[CERPEN] Akulah Kutu di Kepala Ayah

Haloo, ada salah satu cerpen yang udah pernah ngikut lomba dan masuk kategori 20 cerpen pilihan. Meski belum juara, setidaknya ikut dibukukan. Silahkan dibaca, di-postkan karena dibuang sayang. Kalo ada yang kepo mungkin, silahkan cari saja di toko buku. Judul bukunya Antologi Cerpen Pukul Enam. Selamat membaca…
***
Aku masih menguap sambil mengaduk dua cangkir di hadapanku. Jam dinding menunjukkan jam enam pagi. Hari masih terlalu pagi untuk seseorang yang baru terlelap jam empat pagi. Langsung kutuang isi salah satu cangkir ke wastafel. Larutan kecokelatan menyebar segera menuju lubang pembuangan. Aroma wangi melati dan uap harum seduhan daun teh menyeruak. Tapi sayang, aku tak membutuhkannya. Aku kembali menyeduh dalam cangkir kosong itu, kini berganti larutan hitam pekat yang aromanya tak kalah menggiurkan.
Kuletakkan cangkir teh beserta pocinya dalam nampan hitam. Kutambahkan juga sepiring biskuit sebagai teman. Aku sudah mengangkatnya tapi kemudian mengurungkan niatku untuk menemui orang itu. Aku malah membasuh wajahku dan berdiri di depan kaca dekat dapur. Memandangi wajahku yang berantakan juga lingkaran hitam bagai gerhana di mataku. Rambut gondrongku yang masih awut-awutan dan juga jenggot yang mulai tumbuh liar. Aku justru tertawa sinis, hingga pada akhirnya mengumpat.
“Sialan pria itu, untuk apa seorang laki-laki berada di dapur sepagi ini?” Kuikat rambut panjang sebahuku dengan karet gelang seadanya. Sudah saatnya untuk mengucap selamat pagi.
Ketukanku mendarat di sebuah pintu berukir dari kayu jati. Aku yakin gemanya sudah menyebar ke seluruh ruang di dalamnya. Tanpa menunggu lama, aku langsung masuk karena aku tahu ruangannya tak pernah terkunci. Ya, aku yang mencopot kuncinya. Pria itu sudah berada di depan papan tulis hitam besar yang terpasang tepat di depan ranjangnya. Tangannya memutih karena kapur yang sudah diajaknya berhitung pagi ini. Hanya kuletakkan nampanku di sebuah meja yang menghadap ke jendela. Di meja itulah akhirnya dia akan duduk dan menikmati tehnya. Kubuka jendela yang terhalangi tirai biru laut. Udara pagi yang masih segar segera berhembus masuk dalam ruangan
“Selamat pagi ayah,” sapaku. Dia sama sekali tak merespon sapaanku. Tapi memang begitulah dia. Hanya ucapkan selamat pagi, buka jendelanya, berikan tehnya dan aku akan dengan senang hati pergi dari ruangannya.
Musik metal keras menyapaku di studio buatanku. Hanya di sinilah aku merasa tenang dan aman. Aku tak perlu khawatir akan mengganggu ayah karena ruangan ini memang dibuat kedap suara. Ruangan spesial yang dibuat ayah untukku berlatih biola. Sekarang ruangan ini tak lebih dari apa yang disebutnya sebagai tempat sampah. Seluruh dinding kacanya kututup dengan lembaran kain hitam. Di lantainya berserakan bermacam media juga kanvas kosong yang masih menunggu untuk tersentuh. Beberapa lukisan yang kubuat berserakan begitu saja di pinggiran dinding.
Sofa panjang yang kugunakan sebagai kasur seolah menawarkan diri untuk mengantarkanku terlelap lagi. Tapi pesona aroma kopi tak bisa kutolak. Aku duduk sambil memandangi lukisan wajah ibu yang masih setengah jadi. Kuhirup aroma kopi, mencoba nikmati tiap detik waktu yang mencair bersamanya. Andai ibu bisa melihatku saat ini, akankah dia kecewa seperti ayah?
Sebenarnya aku takut akan hari ini. Hari yang setiap tahunnya selalu kuhindari. Kuharap akhirnya akan berbeda untuk tahun ini.
***
Seharian ini aku tetap berada di rumah. Melukis, tidur, membersihkan rumah dan terus berharap bahwa ayah telah melupakan kekecewaannya. Gelap mulai merambah langit ketika aku menutup tirainya. Aku bangun terlambat dari yang diperingatkan jam beker cerewetku. Seperti pagi ini, kubawa sebuah nampan berisi teh dan pocinya juga sepiring biskuit. Ayah selalu menikmatinya sebelum tidur. Apalagi teh chamomile. Kali ini aku tak perlu mengetuk, langsung saja aku masuk dan menemukannya telah bersiap di meja teh nya.
“Ular dan merak tak akan pernah hidup di sarang yang sama. Sekeras apapun usaha si ular, dia tak akan bisa menyerupai merak. Ular tetap saja ular.”
“Aku putera ayah. Karena itulah aku masih di sini dan bersabar menghadapimu. Jangan tidur terlalu larut,” kataku. Setelah kuletakan nampan teh, aku segera menuju jendela kamarnya yang masih terbuka lebar dan membuat semilir angin melintas liar.
“Biarkan aku melakukannya sendiri,” sanggahnya. Aku tahu betapa keras kepala pria itu. Tapi apa salahnya jika aku hanya diam dan menemaninya. Kubiarkan jendela kamarnya masih tetap terbuka sementara aku seperti tak punya alasan lagi untuk berada di sini. Ayah menyodorkan sebuah brosur seleksi fakultas kedokteran padaku.
“Ikuti ujian itu dan buat dirimu jadi lebih berguna daripada hanya menyajikan teh dan menjadi kutu. Berhentilah membuat hal-hal sampah, kutu!”
“Ini tahun ketiga setelah hari kematian ibu juga kegagalanku dalam seleksi fakultas kedokteran dan ayah masih saja memaksaku untuk melakukan apa yang ayah mau. Bahkan selama tiga tahun ini aku sudah melakukan segalanya sebagai kata maaf. Aku bangun setiap pagi dan berakhir di dapur, menyiapkan teh, makanan dan semua kebutuhanmu. Aku yang mengelap tiap debu di rumah ini karena aku tahu kau membencinya. Aku bahkan tetap bersabar dengan apapun yang kauucapkan. Aku tak peduli makianmu, meski kau bilang aku kutu.”
“Karena kau memang kutu.”
“Jika aku berhasil dalam tes itu? Kau akan puas dan berhenti memanggilku kutu?”
“Aku sudah memperhitungkan kemungkinanmu jika mengambil tes itu tahun ini. Kau berpeluang besar untuk masuk dan menjadi dokter. Semua kepintaranmu akan berguna dan itu akan mengakhiri peperangan kita yang bodoh ini.”
Ayah masih terus berbicara tentang teorinya dan kulihat semua perhitungannya di papan tulis. Ia benar-benar detail dan hati-hati. Ia terus saja menghitung peluang keberhasilanku dari berbagai faktor. Tapi bukan itu yang ingin aku tahu.
“Apa yang akan terjadi? Aku akan membuat ayah bangga? Ayah akan berhenti memanggilku kutu? Aku kembali jadi anak kesayanganmu? Tapi apa yang akan terjadi pada semua hal yang selama tiga tahun ini kukerjakan? Haruskah aku meninggalkan semuanya tanpa akhir?” kataku pelan.
“Tak ada hal berguna yang kau lakukan tiga tahun ini kecuali memungut sampah dan mengotori kamarmu. Setidaknya buat aku bangga dengan menjadi anak yang berguna.”
“Apa ayah pernah menghitung berapa kali ayah melakukan ini padaku? Membujukku untuk mengerjakan soal-soal hitungan itu lagi. Kukira waktu tiga tahun cukup bagi ayah untuk menghilangkan ambisi menjadikanku dokter. Ternyata ayah masih saja sama!” kataku dengan nada yang semakin meninggi.
Entah mengapa aku semakin muak menghadapinya. Ambisinya membuatku geram dan ingin sekali aku mencengkeram tubuh rentanya dan katakan bahwa aku tak ingin menjalani tes seleksi apapun karena aku telah menemukan kehidupanku sendiri saat ini.
“Dasar kutu!”
Ayah bangkit dari kursinya dan menghempas apapun yang ada di mejanya. Air teh membasahi lantai, poci dan cangkir remuk menjadi pecahan kecil juga biskuit yang menjadi remahan karena terinjak. Rasa panas juga perih membekas di pipi kiriku. Ayah masih mengangkat tangan kanannya yang baru saja menghajarku. Ia menatapku tajam seolah ini semua adalah kesalahanku. Kesalahan seekor kutu yang dengan lancang berani memberontak.
“Tapi kali ini aku tak akan meminta maaf, ayah. Selamat malam.”
Aku kembali ke dalam studioku, tenggelam dalam alunan musik yang mulai memekakan telinga. Gambaran wajah ayah dan ibu yang terlukis seolah tengah menghakimiku saat ini. Mereka terus saja memandang ke arahku. Ibu juga ayah. Segala tentang ayah adalah tentang seraut wajah lelah penuh guratan masa. Betapa waktu terbukti telah melewatinya. Bukan hanya melewatinya, tapi juga menggerusnya. Mungkin waktu bisa membuatnya renta. Juga waktu bisa mengubah seorang pria perkasa menjadi kakek keriput yang pemarah. Tapi waktu tak bisa menggerus kekecewaannya.
Ia masih saja kecewa pada dirinya sendiri akan kematian ibu. Kecelakaan mobil tiga tahun lalu telah merenggut ibu dari kami. Ayah menyalahkan dirinya sendiri dengan alasan terlambat menghindari mobil di depannya. Ia terus menerus menghitung peluang ibu selamat jika ia tepat waktu dalam melambatkan mobilnya. Ia juga memasukkanku sebagai faktor yang memperbesar selamatnya ibu. Sebuah angan yang besar dan kini menjadi ambisinya. Menjadikanku seorang dokter.
Tapi aku tak pernah bisa memenuhi keinginannya. Aku malah terdampar di jurusan seni rupa murni dan menentangnya. Bukan sepenuhnya menghindar, aku pernah mengikuti seleksi fakultas kedokteran dan gagal. Sebuah kegagalan konyol, karena aku bukan tak bisa mengerjakan tesnya. Tapi aku pingsan di tengah tes setelah semalaman ayah memanduku untuk terus belajar. Sejak saat itulah ayah mulai menarik diri dari semua hal. Ia memecat semua orang yang bekerja di rumah dan hanya berdiam diri untuk terus menghitung dan bertaruh di bursa saham.
Ayah tak sehangat dulu lagi, ia mulai jadi katak dalam tempurung. Ia berlaku seolah dia hanya hidup di kamarnya dan ruang kerjanya. Ia bertaruh lewat puluhan saham yang dibelinya. Ia terus saja menghitung dan bertaruh. Ia mengabaikan keberadaanku, kemudian kami saling mengabaikan. Satu-satunya cara bagiku untuk terhubung dengannya hanya melalui secangkir teh. Begitulah aku meminta perhatiannya, tapi hari ini ayah membuang cangkir itu. Ia benar-benar marah dan mengabaikanku.
Sekarang hanya tersisa kanvas-kanvas kosong ini untuk bercerita. Angin masuk perlahan dan membuat semua tirai hitam ini berkibar. Aku meringkuk di sofa tempat dulu ibu duduk sambil merajut. Kupandangi sebuah lukisan yang sebulan lalu selesai kukerjakan. Sebuah lukisan hitam putih yang menggambarkan siluet seorang pria yang menghadap ke kiri dengan lima kotak cerita di dalamnya yang menceritakan sebuah kenangan. Juga dengan seekor kutu di atas kepalanya.
Pria itu adalah ayah yang selalu berpikir dengar otak kirinya. Kotak pertama menggambarkan bagaimana cinta ayah dan ibu, saat mereka bertemu dan menikah. Lalu saat ibu mengandungku dan betapa ayah sangat menanti kelahiran putra pertamanya. Cerita bergeser saat aku masih dalam buaian, ketika ayah dengan setia menemani ibu menimangku. Kemudian saat aku menjadi bocah laki-laki kesayangan ayah, saat itu ayah mengajariku segalanya. Kami bermain bersama dan saat itulah ayah menjadi idolaku. Aku bahkan pernah bercita-cita untuk menjadi seperti ayah. Kotak selanjutnya menceritakan kehilangan kami, kehilangan keluarga ini. Ketika aku remaja, ibu meninggal. Yang terakhir, ayah hidup dengan dunianya sendiri dan aku menjadi kutu di kepalanya.
Aku merindukan ayah yang dulu, aku merindukan kehangatan yang dulu. Hal yang hanya akan terjadi dalam mimpiku saja. Segera kuambil sebuah botol obat kecil dari tasku. Dengan penenang inilah aku bertahan menghadapi ayah selama tiga tahun. Karena aku hanya meminumnya kemudian tertidur bersama mimpi indahku. Semuanya kembali menjadi samar, musik masih menghentak, tirai masih bergolak, dinginnya udara malam juga menyeruak. Aku bersiap untuk bermimpi, ibu. Kemudian kurasakan hangat meliputi tubuhku. Dengan sisa ruang terbuka dari mataku, kulihat pria renta itu berkeliaran di studioku. Dengan sisa kepekaan indera, kurasakan dia membelai kepalaku dengan lembut. Dengan sisa pendengaran yang masih terjaga, aku mendengarnya menangis di hadapanku. Apa aku mulai bermimpi, ibu?
Pagi menyapaku lewat pancaran sinar matahari yang menyeruak melalui jendela. Aku terbangun dan langsung bergegas bangkit menuju dapur. Tapi langkahku terhenti di depan pintu kamar. Ini bukan di rumah. Ini sudah dua hari aku keluar rumah dan pergi jauh dari ayah.
“Toma, kau sudah bangun? Acaranya akan segera dimulai. Ayo cepat sarapan. Aku menunggumu di bawah,” seruan itu muncul dari balik pintu. Saat kubuka, Donald temanku sudah berada di depan pintu kamarku.
“Syukurlah kau sudah bangun. Ayo cepat,” katanya.
Kini aku berada di meja makan, menikmati sarapan pagi yang mewah ala hotel berbintang dan juga secangkir kopi. Puluhan pelayan mengenakan iket juga kain papan catur berseliweran di sekitarku.
“Hasilnya akan segera diumumkan. Aku sudah tidak sabar ingin membuktikan ke orang tuaku bahwa aku memang berbakat. Apa ayahmu akan hadir?”
“Entahlah. Aku sudah menyelipkan undangan dan tiketnya di bawah cangkir tehnya. Tapi aku tak begitu berharap dia akan datang. Dia tidak akan tertarik.”
“Itu karena kau melarikan diri. Coba kalau kau bercerita dengan cara yang lebih baik. Pasti dia akan datang dan bangga karena lukisanmu menjadi finalis sepuluh karya terbaik tahun ini.”
“Dia tak akan mendengarkanku.”
Di jam yang telah ditentukan, pameran pun dibuka. Banyak karya pelukis terkenal yang terpajang. Karyaku dan beberapa finalis lain juga dipajang. Karya yang kubawa adalah si pria otak kiri dan kutunya. Riuh menggema ketika pengumuman tiga karya terbaik kategori mahasiswa mulai diumumkan. Tapi apa artinya tanpa kedatangan pria itu. Aku hanya tersindir dengan kehangatan keluarga lain. Aku menuju pintu keluar ketika foto lukisanku tiba-tiba terpampang di layar berukuran dua kali tiga meter. Seluruh perhatian hadirin langsung tertuju pada layar yang bertuliskan juara satu. Kemudian tepuk tangan riuh menggema memenuhi ruang pameran. Juga mereka yang kini sedang berada tepat di depan lukisanku, mereka segera menarikku dari pintu dan memberiku ucapan selamat.
“Ini dia karya terbaik untuk tahun ini dalam kategori mahasiswa. Karya Toma Dwipa,” seru pembawa acara. Lampu sorot segera menangkapku dalam lingkarannya dan mempersilahkanku naik panggung. Di sana aku sedikit gugup disambut rentetan pertanyaan.
“Apa kabar Toma? Bagaimana rasanya menjadi yang terbaik di tahun kompetisi ini?”
“Aku tak menyangka. Kalau aku tahu akan naik panggung, mungkin aku akan bersiap dengan menyisir rambutku.”
Semua orang tertawa mendengar jawabanku juga si pembawa acara. Semetara aku hanya menggariskan sebuah senyum tipis. Ini memang miris karena aku hanya mengenakan kaos putih oblong dan jeans belelku yang berlubang di dua lututnya. Juga rambut gondrongku yang masih terkuncir dengan karet gelang.
“Karyamu diakui oleh semua juri. Mereka menyukai pekerjaanmu, bahkan mereka bilang lukisan ini adalah karya dari dalam hati. Bagaimana proses penciptaannya? Siapa inspirasimu?”
“Ayah.”
“Berikan cerita singkat tentang karya hebatmu itu Toma. Silahkan.”
“Aku selalu melihatnya dari jauh, memandangi caranya bekerja. Tanpa pernah berniat untuk menatapnya lebih dekat atau jujur bahwa aku ingin bercerita. Rasanya mustahil untuk berbicara dengan kata karena ia hanya akan memaki pilihanku. Sesekali aku mulai berpikir, mungkin apa yang ayah katakan memang benar. Aku seolah arus yang tak mau dialihkan dan akhirnya kerontang di tengah jalan. Aku menolak kemudahan yang ditawarkannya hingga sekarang aku menjadi musuh baginya. Seorang pemberontak,” kataku perlahan.
Sejenak aku menghela nafas sambil memandangi hadirin yang ada di ruangan ini. Sebenarnya aku mencari satu orang yang kuharap akan datang dan menyemangatiku, juga inspirasiku. Tapi sepertinya mustahil.
“Dengan karya inilah aku berbicara, dengan inilah aku bercerita pada ayah bahwa aku merindukannya yang dulu. Ketika aku masih jadi jagoannya. Ketika ia masih setia menemani ibu menimangku. Ketika ia mengajariku rumus matematika dan mengasah logikaku. Tapi kemudian aku tersadar, semua itu hanya masa lalu dan berakhir menjadi siluet. Kenyataannya hanyalah ada aku dan ayah yang menjadi ular dan merak. Tapi ular bukanlah sebenarnya aku. Aku hanya seekor kutu. Makhluk pengganggu yang sulit dihilangkan, yang hanya bisa menempel di kulit kepala dan membuatnya gatal,” aku kembali berhenti.
Kembali aku mengarahkan pandangan ke seluruh ruang, tapi tetap saja nihil. Di antara suara tawa mereka yang hadir, aku justru ingin memaki. Seandainya ayah berada di sini dan mau mendengarkanku seperti semua orang. Pintu ruangan terbuka dan aku melihat seorang pria tersesat memasuki ruang pameran. Ia mengenakan jas hitam rapi, berjalan ditopang tongkat mahal dan melangkah mantap dengan sepatu kinclongnya. Rimbunnya uban yang memenuhi kepala ia tutup setengahnya dengan topi fedora. Ia berdiri tepat di hadapanku dan ikut bertepuk tangan seperti yang lainnya. Seketika senyumku mengembang menyambut kedatangannya.
Bukankah kau terlalu rapi untuk datang ke pameran, ayah?
“Seperti yang ayah selalu katakan padaku. Akulah kutu di kepala ayah.”

-o-

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.