kau tak menghindarinya meskipun seharusnya begitu. Kau bisa saja menghindarinya dan memilih pria flamboyan yang biasa mengejarmu.”
“Apa begitu jelas?”
“Hmm, itulah yang kurasakan dari darahmu. Begitu rumit, rasa penasaranmu dan rasa takutmu saling memberontak. Pasti pilihan yang sulit,”
“Ya, aku tak menyangka akan sesulit ini.”
“Mengapa kau memilih Pierre?”
“Kau tak bisa merasakannya dari darahku?”
“Aku hanya mencicipimu jadi mana mungkin aku bisa tahu sepenuhnya tentang apa yang kau pikirkan.” Kusibak helaian rambutku ke sisi kiri sehingga leherku sebelah kanan tersingkap. Sofia hanya menatapku tajam. Entah karena dia menginginkanku atau karena terkejut aku bisa senekat ini.
“Kalau begitu, minumlah lebih banyak,” kataku. Dia malah memalingkan wajah.
“Kalian sama-sama bodoh.”
Kami saling diam. Tak ada kalimat yang keluar, menikmati pikiran masing-masing. Kupandangi tetes gerimis yang menerpa kelopak-kelopak mawar. Aroma mawar juga sesekali melintas ketika angin membawanya mendekat pada hidungku. Langit masih tetap gelap. Aku tetap diam. Dalam hati bertanya mengapa June bahkan tidak tertarik untuk melongok keadaanku. Sofia juga diam, dia sama sekali tak mengarahkan pandangannya padaku. Seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu yang rumit. Apa masalah yang begitu rumit untuk seorang vampir?
“Pierre memiliki tiga darah berbeda. Jadi ketika kau bertanya siapa Pierre sebenarnya, aku tak tahu jawaban mana yang tepat. Dia bisa saja seorang manusia, werewolf ataupun vampir. Kurasa kau sudah melihat semua perubahannya, bukan?” ujar Sofia memecah keheningan.
“Apa itu mungkin?”
“Hmm, memang sangat langka tapi itulah yang terjadi. Karena tiga darahnya, ia menjadi buruan vampir juga werewolf. Tapi manusia juga memburunya.”
“Mengapa?”
“Persekutuan Trueblood menganggap Pierre sebagai keajaiban dan juga ancaman. Tiga darah dalam satu tubuh menjadikannya tak terkalahkan jika dia memanfaatkannya dengan baik. Ketika dia memilih untuk bergabung dengan salah satu kelompok, maka dia akan menjadi senjata andalan yang tak terhentikan.”
“Kau adalah vampir, apa kau akan membawanya pada klanmu?”
“Aku tak ambil bagian dalam politik. Aku hidup sendiri, karena itulah aku selalu menampungnya. Dia tak tahu harus pulang kemana, ia kebingungan akan tempatnya. Aku keluar dari persekutuan karena aku kasihan padanya. Ia masih begitu muda ketika tahu ada tiga darah dalam tubuhnya. Ia masih sangat muda ketika seluruh klan memburunya.”
“Jika dia sendiri sudah sibuk dengan para pemburunya, mengapa masih sempat menolongku?”
“Karena itulah kubilang dia itu pria bodoh.”
“Ya, aku tak cukup pantas untuk dipertahankan seperti itu.”
“Kau cukup pantas untuk diperjuangkan.”
“Maksudmu?”
“Ah, melelahkan bicara dengan orang bodoh.” Sofia menghilang dari pandangan. Ia memudar begitu saja bagai asap yang terburai saat angin menghempasnya. Mengapa dia tak pernah mengatakan segala sesuatunya dengan tuntas?
“Leil?” aku berbalik ke arah sumber suara. Jossie mendekat hingga akhirnya duduk di sampingku. Berapa lama kami tak jumpa?
“Hey Josh, lama tak jumpa.” Ia hanya melayangkan senyum indahnya.
Jossie mengantarku pulang. June memberiku cuti untuk esok hari bukan karena dia prihatin dengan keadaanku yang lebih banyak melamun dan membuat kekacauan di hari ini. Tapi karena undangan Jossie. Ya, sekali lagi Jossie mengundangku. Kali ini bukan untuk tampil di acara publik mengingat kejadian tak menyenangkan yang pernah terjadi. Ketika Leil si gadis biasa ini tiba-tiba menjadi Cinderella dan diburu media dan pecinta Joshua Franklin. Jossie mengundangku dan ayah untuk makan malam bersama di mansion keluarga Franklin. Makan malam ini sengaja Jossie adakan untuk menyambut kepulangan Nyonya Franklin dari pembukaan kantor cabang di Tersa. Ya pembukaan kantor cabang di Tersa bertepatan dengan hari ulang tahun Nyonya Franklin. Jika biasanya Jossie yang akan hadir untuk melakukan peresmian kantor cabang baru, kali ini ia mewakilkan pada ibunya agar dia sendiri bisa merangkai pesta kejutan ini di rumah. Tapi jossie tak mengundang banyak orang, hanya aku dan ayah saja.
Aku masih meringkuk di kursi teras rumah ditemani secangkir kopi yang mulai dingin. Ya, sudah lama aku diam di sini. Menikmati malam yang mulai sepi dan ayah juga belum kembali dari pekerjaannya. Tidak seperti malam sebelumnya, kali ini aku merasa benar-benar sendiri.
Diam, hening, tenang. Tak ada yang mengintai di balik semak. Tak ada yang akan datang tiba-tiba untuk menculikku. Tak ada yang datang untuk mengacaukan lagi rumahku. Tak ada yang akan datang untuk kembali membelah televisiku. Tak akan ada yang datang, bukan?

(Bersambung…)


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.