[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 16

Leil, Jossie dan Pierre bertemu di satu titik. Apa yang terjadi? Kemanakah arah pembicaraan Leil dan Jossie yang menjauh dari Pierre dan akhirnya pergi? Langsung saja, aku tidak pandai berbasa-basi dan berpromosi. Selamat membaca keping ini…

LEIL
“Aku tak ingin mengganggumu. Aku akan kembali ke bukit, jadi kau bebas berbicara dengan Jossie tanpa harus menjauh dariku. Terima kasih untuk hari ini, nona Grazdien.”
Begitulah kalimat yang samar kudengar dari bakatku, Pierre sudah pergi? Jelas itu suara Pierre. Pembicaraan dengan Jossie mulai sia-sia, kami hanya saling membantah.
“Josh, kau adalah temanku. Begitu juga Pierre. Untuk apa berdebat tentang hal tidak berguna seperti ini?”
“Bagiku ini berguna. Aku tak ingin melihatmu terluka.”
“Tapi Pierre tidak mungkin melukaiku. Bahkan dia tak akan membiarkanku berkali-kali terjatuh karena berjalan sambil melamun.”
“Mungkin sekarang masih seperti itu. Tapi jika benar dia bukan manusia, aku yakin kau adalah orang pertama yang akan tersakiti karena terkhianati.”
“Terima kasih atas sikap cerewetmu hari ini Josh. Sayangnya aku harus kembali menemui Pierre dan meminta maaf atas sifat kekanakanmu.”
Aku mencoba menyusul Pierre menuju bukit, bahkan aku berlari agar tak kehilangan jejaknya. Sebenarnya apa yang diungkap Jossie ada benarnya. Aku bahkan tak tahu dimana Pierre tinggal. Selama ini aku hanya tahu kalau dia berkeliaran di jalanan sekitar toko June dan berlabuh di bukit ini. Setelah itu aku kehilangan jejaknya, benar-benar hilang. Ya, dia menghilang bahkan dari bukit ini juga. Aku berhenti untuk melonggarkan paru-paru. Memandangi sekitaran makam dan tetap saja kosong. Tak ada siapa pun di sini, aku terengah sendiri. Padahal aku berharap bisa mendengar apa saja dengan bakatku. Tapi nihil. Aku tetap menuju makam itu dan duduk di sampingnya. Aku akan tetap menunggunya.
Suara gelepak burung yang keluar dari hutan membangunkan aku dari tidur. Astaga, terlalu banyak waktu kuhabiskan untuk menunggu Pierre hingga aku terlelap. Bahkan pohon pinus menjulang yang mengitariku kini terlihat bagai sebuah siluet. Terangnya cahaya matahari sudah meredup dan kabut menghalangi pandanganku. Mungkin ini terlalu sore untuk berada di sini. Tapi Pierre? Apakah dia tak datang kemari? Atau dia datang selagi aku terlelap lalu pergi lagi?
Aku bergegas pulang menuruni bukit. Sesuatu yang aneh tengah mengintaiku, aku melihat sepasang bola merah terang menyembul dari balik semak. Bukan hanya satu tapi ada beberapa pasang. Aku curiga mereka bukan hanya gerombolan serigala liar yang biasa melolong di hutan. Bagaimana jika mereka memasukanku dalam menu makan malamnya? Tapi aku tak mendengar sedikit pun percakapan di antara mereka. Semoga saja mereka hanya hewan liar.
Berbekal dugaan yang belum terbukti, aku malah mendekati semak. Kulihat mereka mundur dan menarik diri dari jangkauanku. Rasa penasaran justru semakin tinggi daripada hasrat untuk melarikan diri. Aku semakin dalam masuk ke semak tapi tak ada apapun hingga kudengar suara raungan singkat. Begitu mengerikannya raungan itu hingga harusnya kakiku kaku. Tapi aku tetap berjalan mengikuti aliran adrenalin. Kutemukan bercak darah yang membasahi permukaan tanah. Bukan hanya membasahi, tapi membanjiri. Darah apa ini?
Suara tembakan meluncur, menggema di udara. Aku bahkan tak tahu kalau ini musim berburu. Jadi, mereka kah yang melakukan perburuan ini. Apa mungkin darah itu dari pembantaian hasil buruan mereka? Tapi itu begitu banyaknya. Aku terus menembus semak hingga di ujungnya aku menemukan rawa. Jejak darah berakhir di sana tapi aku tak menemukan binatang terluka atau apapun yang mungkin menjadi pemilik kucuran darah itu. Justru aku menemukan tapak kaki yang cukup besar di antara tanah rawa yang lembab. Aku mendekatinya untuk memeriksa jejak misterius itu. Aku melihatnya sepintas sebelum air rawa merembes dan menutupnya. Kuputuskan itu jejak binatang sejenis kucing, tapi kucing yang cukup besar.
Kumasukkan tanganku dalam genangan air dan meraba jejak yang menekan tanah itu. Meski aku bukan pemburu binatang, tapi ayah pernah mengajakku sekali dan aku belajar banyak tentang perburuan. Beruntung aku memiliki sedikit ilmu berburunya jadi aku bisa menerka kira-kira jejak apa ini. Ukurannya lebih panjang dari jejak singa. Juga lebih besar dari golongan kucing besar yang terbesar sekalipun. Bahkan di Viga tak pernah ada riwayat kehidupan kucing besar. Lalu dari mana jejak ini muncul?
Tiba-tiba semak di seberang rawa bergerak dan aku tak siap untuk menyambut mereka yang datang. Kumohon jangan lagi ada kejadian aneh yang menimpaku. Sebuah cahaya dari senter terarah tepat ke wajahku. Aku tak bisa melihat apapun, hanya silau.
“Leil?” sapa pemilik senter yang kemudian mengalihkan sorot cahayanya dari wajahku.
“Jossie?” Ia segera menghampiriku dan tak sendirian, ada empat orang yang kukenali sebagai pemburu terkenal di Viga.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.
“Aku hendak pulang. Tapi tersesat karena sudah terlalu gelap,” jawabku berbohong. Padahal jelas saja aku masih bisa melihat sekitarku.
“Dan kau?” lanjutku. Jossie mengangkat senapan dan menunjukkannya padaku. Juga ia menunjukkan semua orang yang ikut bersamanya.
“Aku mencari sesuatu yang mereka juga cari dan akhirnya aku bertemu denganmu,” jelasnya.
“Sesuatu yang mereka cari?”
“Aku bertemu mereka di café Terry. Mereka tengah memburu binatang buas yang beberapa hari ini muncul di hutan. Jadi kupikir, aku akan ikut. Sekaligus mencarimu.”
Sekaligus mencariku? Jadi aku bukan prioritas yah? Sudahlah lupakan. Tentang mereka yang bersama Jossie, aku pernah melihat mereka di foto berburu ayah. Tentunya sebelum ayah memutuskan untuk berburu sesuatu yang lebih langka. Apa tadi Jossie mengatakan binatang buas?
“Binatang buas?”
“Kemarin malam anak laki-laki Terry melintasi bukit ini dan melihat serigala hitam besar tengah mengoyak kijang. Jadi kupikir, kami akan mencoba menemukannya. Kau tahu kan betapa besar aku penasaran dengan kegiatan berburu?” kata Jossie.
“Kulihat kau tadi tengah mengamati sesuatu di tanah. Apa ada yang kau temukan, Leil?” sambar seorang pemburu yang berbadan paling besar. Jadi apa yang harus kukatakan? Bahwa aku menemukan jejak kaki kucing sebesar anak gajah? Ini gila, mereka akan menyangka kepalaku terbentur lagi. Atau lebih parahnya mereka akan mengira aku mulai gila.
“Sebaiknya kami segera menemukan serigala itu sebelum dia menjadi masalah. Sekalipun dia bukan serigala yang sesungguhnya,” sahutnya. Tiba-tiba tanganku gemetar tak bisa kukendalikan. Aku diam ditusuk kebekuan dari pernyataan si pemburu. Bagaimana jika jejak yang aku temukan memang milik serigala besar itu? Jika sebesar itu, tak mungkin serigala sesungguhnya bukan? Werewolf?
“Leil? Kau belum menjawab pertanyaannya. Apa kau menemukan sesuatu?””
“Tidak ada. Aku hanya sedang cuci tangan,” jawabku sambil nyengir. Jossie masih memandangiku dengan wajah curiga aku tengah menimbun sesuatu dalam pikiran. Sementara tanganku menggaruk tanah dalam rembesan air rawa untuk menghancurkan jejak kaki besar itu.
“Maukah kau mengantarku pulang, Josh?”
“Tentu.”
Aku duduk di teras rumah, tepat di sebuah sofa usang kesayanganku. Jika dilihat tampilannya, mungkin tak ada yang mau duduk di sini. Bahkan ayah juga sempat menyingkirkannya ke tepian tempat sampah agar petugas ikut mengangkutnya. Tapi bagiku, ini sangat nyaman. Selain itu, ini menyimpan semua kenangan atas sosok ibu. Dulu, aku sering tertidur di sofa ini karena aku tak bisa tidur di kamarku sendiri. Mimpi buruk selalu membayangi jadi aku tak bisa memejamkan mata di ruang sempit itu. Lalu aku kemari, mencoba tidur sambil meringkuk karena kedinginan. Ibu akan memeriksa ke kamar dan memberiku selimut saat dia tahu aku tak ada di kamar. Teringat pula lagu tidur bernada indah yang selalu mengantarkanku menuju terlelap.
“Kopi?” kata ayah sembari menyodorkan secangkir kopi ke meja di sebelah sofa.
Aku tetap tak berkutik. Ayah juga sedang asyik dengan cangkir besarnya. Aroma kopi menuntunku untuk bangun dan tak membuatnya menunggu hingga dingin. Segera kuraih cangkirku dan menikmatinya. Aromanya yang khas dan kehangatan yang ditawarkannya, bagaimana aku bisa menolak secangkir kopi? Langsung saja kuteguk perlahan.
“Malam yang tenang, bukan?” aku hanya mengangguk.
“Ayah, bagaimana perburuanmu?” tanyaku tiba-tiba. Sebenarnya aku ingin mengaitkan pertanyaan ini dengan cerita Jossie mengenai serigala besar yang berkeliaran di bukit.
“Aneh? Kau tak biasanya menanyakan tentang pekerjaanku.”
“Aku hanya ingin tahu. Ayah selalu berhadapan dengan makhluk itu sementara aku masih ketakutan dan hanya bisa bersembunyi di balik perlindunganmu.”
“Mereka punya aturan sendiri. Lagipula yang aku buru hanya makhluk rendahan. Mereka yang menghuni kasta rendahan lah yang memiliki hasrat menggebu akan darah manusia. Bahkan vampir bangsawan tak pernah kutemukan melakukannya. Akhir-akhir ini para bangsawan yang melakukan perburuanku. Jadi aku bisa liburan,” jelas ayah sambil tertawa. Ayah begitu memahami tentang vampir dan aku memakluminya karena itu memang pekerjaannya. Memburu vampir yang meresahkan warga. Bahkan sesekali, ayah berburu ke luar Viga memenuhi permintaan pelanggannya.
“Aku tak akan bisa melawan para bangsawan. Mereka memiliki kekuatan yang tak tertandingi jadi sama saja kau cari mati jika mengusiknya. Lagipula, aku tak memiliki dendam pada mereka. Aku hanya tak ingin ada lagi keluarga yang berduka karena vampir rendahan,” tambahnya. Kini ia semakin menggebu.
“Bagaimana dengan werewolf?”
“Leil?”
“Maafkan aku. Lupakan saja.”
“Apa ada yang terjadi?”
“Tidak ada.”
“Jangan mencoba menyembunyikan apapun dariku. Aku akan mengetahuinya dan jika kau ada masalah, jangan ragu untuk mengatakannya. Aku bersedia memburu pria manapun yang menyakiti putriku.”
“Ayah,” rengekku.
“Apa? Kau mau mengatakannya?”
“Kau berlebihan.” Ayah terkekeh.
“Akan kulakukan semuanya demi putriku tersayang,” katanya sambil duduk tegap dan meletakan tangan kanannya di dada. Seolah dia tengah bersumpah setia pada negara.
“Terima kasih ayah.”
Aku kembali meringkuk dan memandangi pohon tomat dalam pot kecilku. Dia terlihat tumbuh lebih cepat atau aku yang melewatkannya begitu lama? Konyol, ketika bayangan wajah Pierre muncul di samping pohon itu. Ya, pohon itu memang membuatku teringat padanya. Pria aneh yang muncul dari antah berantah, mengacau di toko dan kini ia mengacau di pikiranku. Siapa dia sebenarnya?
Mulai kupertimbangkan setiap pertanyaan yang pernah Jossie lontarkan. Kucoba memahaminya dan kuputuskan aku memang tak mengerti apapun mengenai Pierre. Tapi hal itu tidak akan membuatku mundur. Justru akan memacuku untuk mencari lebih dalam.
“Jangan terlalu lama di luar. Segeralah masuk,” kata ayah sambil menarikku dari posisi malas di atas sofa. Aku berdiri dan menyambar cangkirku. Ayah mendorong tubuh malasku untuk masuk. Ini seperti masa kecilku saat aku harus masuk sekolah jam tujuh pagi dan malas untuk mandi.
“Ini seperti masa lalu,” kenangku.
“Tidak. Kau bukan bocah perempuan malas mandi yang dulu lagi. Kau adalah gadis cantik ayah yang menjadi rebutan siswa di kelasnya waktu SMA.”
“Kau selalu berlebihan ayah,” balasku.
Kutambahkan sebuah tawa kecil di antara jawabanku atas pernyataan ayah. Lalu tanpa sadar, aku merasa harus menarik kembali senyumku. Aku merasa ada yang mengawasiku dari kejauhan. Mungkin dia berpikir untuk tetap diam agar aku tidak mendengarnya. Tapi aku merasakan kehadirannya. Dia ada di sana hanya saja, tetap diam.

(Bersambung…)

1 komentar:

  1. Abang, maaf baru baca sekarang. Kalo dperhatikan gaya penulisan abang udah seperti penulis profesional. hehe..
    bahkan aku bisa mnegikuti setiap alur ceritanya dengan enak, dan bisa membayangkan seperti apa cerita ini di kehidupan nyata.
    dilanjut terus ya bang, semangat !!
    semangat juga buat UAS dan TA nya.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.