[CURHAT] Dear November
Dear November,
Hari keempat bula
November. Bulan yang selalu dikaitkan dengan hujan, namun November kali ini
hujan masih datang malu-malu. Hanya menyapa sekali-kali melalui gerimisnya. Masih
enggan untuk datang sukarela karena harus dipanggil melalui istisqa. Apa kali
ini hujan dan November tidak bersahabat? Apa November kali ini tak melihat
bahwa kami membutuhkan persahabatannya dengan hujan? Hujan memang terlambat
datang, lalu apa lagi yang mau kau keluhkan?
Bukan, bukan aku mengeluh
sungguh. Hanya merasa trenyuh dengan November kali ini, November yang tak
bersahabat dengan hujan. Entah berapa banyak saudara di luar sana yang tengah
berjuang untuk bebas dari asap. Entah berapa banyak yang saat ini tengah
menyirami titik api dengan telaten. Entah berapa banyak lagi muncul potret anak
kecil dengan surat pada presiden. Entah berapa banyak lagi muncul berita duka
karena ISPA. Tapi itu hanya satu sisi, satu sisi yang mungkin November tahu. Lalu
sisi lainnya? Kupikir November juga tahu apa yang akan kuceritakan padanya. Sebuah
bujukan agar ia berdamai dengan hujan.
Lalu di sisi lain,
kekeringan melanda. Negeri tropis yang kaya raya ini, Nusantara ini yang
katanya hijau dengan pepohonan kini kekeringan? Warganya mengular meminta air
bantuan. Warganya hidup dalam kegelapan karena PLTA kehabisan air. Warganya jalan
kaki berkilo-kilo meter hanya untuk mencari satu jerigen air. Apa kata November?
Apa November tidak peduli
dengan Nusantara? Apa karena November bukan politikus jadi tak perlu pencitraan
dengan berbaik hati dan berkoalisi dengan hujan? Ah, pembicaraan ini semakin
ngelantur saja. Maafkan kalimatku, November.
Tapi sungguh disayangkan
sifatmu itu pada kami, November. Okelah kalau kau bukan politikus yang suka
pencitraan, tapi aku yakin kau bukan anak ABG kekinian yang suka main baper-baperan. November sudah dewasa, sudah lama manusia mengenal November
dan mengaitkan keharmonisannya dengan hujan. Kenapa sekarang diretakkan? Aku juga
tahu kalau November bisa menulis balasan, ia akan ngomel padaku. Ia akan protes
karena aku hanya mengeluh dan terus menyudutkan posisinya dengan keretakan
hujan. Ia akan melempar cermin dan menyuruhku sebagai perwakilan dari manusia
untuk berkaca. Bukan untuk melihat apakah aku sudah cukup cantik atau tampan. Tapi
untuk melihat apa yang sudah manusia perbuat belakangan ini. Apa manusia sudah
menjaga alam sebagai rumah November? Apakah manusia berbaik hati dan
mendengarkan apa bisikan alam daripada hanya memanfaatkannya untuk gelontoran
rupiah? Apa manusia pernah berbaik hati untuk mengembalikan sesuatu yang sudah
diambilnya dari alam? Apa manusia tidak mengerti tentang global warming? Mengapa
harus salahkan November yang tak tahu apa-apa?
Lalu aku akan menghela
nafas panjang dan menepuk si November untuk menenangkan kegelisahannya. Ya,
kita impas.
Kali ini, bukan ingin
memojokan November lagi. Aku hanya akan menyampaikan apa yang terjadi di
hadapanku saat ini. Apa yang baru saja kualami hari ini. Tentang gerimis yang
muncul malu-malu dan segera pamit ketika kami memuji-Nya.
Siang ini gerimis singkat
turun dari langit. Gumpalan awan mendung memang terlihat menggantung pagi ini. Hanya
turun sebentar, singkat, lembut dan perlahan-lahan. Tak lebih dari satu jam,
kupandangi tetes demi tetes air yang tercurah. Semuaya menikmati dan sekarang
hawa sejuk dari sisa hujan tengah menyapa. Burung-burung berpasangan untuk
bermain di atas rumput yang masih basah. Gerombolan lainnya terbang sembari
berkicau dengan nyanyian riang. Semuanya menikmati sedikit hujan yang hadir. Tapi
aku justru merasa iri. Aku iri pada burung yang bebas menikmati segala
kesejukan setelah hujan. Karena kebebasan yang kini aku dapat adalah hasil dari
bolos kelas yang seharusnya berlangsung satu jam lalu. Bukan, aku tak berpikir
untuk melarikan diri. Aku hanya ingin menikmati hidup yang singkat ini. Yah memang
terdengar sedikit egois dan liberalis atau apapun yang ada di kepalamu saat
ini. Tapi terkadang manusia sering lupa, termasuk aku. Bahwa catatan Tuhan lebh
bermakna daripada catatan absen manusia kan? Aku tidak bermaksud membenarkan
aksi bolosku. Tapi apa salahnya? Toh aku tak pernah membolos sebelumnya.
Terkadang, manusia takut
pada sebuah peraturan. Deretan kalimat perintah yang ditulis oleh manusia tapi
melalaikan peraturan dari Tuhan. Seseorang takut terlambat datang kuliah karena
takut pintu dikunci dan ia kehilangan absen. Tapi ia melalaikan panggilan
ibadah, dan berleha-leha menundanya tanpa sebuah ketakutan yang berarti. Apa yang
kau maksud? Kau melupakan November?
Aku tahu, semakin lama,
tulisanku semakin menjauh dari November dan hujan. Tapi yang coba aku sampaikan
hanya hal sederhana. Aku tak mau menjadi manusia yang takut pada peraturan yang
dipegang manusia lain yang lebih berkuasa. Lebih baik aku mendapat konsekuensi
dunia darinya daripada aku harus meninggalkan Tuhanku dan jalan terbaiknya yang
penuh nikmat untukku. Mungkin akan terdengar aneh, tapi aku lebih suka jika kau
mengenalku sebagai rebel, si pemberontak yang tak ingin dikekang oleh peraturan
manusia. Tidak setuju? Debat saya. Apapun pilihanmu, ya itu kamu. Aku tak bisa
memaksakan pandanganku pada manusia lain.
Have a nice afternoon.
Rabu, 4 November 2015
Sambil menikmati waktu
bolos dengan memandangi hamparan lapangan rumput yang masih basah. Dihibur kicau
burung dank abut tipis hawa dingin.
Akhirnya November membaca suratku. Hari ini mendung, gerimis sesekali dan sekarang mendung. Mungkin akan hujan lebat di sore ini
BalasHapus