[OPINI] Jurnalisme Bolak-Balik

Gambar: pexels.com

Disclaimer: Tulisan ini dibuat hanya untuk menyampaikan aspirasi penulis. Seluruh isi tulisan berdasarkan opini pribadi dan tidak bertujuan untuk menyudutkan salah satu pihak maupun merendahkan profesi jurnalisme.
***

Keadaan dunia saat ini berada dalam puncak kekacauannya. Kemajuan teknologi informasi yang melenyapkan jarak juga seolah menjebol keran filter akan informasi yang benar. Saat ini berita tentang apapun bisa menjadi sangat beringas dan buas mencabik siapa saja yang salah bertingkah. Itu masih mending karena beritanya tertulis karena memang ada kesalahan. Tapi yang lebih miris adalah meluapnya berita-berita bohong yang terkesan keterlaluan. Beberapa kali saya mendatangi seminar jurnalistik. Saya tertarik dengan dunia jurnalistik sejak SMA. Saya pernah membaca kode etiknya. Saya pernah satu bulan berlangganan koran ternama dan membacanya dengan seksama tiap hari. Saya suka menonton film tentang dunia jurnalistik yang istimewa. Saya suka mendengar kisah-kisah jurnalis yang sudah lama berkecimpung. Tapi untuk saat ini saya mundur teratur.

Jurnalis, ah masihkah ada jurnalis yang benar-benar jurnalis? Masih adakah jurnalis yang menuliskan berita juga cerita apa adanya? Masihkah ada fakta di antara karya yang dituliskannya? Apa tujuan jurnalis menulis beritanya? Benarkah hanya untuk menginformasi? Atau bahkan disisipi kepentingan lain sang pemilik media? Atau bahkan berisi dogma tertentu? Benarkah fakta itu disajikan di tempatnya? Benarkah tidak ada yang dipelintir? Pentingkah berita yang dituliskan? Apakah berita itu ditampilkan bukan untuk pengalihan isu? Benarkah berita itu tak pakai framing? Miris.

Masih banyak pertanyaan yang saya simpan mengenai karya jurnalistik zaman ini. Pernahkah kau bertanya dan membayangkannya? Membayangkan penyimpangan jurnalistik ini membuat saya ngeri. Betapa menyeramkannya jika hal ini terjadi dan menurut saya memang sedang menuju ke arah itu. Setiap ada peristiwa, apalagi yang jauh dari saya, melihat dari satu media tidaklah cukup. Melihat dari dua media yang berbeda seolah sedang melempar koin ke udara untuk memutuskan mana yang benar. Masih ragu hingga mencari sumber lain yang terpercaya. Namun kembali pada pertanyaan miris. Sumber terpercaya? Siapa lagi sumber terpercaya dari dunia yang semakin kabur ini? Bukankah hati manusia juga gampang terbolak-balik? Jadi untuk memutuskan sebuah berita benar atau tidak menjadi hal yang cukup rumit. Menyebalkan memang. Tapi saya sudah hilang kepercayaan pada berita media.

Satu berita bisa dibuat minimal dua versi, sama seperti muka manusia yang bisa dipakaikan bermacam topeng. Tapi persepsi seorang manusia tak dapat terbelah ke dua sisi yang berbeda, kecuali dia diliputi kemunafikan. Persepsi hanya akan terarah pada satu poros. Masalahnya adalah mana poros yang benar? Mana informasi yang benar? Saya merasa skeptis dengan berita. Saya waspada dengan kebohongan yang dibalut kedok jurnalisme. Saya jijik dengan berbagai versi, berbagai topeng dalam satu opera. Saya merasa berada dalam kegelapan gua dan tak percaya pada siapapun yang membisikki deskripsi tentang keadaan di luar gua. Akhirnya saya hanya menatap kosong di kegelapan yang bahkan tak bisa melihat apapun meski mata terbuka lebar. Itulah gambaran dunia jurnalistik kita saat ini. Penuh intrik, penuh ketimpangan, penuh framing dan kaya akan versi.

Tapi saya bisa apa? Saya bukan siapa-siapa. Saya bukan narasumber, saya bukan jurnalisnya. Hanya bisa menulis aspirasi di media sosial pribadi. Itupun setelah revisi lagi. Mempertimbangkan kalimat yang cukup halus agar lolos dari jeratan UU ITE. 

Kembali miris, ketika menyampaikan aspirasi, opini dan perasaan juga bisa dijerat hukum. Media sosial yang harusnya jadi ranah privat bebas malah terbungkam juga. Yasudahlah, setiap hukum dibuat juga tentu dengan tujuan yang baik. Juga setiap hukum juga pasti punya efek samping. Saya rasa opini saya sekian saja.


Plesiran, 20 Desember 2016. 24:18.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.