Artikel
Gerilya Hati di Era Profitability
Ibu
adalah sumber inspirasi utama dari kehidupan seorang anak dan ini tentang
pembelajaranku darinya. Bukan pelajaran yang berat seperti Fisika Dasar,
Kalkulus maupun Kimia. Bukan tentang kognitif yang selalu dijejalkan dalam sistem
pendidikan, ini tentang keikhlasan. Kata yang tak bisa kusebutkan dengan awalan
hanya, karena ikhlas bukan hal yang
kecil yang bisa dianggap remeh. Kata ini menggambarkan betapa dalam dan
mulianya sebuah akhlak. Seseorang yang besar tak akan jadi apa-apa tanpa
keihklasan untuk melakukan banyak hal. Tapi seseorang yang tak memiliki apapun
akan tetap menjadi kaya dengan keikhlasannya.
Ibuku
bukan karyawan di pabrik yang selalu berangkat teratur tiap pagi. Ibuku bukan
wanita karier yang cemerlang dalam memimpin sebuah perusahaan. Ibuku bukan public figure terkenal yang akrab dengan kamera dan dunia gemerlap. Tapi
ibuku selalu bangun jam satu pagi dan mulai memasak di dapur dengan ditemani
segelas besar kopi. Ibuku selalu bisa mengurus semua kekacauan yang dibuat
anak-anaknya di rumah. Ibuku terkenal akan masakannya dan kerendahan hatinya.
Ya, ibuku seorang ibu rumah tangga. Bahkan aku tak pernah memanggilnya ibu, aku
biasa memanggilnya mama. Tapi untuk saat ini, aku akan menuliskan tiga huruf
itu untuk menyebutnya. Aku akan menulis tentang ibuku.
Ibu
memasak dini hari untuk dijual di pagi hari, tepatnya setelah adzan subuh. Semua
harus sudah terhidang karena warung ibu buka saat ketukan pelanggan pertama
mendarat di pintu rumah. Sebenarnya terlalu besar jika harus disebut warung,
hanya sebuah meja makan di dekat jendela ruang tamu, tempat biasa ibu
menghidangkan masakannya. Ibu menjual masakannya dengan harga yang menurutku
(sebagai anak perantauan di Bandung) sangat murah. Bayangkan saja hanya dengan
dua ribu rupiah kau bisa makan kenyang. Jika di Bandung hanya akan menjadi
ongkos angkot ke kampus, maka di rumahku kau bisa beli nasi uduk enak lengkap
dengan lauknya. Jika warung lain menjual gorengan tiga potong per dua ribu
rupiah, maka ibu menjualnya seharga lima ratus rupiah per potong. Setiap libur
semester, aku selalu menjadi pekerjanya, menggoreng perkedel jagung selama ibu
melayani pembelinya yang datang pagi buta.
Jam
enam pagi, masakan ibu pasti sudah ludes. Ketika yang lain baru mulai membuka warung,
ibu sedang membereskan piring dan menikmati lagi segelas kopi di pagi hari.
Awalnya aku tak mengerti dengan cara berjualan ibuku yang menurutku tidak profitable. Bagaimana mungkin ia
berjualan dengan harga yang demikian murah? Apalagi dengan ilmu yang kudapat
dari pelajaran berbisnis di bangku kuliah, kami selalu berdebat tentang hal
yang sama. Harga dan keuntungan. Tapi sepanjang apapun aku berdebat dengan ibu,
selalu aku yang akhirnya harus tersenyum kalah. Di balik kekalahan itulah
kupetik sebuah pelajaran.
Ibu
tahu bahwa cara jualannya tidak akan menghasilkan banyak keuntungan. Apalagi
ibu tak mau menambah jumlah masakan yang dijualnya. Ia membuatnya sedikit dan
dengan rasa yang benar-benar dijaga tanpa pernah mencoba asal-asalan masak.
Saat kutanya mengapa, ibu hanya menjawab dengan nada bergurau. Menyembunyikan
kata ikhlas di balik alasan hobi. Ia selalu berdalih bahwa memasak adalah
hobinya, ia merasa bahagia ketika orang lain menikmati masakannya. Tapi tak ada
orang di dunia ini yang tak butuh uang, bukan? Apalagi kami dari keluarga yang
pas-pasan, aku pun kuliah karena beasiswa tidak mampu. Lalu di tengah
keterbatasan itu, ibu masih bisa tersenyum karena dagangannya ludes laris manis
meski keuntungannya tak semanis itu. Kata ikhlas kutemukan sebagai sesuatu
misterius yang menjadi sumber senyumannya.
Jawaban
yang membuatku tersenyum juga. Jika selama ini aku belajar tentang teori dan
praktek berbisnis yang cenderung menjurus pada liberalisme, ternyata ibuku
malah memeranginya. Ibu menjadikan apa yang dilakukannya sebagai pemberian
manfaat bagi banyak orang. Jika aku belajar tentang teori egoism, Ibu malah berjuang dengan altruism. Ternyata kepuasan yang benar-benar memenuhi hati adalah
manfaat kita untuk orang lain bukan hanya tercapainya apa yang diinginkan diri
sendiri. Materi memang diperlukan untuk bertahan hidup di realitas dunia tapi
kepuasan batin lah yang akan membuat seorang manusia hidup damai dalam
kehidupannya. Seperti ibu yang selalu menyumbangkan waktu, tenaga dan senyumnya
untuk sebuah kedamaian yang dibangunnya dari keikhlasan. Jika perusahaan besar
hanya menyumbangkan dua persen dari keuntungannya untuk dana Corporate Social Responsibility (CSR), maka aku lebih berbangga karena
ibuku melakukan CSR tanpa harus menunggu keuntungan terkumpul. Setiap
keikhlasan yang ibu relakan seolah lebih besar dari dua persen CSR perusahaan
top.
Tentang
profitability dan sistem manajemen
memang menjadi tuntutan utama dalam kehidupan nyata dalam bisnis. Tapi alangkah
baiknya jika ternyata berdampingan dengan manajemen diri untuk membawa manfaat
bagi orang lain.
Untuk Kamis ini, cerita bersambung tentang dunia antah berantah akan saya pending dulu. Saya belum menemukan lanjutan yang utuh untuk klimaks minggu kemaren. Ini adalah tulisan yang saya buat setelah beberapa waktu 'mengobservasi' mama (ya, biasanya saya panggil dia mama, bukan ibu-tapi di tulisan ini untuk formalitas saja hehe)
BalasHapus