[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 14
Warning: Fiction-Fantasy Detected
Inside
Halo semuanya, maaf karena ngilang di
saatnya update. Buat yang sudah memendam penasaran akan lanjutan cerita semi
absurd ini (jiaah…) langsung saja. Keping
14 hadir untuk teman semua. Sedikit spoiler dan review kepingan terakhir nih.
Leil diserang sekelompok vampire di
bukit dan terselamatkan oleh Pierre. Namun saat ia bangun di kamar rumahnya,
semua orang tak percaya cerita itu. Ayahnya, June dan seorang kakek asing
mengatakan bahwa Leil terpeleset di bukit dan pingsan. Saat semua pertanyaan mulai
menyesaki kepala, Pierre muncul di saat yang tepat. Apa penjelasan Pierre atas
apa yang dialami Leil? Happy reading J
LEIL
“Mengapa June tak percaya ceritaku
bahwa aku mengambil kotak obat untukmu? Padahal aku sudah menceritakan bahwa
aku menemukanmu di bukit. Juga ayah dan si kakek itu. Mereka bilang aku
terpeleset lalu pingsan. Apa maksudnya semua ini?”
“Aku yang melakukannya. Kupikir aku
akan menghapus kenangan itu karena kau begitu ketakutan, ini semua demi
kebaikanmu sendiri. Tapi entah mengapa kau bahkan tak melupakanku sama sekali.”
“Itu berlebihan dan sama sekali tidak
masuk akal, Pierre. Mengapa June, ayah dan si kakek itu ikut terlibat.” Ada
jeda cukup panjang dan yang kudengar hanya dia menarik nafas dalam-dalam.
“Maaf, mungkin aku menghapus terlalu
banyak. Yang kulakukan hanyalah menghapus semua yang kau lakukan di bukit
setelah kau bertemu denganku. Jadi mereka hanya mengingat bahwa kau terjatuh
dan ditemukan oleh seorang kakek.”
“Berarti kakek itu berbohong padaku.
Dia bilang, dia yang mengantarkanku pulang.”
“Dia benar. Aku hanya mengantarmu
sampai toko bunga tapi aku tak menemukan siapapun karena tokonya sudah tutup.
Hingga aku bertemu dengan kakek itu, dia bilang tahu rumah pemilik toko dan
membawamu ke sana. Jadi memang benar jika dia yang mengantarmu pulang.”
Aku terus memandangi punggungnya
karena ia sama sekali tak mau menatapku sekarang. Aku tak peduli dengan semua
kalimat yang dia ucapkan. Kurasa aku menemukan sosok Pierre yang sebelumnya. Pria
yang dingin dengan tatapan membekukan.
“Terima kasih,” kataku kemudian.
Kukembangkan senyum saat ia akhirnya mau menatapku dan sekali lagi aku terjebak
dalam keindahan bola matanya. Begitu indah hingga aku tak ingin lepas dari
tatapannya.
“Kau?”
Dia melemparkan syal putih tulang
tepat ke wajahku. Aroma wangi lavender menguar dari syal itu bukan anyir darah.
Aku menelusurinya dan tak kutemukan setitik pun noda darah. Padahal sebelumnya
kugunakan ini untuk membalut luka di lengannya. Saat dia menyelamatkanku,
kulihat syal ini ada di lehernya dan menjadi merah karena darah. Tapi kini, syal
itu kembali ke warna sebelumnya. Ia lalu menggulung syal itu menghangatkan
leherku.
Tiba-tiba rasa khawatirku memuncak,
aku menghambur ke arahnya untuk memeriksa lengan kirinya yang tadi terluka. Tak
ada darah atau pun bercak darah yang mengering di pakaiannya. Dia juga terlihat
sehat-sehat saja. Benarkah dia bukan manusia?
“Lukamu? Kau terluka dan syalku
harusnya ada noda darah di sana. Aku menggunakannya untuk membalut lenganmu
yang terluka. Luka punggungku juga. Dimana luka itu?” tanyaku kalap sambil
terus memeriksa kedua lengannya. Pierre kemudian menghentikan kedua tanganku
dan menggenggamnya hangat. Ia memberiku senyuman manis, seketika ia membalikku
masuk dalam peluknya.
“Kau pasti mengigau. Istirahatlah,
malam sudah terlalu malam untuk terjaga dan berkhayal. Selamat malam,” katanya
lembut tepat di telingaku.
“Jangan bohong!”
“Leil?” panggil ayah.
“Iya ayah,” jawabku spontan dan saat
itu juga aku menemukan ayah sudah berada di ambang pintu. Menatapku dengan
tatapan kesal akan sifat keras kepalaku.
“Kembali ke kamar dan istirahat.
Untuk apa kau berada di sini, sangat dingin berada di luar saat tengah malam.
Apalagi kau tak memakai alas kaki.”
Aku berbalik saat menyadari bahwa
ayah tak bereaksi apapun akan kehadiran Pierre. Tapi aku tak menemukannya, ia
benar-benar menghilang dan hanya ada aku sendiri di sini.
“Ada apa? Kau mencari sesuatu? Oh ya,
tadi kudengar ada suara pria. Apa kau sedang menerima tamu di tengah malam?”
tanya ayah penuh selidik.
“Tidak, hanya latihan drama untuk
promo terbaru toko June,” jawabku menggunakan nada berat seolah aku adalah
seorang pria. Ayah menyernyit mendengar jawabanku. Astaga Pierre, sekali lagi
kau membuatku terlihat bodoh hari ini.
***
PIERRE
Aku masih bertengger di dahan pohon
dekat rumah Leil. Masih bisa kulihat ia memasuki rumah setelah digiring
ayahnya. Beruntung aku bisa cepat pergi sebelum aku mengakibatkan masalah lagi
baginya. Bagaimana bisa dia masih mengenaliku dan dia berhasil menemukanku?
Padahal aku sengaja memilih waktu tengah malam untuk datang dan mengembalikan
syal miliknya. Seharusnya sore ini menjadi terakhir kalinya aku berurusan
dengan gadis itu. Tapi ia malah menemukanku dan membuat ini semakin sulit untuk
diselesaikan tanpanya.
Seperti dugaanku, gadis itu berbeda
dari gadis-gadis yang pernah kutemui. Aku tak bisa melupakan wajahnya begitu
juga dengannya yang tak bisa melupakanku meski sudah kucoba menghapus
ingatannya.
Apa yang harus kukatakan pada Fista
Sofia tentang hal ini? Bahwa aku gagal memutuskan pertemuanku dengan Leil dan
sekarang aku tak bisa lepas darinya. Apa dia akan menerima jika kukatakan bahwa
Leil istimewa? Aku sudah melihat bakatnya, keberanian dan ketakutannya bercampur
menjadi keteguhan. Celakanya keteguhan itu yang akan lebih banyak mengancamnya.
Jika Leil terus menggunakan bakatnya itu, dia berada dalam bahaya. Apalagi jika
aku masih bersamanya. Tapi aku tak bisa meninggalkannya dalam keadaan ini,
sendiri.
“Astaga.”
Perasaan apa ini? Dia bisa membuat
sebagian diriku merasa nyaman juga tenang saat kami berbincang. Bahkan suaranya
seolah menjadi candu bagiku. Aku yang sudah begitu lama tak merasakan hal
semacam ini, dan kini ia kembali hadir. Aku jatuh hati pada seorang gadis? Tak
mungkin, aku tak bisa membiarkannya terjadi. Aku tak boleh melakukannya.
Mencintainya hanya akan membuatnya menderita dan ketakutan. Aku harus kembali
pada jalanku dan pulang seorang diri, lagi.
***
Kuletakan cangkir teh yang telah
kosong. Pagi masih menyisakan embun di atas permukaan daun juga jendela kaca
rumahku. Pagi lainnya yang masih tetap dingin, tapi tak sedingin biasanya. Aku
mengambil botol air mineral dan membawanya tepat menuju tiga pot krisanku yang
mulai berbunga. Dua kuncupnya masih mengatup, mungkin butuh waktu beberapa hari
lagi sampai aku bisa melihatnya mekar sempurna. Kutuangkan isi dalam botol,
airnya merembes membasahi tanah. Kuharap mereka cepat mekar agar aku bisa
berhenti menghamburkan uang untuk membeli krisan. Sekelebat bayang
menghampiriku dan bayangan Fista Sofia langsung kutemukan tergambar jelas di
permukaan guci besar di sampingku.
“Selamat pagi, Fista Sofia. Ada yang
ingin kau sampaikan padaku?”
“Kau akan menemui gadis itu lagi?”
“Aku tidak tahu. Saat aku berusaha
untuk menghilang darinya dia justru menemukanku. Saat aku berusaha menghapus
diriku justru dia yang mengingatkanku. Aku tak tahu bagaimana caraku untuk
lepas darinya,” jawabku. Kuharap Fista Sofia tahu tentang yang kurasakan.
“Kau tidak sedang menunggu jawabanku
bukan? Kuanggap kau sudah cukup dewasa untuk menentukannya. Aku tak menyalahkan
perasaanmu. Tapi pertimbangkan juga perasaan gadis itu. Akankah dia sanggup
menerimamu dan semua kemalanganmu? Selama ini hanya aku yang mampu menahannya,
Pierre.”
“Aku tahu. Akan kupikirkan nanti. Aku
tak berharap dia mengerti tapi aku juga tidak bisa meninggalkannya begitu saja.
Aku tak punya pilihan,”
“Satu pilihan yang tak akan berubah.
Aku akan tetap ada untukmu, apa pun yang terjadi. Seberapa pun banyaknya
kemalangan yang menghampirimu. Aku tetap di sini.”
“Terima kasih. Aku harus pergi,”
kataku sebelum akhirnya aku benar-benar pergi.
(Bersambung…)
kyaaaa..
BalasHapusada orang ketiga!! Eh dia orang atau bukan ya?
sippoo bang!!!!
lanjut terus ya, sepertinya ini masih awal cerita. Ditunggu keping keping selanjutnya ^^
kyaaa, kalo ga ada orang (orang bukan yah?) itu ga seru. kan? ini baru masuk cerita sih. konfliknya ditunggu yah, lagi rada amnesia buat keping 18
BalasHapus