[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 15

Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Sebelum kehilangan sinyal yang suka ngambek ini, lebih baik langsung post saja. Keping 15 ready! Mau review? Oke, dikit. Setelah insiden di bukit yang melibatkan Leil, Pierre dan makhluk kelaparan, Leil mulai mencurigai status manusia Pierre. Mulai dari kepingan ini Leil akan mencari tahu semua tentang Pierre. Tentu saja masih ada Jossie dan Sofia, si wanita yang tetiba nongol di rumah Pierre. Gimana rasa Leil ke Jossie? Siapa Pierre? Kenapa Leil penasaran ama pria menjulang ini? Wanita yang di rumah Pierre, siapakah?
Pelan-pelan akan terkuak. Semua pertanyaan akan terjawab dan semoga tambah banyak yang menikmati ceritanya dan ga ragu buat tinggalin jejak di kolom komen. Sesingkat apapun komen kalian sangat berarti bagi penulis. Heheheh, terharu. Udahan nih speech nya. Langsung aja, Happy reading…

LEIL
Aku tengah mengelap kaca toko ketika melihat Pierre melintasi jalanan. Tubuh menjulangnya sangat mudah untuk dikenali, apalagi krisan di genggamannya. Tanpa ragu lagi, aku langsung memanggilnya.
“Pierre,” panggilku.
Dia berhenti dan menungguku yang tengah bergerak ke arahnya. Akhirnya aku berhasil menjangkaunya meski nafasku tersengal karena setengah berlari.
“Ada apa?” tanyanya datar.
Aku hanya memandangi matanya sampai dia memainkan jarinya di antara mataku dan matanya. Aku tersenyum menyadari kebodohanku. Mengapa sampai saat ini aku masih sering terjebak dalam tatapannya yang menghanyutkan? Bodoh.
“Apa kau mau ke bukit?” tanyaku.
Kali ini pasti jawabanku benar karena kulihat dia membawa beberapa tangkai krisan. Terakhir aku menemukannya adalah di bukit dan bersama setangkai krisan juga dua nisan itu. Satu hal yang harus kupastikan tentangnya. Hingga saat ini aku masih percaya bahwa dia memang manusia dan kuharap hal itu tak akan berubah.
“Apa kau bisa membaca pikiran? Menyeramkan,” jawabnya segera. Aku hanya menyernyit mendengar jawabannya. Dia bahkan menggunakan kalimatku dulu untuk menjawab pertanyaanku hari ini.
“Tidak. Hanya dengan melihat krisan itu saja aku sudah tahu,” kataku sambil tersenyum.
“Jangan paksakan untuk tersenyum. Kau pasti menyembunyikan sesuatu, apa yang kau inginkan?” Sungguh pertanyaan yang begitu mengena. Aku tak bisa basa-basi lagi. Lalu harus kujawab apa? Bahwa aku ingin mengamati standar normal bahwa dia adalah manusia?
“Apa kau bisa membaca pikiran?” tanyaku, dia hanya menyeringai.
“Akhirnya pertanyaan itu kembali pada pemiliknya,” jawabnya enteng. Aku hanya tersenyum, kali ini benar-benar dari dalam hati. Kenyataan bahwa kami mengulang pertanyaan yang sama memang terdengar aneh. Semakin lama kurasa aku semakin gila jika dekat dengannya.
“Apa maumu?”
“Boleh aku ikut?” dia diam sejenak. Mungkin sedang mempertimbangkan. Kuharap dia membawaku bersamanya tanpa rasa curiga tentang motif utamaku menguntitnya.
“Asal kau bisa mengikuti langkahku,” katanya.
Pierre langsung bergerak dan aku hanya bisa mengekorinya. Langkah panjangnya memang cukup merepotkan, apalagi dengan jangkauan pendek yang bisa dicapai kakiku. Apa dia sengaja melakukannya? Apa dia memang berniat meninggalkanku? Tapi semakin lama aku memandanginya harusnya sudah cukup bukti bahwa dia memang manusia. Atau kekhawatiranku memang berlebihan?
Kewaspadaan adalah harga mutlak atas keberadaanku saat ini. Setelah semua kenangan buruk di masa lalu, aku tumbuh menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain. Yang kumiliki hanya mereka yang tersisa dari masa laluku seperti ayah, June, Jossie dan teman sekolahku. Aku tak pernah secepat ini percaya pada orang asing. Tapi Pierre seolah menjadi pengecualian. Sejak pertemuan pertama itu, aku tak pernah bisa lepas darinya. Aku ingin selalu memerhatikannya dan aku ingin dia juga memerhatikanku. Hal itu terjawab di pertemuan keempatku yang masih menyisakan teka-teki.
Saat kami bertemu di bukit, aku yakin dia terluka. Lengannya robek dan berdarah, aku bahkan menggulung syalku untuk membalut lukanya. Tapi tepat di malam harinya saat dia datang menemuiku, luka itu menghilang tanpa bekas. Karena itulah sekarang aku di sini. Mengikutinya dan berharap bahwa aku memang mengigau atau jika benar dia bukan manusia…
“Awww,” teriakku.
Sebuah batu lumayan besar membuat kakiku terantuk dan nyaris saja aku jatuh jika tidak ada sepasang lengan kokoh yang menopangnya. Aku tahu, Pierre yang menahan tubuhku.
“Perhatikan langkahmu. Kau sedang berjalan atau melamun?”
“Kurasa keduanya,” jawabku tak bersemangat. Apalagi jika aku lanjutkan lamunanku. Tentang pertanyaan terakhir itu yang mungkin tak bisa kujawab. Jika Pierre bukan manusia, apa yang akan kulakukan?
“Hey, jangan bercanda. Kembalilah berjalan dan abaikan apa pun yang ada di pikiranmu atau kau akan jatuh lagi.”
“Itu bukan masalah,” jawabku masih tak bersemangat. Aku bahkan memalingkan wajahku pada deretan pohon pinus yang menjulang sampai ke langit. Sebisa mungkin aku ingin menghindari matanya. Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tak bisa melakukannya.
“Selama aku bersamamu, aku yakin kau tidak akan membiarkanku terjatuh.”
“Jangan terlalu banyak berkhayal. Kita sudah sampai.”
Pierre melepaskanku dan kembali berjalan. Ya, kami memang sudah sampai di tempat itu. Dua buah nisan batu yang berjajar di bawah pohon Maple besar yang meneduhkannya. Aku masih mengingat tempat ini bahkan saat senja tidak sedang bertahta. Pierre sudah sampai di sana, ia tengah meletakan tiap tangkai krisannya di atas makam. Kemudian ia duduk di antara keduanya. Aku sampai lalu mengambil posisi di sampingnya.
“Siapa yang dimakamkan di tempat ini?”
“Kedua orang tuaku.”
“Maaf atas pertanyaanku. Aku hanya ingin memastikannya, waktu itu kau tertidur dengan pulas di sini. Pantas saja, berada di antara kedua orang yang kau sayangi memang menenangkan. Andai aku bisa melakukannya juga,” ujarku.
“Tidak ada yang perlu dimintakan maaf. Itu pertanyaan yang wajar saat kau menemui seseorang yang datang ke sebuah makam.”
Pierre menyandarkan tubuhnya di salah satu nisan. Angin berdesir lembut membelai wajah tampannya. Rambut hitamnya menari diterpa angin dan seolah makin memesonaku untuk terus memandanginya.
“Orang tuaku meninggal karena serangan vampir. Hanya itu yang kuingat, aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa melarikan diri dari serangan itu. Aku melupakan kapan tepatnya itu terjadi dan apa yang kulakukan setelah serangan itu. Yang aku tahu adalah aku menemukan diriku yang sekarang ini. Seorang pria yang hanya bisa mengingat masa lalunya lewat setangkai krisan.”
Astaga, ternyata ceritanya nyaris sama dengan masa kecilku. Serangan yang merenggut orang-orang terkasihnya. Tapi kisahnya lebih miris daripada kisahku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada hidupku jika aku kehilangan orang tua dan ingatanku di hari yang bersamaan. Mungkin aku akan menjadi makhluk hampa yang bahkan tak tahu arah tujuan kemana aku harus melangkah. Kurasa aku mulai memahami apa yang dia rasakan. Juga cerita itu cukup menjelaskan sikapnya beberapa waktu lalu.
“Kau mau es krim?” tanyaku memecah sunyi.
“Jika kau tahu tempat yang tepat.”
“Tentu saja. Aku tahu kedai es krim paling enak di kota ini. Porsinya besar dan kau bisa menambahkan dua macam toping secara gratis. Aku bahkan kenal dengan penjualnya, dia langganan kami di toko bunga.”
Kami akhirnya berjalan menuruni bukit untuk membeli es krim. Cuacanya sangat mendukung untuk menikmati es krim. Langit tampak cerah membiru dengan gumpalan awan putih yang meneduhkan dari sengatan mentari. Viga memang tidak pernah begitu terik tapi juga tak pernah secerah ini. Biasanya, kabut mulai menyelimuti kota saat pagi dan sore hari menjelang petang. Apalagi jika hujan di siang hari, maka kabut akan turun lebih cepat. Karena kabut itulah kota ini sering dijuluki sebagai kota lindungan kabut.
Saking cerianya, aku sampai tak menyadari bahwa tangan Pierre berada dalam genggamanku. Tangan kokohnya terasa lembut menerima genggamanku. Sesekali aku mengayun genggaman kami, sambil bersenandung. Setidaknya rona merahku sedikit memudar tertutup senandungku. Kami seperti dua bocah yang tak sabar menikmati es krim di hari yang cerah.
“Apa aku tak bisa berlangganan di toko kalian?” tanya Pierre di sela senandungku.
“Tidak. Kecuali kau punya seseorang yang hidup untuk dicintai. Sampai kapan pun, June tidak akan mengizinkan bunga dari tamannya berakhir di pemakaman.”
“Mengapa begitu? Apa dia takut pada kematian?”
“Tolong hentikan. Aku tidak suka saat kau membicarakan bosku dengan kalimat yang menyakitkan.”
“Apa itu menyakitkan?”
“Mungkin kau perlu lebih banyak belajar tentang perasaan.”
“Kuharap kau mau mengajariku.”
Astaga, pernyataan macam apa itu? Seketika dia membuat semua sanggahanku menghilang tak berguna. Untuk saat ini aku diam dan tak tahu harus kubalas dengan apa kalimatnya. Semua kata yang terucap dari mulutnya selalu spontan. Kupikir dia tidak atau setidaknya belum memiliki pembentengan rahasia. Jika dia mengatakan hal seperti itu, sepertinya dia datang pada guru yang tepat.
“Apa kita akan membeli es krim di sini?” tanya Pierre sambil mengerem langkahnya. Aku juga ikut berhenti dan mencoba menimpali.
“Ah ya. Tentu saja,” jawabku tergesa. Bahkan toko ini terasa lebih dekat dari biasanya. Atau aku yang terlambat menyadari bahwa aku sudah berjalan terlalu jauh bersama Pierre.
“Apa rekomendasimu, nona Grazdien?” tanyanya.
“Es krim moca dengan tambahan hazelnut dan coklat padat di dasar cone. Itu sangat lezat, kau harus mencicipinya.” Segera aku menarik lengan Pierre untuk mendekat ke meja pemesanan dan tanpa kuduga, aku menemukan sesuatu yang menarik.
“Leil?” sapa Jossie.
Tapi menurutku itu bukan sebuah sapaan, terdengar lebih condong pada keterkejutan. Jossie menatap aneh pada kami. Tentu saja, aku masih menggandeng jemari Pierre dan kurasa itu membuatnya risih. Pierre mencoba melepaskan genggamannya tapi aku tak membiarkannya terlepas.
“Halo Josh. Cuaca yang tepat untuk membeli es krim. Apa kau dari toko June?” tanyaku mencoba berbasa-basi sambil menenangkan keadaan.
“Aku baru saja akan ke sana dan kubelikan kau es krim. Mocca dengan hazelnut dan cokelat padat di dasar cone. Aku membeli yang deluxe,” katanya sambil menunjukkan kotak es krim yang baru saja dibelinya. Aku kehilangan kata-kata.
“Jadi kalian mulai akrab sekarang? Apa kau bersenang-senang, Pierre?”
“Sebenarnya kami tidak seakrab itu. Aku tidak keberatan jika kau membagi es krim itu dengan Leil. Kebetulan kami belum memesan apapun,” jawab Pierre ramah. Pierre kembali mencoba melepaskan jemarinya. Aku melepaskannya dan kini giliran Jossie yang mengunci tanganku.
“Jika kau tak keberatan, aku ingin bicara dengan Leil sebentar,” kata Jossie pada Pierre.
“Tentu. Kau tak memerlukan persetujuanku, bukan?”
“Sekedar basa-basi,” jawab Jossie pelan. Tapi ia segera menarikku keluar toko dan kami bicara. Seperti yang dia minta dan seperti apa yang kupikirkan. Dia mengoceh panjang lebar tentang Pierre dan aku hanya pasrah mendengarnya.
“Aku sudah mendengar kejadian yang menimpamu di bukit dari June. Apa setelah semua itu, kau sama sekali tidak curiga padanya? Siapa tahu dia berbahaya Leil.”
“Pierre sangat baik padaku. Bahkan kami cepat akrab dan aku merasa nyaman juga aman saat bersamanya. Sama seperti saat aku bersamamu, ibumu, ayahku, June dan semua orang yang kukenal.”
“Kau belum mengenalnya. Aku tidak setuju jika kau seakrab itu tanpa pengawasan. Bagaimana jika dia bukan manusia? Apa kau pernah melihatnya mengeluarkan ekspresi seperti layaknya manusia normal? Dia mencurigakan Leil. Menurutku dia seperti orang mati yang berjalan mencari kuburannya.”
“Aku tak meminta pendapatmu.”
“Ini bukan pendapat, tapi ini faktanya. Dia orang asing dan kau tidak mengenalnya.”
“Aku tahu dia.”
“Dimana rumahnya? Nomor teleponnya? Apa dia punya kakak, adik? Siapa keluarganya? Darimana dia berasal? Apa pekerjaannya? Kau punya banyak pertanyaan yang kau sendiri tak bisa menjawabnya.”
“Dia tinggal seorang diri. Orang tuanya meninggal karena serangan vampir. Aku memang tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu. Tapi aku tahu satu hal yang pasti, dia sama sepertiku. Aku merasakan apa yang dia takutkan juga. Aku tahu posisinya dan aku tahu rasanya. Bukankah itu jadi cukup bukti bahwa aku mengenalnya?”
Jossie terus menyanggahku, aku tahu dia pria yang cukup keras kepala. Tapi aku tak menyangka pembicaraan ini akan semakin lama. Mungkin karena aku juga keras kepala jadi tak ada satu pun yang mau mengalah. Aku mencoba melongok ke dalam toko tapi aku tak menemukan Pierre di sana. Hanya saja aku mendengar suaranya. Sama seperti waktu itu. Saat aku mendengar suara bising yang bukan dari tempatku. Saat aku mendengar percakapan beberapa vampir yang menyerangku di bukit. Sama persis dan hal itu terulang lagi. Tiba-tiba suara Pierre masuk begitu saja. Aku sebenarnya tak mengerti dengan diriku sendiri. Adakah yang salah dengan tubuhku? Sejak keanehan ini muncul, selalu pertanyaan itu yang terlontar. Atau haruskah aku mulai menyebutnya sebagai keajaiban Leil? Sebuah bakat? Menarik.
“Aku tak ingin mengganggumu. Aku akan kembali ke bukit, jadi kau bebas berbicara dengan Jossie tanpa harus menjauh dariku. Terima kasih untuk hari ini, nona Grazdien.”


(Bersambung…)

2 komentar:

  1. maaf baru baca sekarang bang, sepertinya aku juga lagi amnesia dengan segala beban hidup anak laporan. hehe.. udah mulai garuk garuk tanah juga ini.
    yey, keping 15 panjang :) puas deh bacanya. Semakin seru dan aku juga ikut senyum2 sendiri nih.
    lanjut terus bang!! Pantang mundur, ditunggu keping selajutnya. Semoga ga bosen dengan segala ocehanku ^^

    BalasHapus
  2. iya nih libur seminggu kemarin dan keping selanjutnya dateng ga tepat harinya. makin panjang, ya kan disesuaikan dengan komentar pembaca. juga biar ga kelamaan

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.