[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 22


Warning: Fiction Fantasy Detected Inside
Wah sudah melewati keeping dua puluh dan semua sudah hamper terbuka. Endingnya juga mungkin sudah dekat (oops, spoiler alert). Silahkan berspekulasi, tapi ending sudah ada di tangan author, hehehe. Happy reading…

LEIL
Dering telepon langsung menggugah tidurku, segera kusambar benda berisik itu. Suara June nyaring berteriak di ujungnya, aku hanya menguap menanggapi dia mengoceh.
“Ada apa June? Marah di pagi hari tidak baik untuk kesehatanmu. Bicaralah pelan-pelan.”
“Kemana saja kau kemarin? Pesta ulang tahun Jossie terasa hambar karena kau tidak datang. Kau mengecewakanku, Jossie, keluarganya dan ayahmu.”
Pesta ulang tahun Jossie? Astaga, apakah aku tidur seharian setelah hujan turun dan baru bangun pagi ini? Mengapa aku bisa sedemikian bodoh hingga melupakan undangan pesta itu? Padahal Jossie sudah mengundangku sebagai tamu spesialnya. Kulihat gaun yang dikirim Jossie masih tergantung di pintu lemari pakaian. Aku beringsut dari tempat tidur untuk membuka tirai jendela. Masih kudengarkan ocehan June di ujung telepon.
“Kau harus menemuinya hari ini.”
Kusisir rambut panjangku yang kusut tak beraturan dengan jemari sementara mata memandangi bayangan dari cermin. Sepertinya aku mengenakan kemeja yang bukan milikku. Kuteliti lagi kemeja yang kukenakan dan aku sama sekali tak menyadari bahwa aku memiliki kemeja ini.
“Leil, kau masih mendengarkanku?”
Tirai tersingkap dan pemandangan bukit langsung memenuhi ruang mata. Pepohonan yang terlihat basah dan masih mengikat embun di permukaan daunnya. Embun yang perlahan menggulung jatuh sebagai butiran bening. Aku masih ragu, apakah aku tidur semalaman dan melewatkan hujan lebat itu? Tak terpikirkan apapun yang kulakukan saat hujan turun.
“Ya. Ada hal lain lagi yang ingin kau katakan?”
“Sedang apa kau sekarang? Toko akan buka tiga puluh menit lagi. Cepatlah datang atau gajimu bulan ini akan kupotong!”
Langsung kulempar teleponku ke kasur dan bergegas ke kamar mandi. Mengapa aku bisa sesantai ini menikmati pemandangan pagi hari dan bertanya-tanya soal hujan semalam? Padahal harusnya aku bergegas bekerja. Aku bersiap ala kadarnya, kutemukan ayah dan aroma kopi dari cangkirnya. Tanpa sempat menyapa, langsung kusambar kopi itu dan selapis roti di meja makan.
“Aku berangkat dulu, Yah,” kataku sambil berlari keluar rumah.
“Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan siang! Oh ya, kau juga harus menemui Jossie dan bicara tentang pestanya,” kata ayah. Aku terus memikirkannya, tentang omelan June dan kalimat ayah. Sebuah bus langsung mengangkutku menuju toko June. Aku masih melahap roti isi yang sempat kusambar. Mengapa aku merasa melupakan sesuatu yang lain? Padahal sudah jelas yang kulupakan adalah jadwal kerjaku sendiri. Dasar ceroboh, Leil.
***
Aku masih membungkus beberapa pesanan buket pernikahan. Tapi pekerjaanku benar-benar tidak fokus pada apa yang tengah kukerjakan. Pikiranku melayang masih ke malam tadi. Apa aku benar-benar tidak melakukan apa-apa? Tiba-tiba pandanganku beralih ke satu titik, ke dekat kasir dan aku menemukan Jossie berdiri di sana dengan senyum manisnya. Aku langsung menghampirinya, mungkin aku akan mengucapkan selamat ulang tahun dan meminta maaf karena aku tidak hadir dalam pestanya.
“Hai, Josh. Kau mau mawar hari ini? Akan kubuat yang istimewa untukmu sebagai hadiah dariku. Maaf karena kemarin malam aku tidak bisa hadir di pestamu,” kataku. Tapi Jossie masih terus diam dan memandangiku. Apa kata-kataku itu tak mampu membuatku termaafkan?
“Selalu mawar yang pertama kau tanyakan. Aku punya hukuman yang sesuai untukmu,” kata Jossie dengan senyum manisnya. Astaga, aku baru saja memasuki gerbang bencana.
“Kuharap tidak terlalu buruk.”
“Aku meragukannya. Temani aku menghadiri pesta pembukaan kantor cabang baru di Tersa.”
“Pesta pembukaaan kantor baru?” ulangku.
“Tak ada alasan untuk menolak.”
“Sudahlah. Terima saja hukuman itu, Leil,” sahut June yang tiba-tiba melintas. Jossie melirik sesekali ke arahku, seolah dia memberiku waktu untuk berpikir. Bagaimana aku harus menjawabnya? Omongan June ada benarnya. Hukuman yang Jossie berikan cukup mudah dan toh itu tidak menyulitkanku.
“Aku hanya harus menghadiri sebuah pesta, bukan?”
“Tentu saja. Aku akan menyiapkan segala keperluanmu dan kita akan berangkat bersama lusa. Bagaimana?” Aku hanya mengagguk.
June segera merapat setelah Jossie pergi. Dia menyikutku dengan seringai menyerammkan, seolah dia baru saja mendapat gossip baru. Aku mengabaikannya yang masih terus mengekori langkahku. Apa sih yang dia mau?
“June,” kataku risih.
“Ya,” jawabnya penuh kemenangan. Senyum liciknya mengembang sempurna. Astaga apa yang harus kulakukan untuk membungkam mulut bosku yang licik ini.
“Apa yang harus kulakukan untuk menyumpal mulutmu?” June langsung mendekapku erat. Ia langsung berterima kasih untuk beberapa alasan yang menurutku tidak masuk akal. Intinya dia ingin memanfaatkanku untuk melakukan pekerjaan ekstra tanpa dia harus membayarnya. Ya, Leil yang payah. Memberikan jawaban yang berkaitan dengan Jossie di hadapan June adalah bencana besar. Harusnya aku lebih mempertimbangkannya.
“Ambilkan ini,” kata June sambil menyodorkan secarik nota dari toko pupuk dekat café Terry. Aku langsung mengulurkan tanganku, meminta ongkos untuk pembayarannya. Tapi yang kudapat hanya sebatas pelunasan nota. Tanganku masih belum beranjak dari hadapannya.
“Aku sudah melunasi setengahnya saat pemesanan. Jadi kau hanya perlu membayar sisanya. Singkirkan tanganmu. Aku tak akan memberi lebih dari itu,” katanya ketus.
“Hey kau tidak berpikir aku pergi jalan kaki, ‘kan? Setidaknya beri aku uang untuk naik bus atau taksi. Ayolah June,” rengekku. June mengambil sesuatu dari saku kemejanya dan sayangnya itu bukan uang tambahan. Ia meletakkan kunci mobilnya di tanganku.
“Kau bisa mengemudi dan mobilku bisa kau pakai,” jawab June dengan seringai penuh kemenangan. Baiklah, memang sulit memeras bos yang satu ini. Aku pasrah saja.
Dalam perjalanan, aku terus merutuki apa yang June lakukan padaku. Untung saja jalanan tak begitu ramai sehingga perjalananku lancar-lancar saja. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika jalanan macet ikut membuatku kesal. Terlalu mengerikan jika aku datang dan mengamuk di toko pupuk. Sesaat kemudian, aku sudah berada di halaman parkir toko pupuk dan… sial. Antrian panjang menyambutku yang baru turun dari mobil. Apa ini semacam pembagian pupuk gratis atau apalah yang membuat banyak orang rela mengular? Astaga. Aku berjalan ke depan, menyusuri banyak orang yang tengah berbaris hingga aku menemukan loket dengan seorang gadis pirang sebagai kasirnya. Beberapa pasang mata mengintai gerakanku, otomatis mereka segera merapatkan barisan.
“Halo, aku ingin mengambil pesanan seminggu yang lalu,” kataku pada gadis itu.
“Hey kau bisa menunggu dalam barisan,” celetuk seseorang dengan nada kesal.
“Ya, antri saja dulu. Apa dia tidak lihat antriannya masih panjang? Dasar anak muda jaman sekarang, selalu tidak mau kalah,” omel seorang nenek yang diikuti persetujuan mereka semua.
“Tapi aku sudah memesannya,” kataku ngotot.
“Kau pikir kami belum memesannya!” seru yang lainnya lagi mencoba menimpali. Baiklah, sepertinya aku jadi yang paling aneh karena mengambil pupuk dan pergi ke toko ini baru pertama kali aku lakukan selama bekerja bersama June. Cukup lama untuk menunggu hingga belasan orang di depanku akhirnya memudar dan kini giliranku.
“Aku mengambil pesanan dari La Beau Florist,” kataku sambil menyerahkan nota pemesanan, perempuan itu langsung mengambilnya.
“Wah, orang baru. Biasanya June yang mengambil sendiri,” sahutnya.
“Ya, hari ini dia sedang ingin menindas satu-satunya pegawai yang dia miliki.”
“Oh, jadi kau Leil Grazdien itu?” aku hanya mengangguk. Antara kagum dan terkejut, bagaimana dia tahu namaku tapi tidak tahu kalau akulah orangnya? Haruskah kutanyakan itu? Dia langsung mengulurkan tangannya dan mengajakku berjabat tangan.
“Namaku Lussia, aku beberapa kali bertanya tentang Jossie pada June. Dia bilang pria itu sering mampir ke tokonya dan menggoda pegawainya. Ternyata itu kau, sayang,” ungkapnya. Astaga June, wabah yang kau sebarkan sepertinya sudah mencemari udara Viga hingga sesaat aku merasa dadaku sesak. Aku hanya tersenyum getir menanggapinya.
“Apa aku sudah bisa mengambil pesananku?” tanyaku. Kupikir aku harus menanyakannya sebelum dia melupakan apa tujuan utamaku datang ke tokonya. Dia keluar dari meja kasir dan merangkul bahuku dengan akrab.
“Tenang saja, aku akan menyuruh Boby mengangkutnya ke mobilmu.” Lussia langsung berteriak pada seorang pria gendut untuk mengangkat pesananku. Sementara kami terdampar di sofa panjang di ruang tengah toko. Ia terus menanyakan tentangku, sekolahku, rumahku, ayahku, gaya pakaianku, jenis musik yang kudengarkan, majalah yang kubaca dan segudang pertanyaan tentang kesukaan Jossie. Sungguh gadis yang satu ini begitu bersemangat tentang apapun menyangkut Jossie meskipun aku hanya menjawab seperlunya saja.
“Hey Lu, sampai kapan kalian akan bergosip. Antriannya semakin panjang,” seru Boby. Lussia langsung berdiri dan kami pun akhirnya menyudahi percakapan aneh ini. Kuserahkan setengah uang dari tagihan tapi Lussia segera menolaknya dan berbisik padaku.
“Ini rahasia kita, kuberi kau setengah harga saja. Jadi simpanlah uang itu,” bisiknya.
“Sungguh?” wow, begitu dahsyatkah obrolan kami? Lussia mengangguk dan segera kembali ke meja kasir. Aku sudah bersiap di belakang kemudi, tiba-tiba gadis mungil itu muncul di jendela mobilku.
“Astaga,” kataku terkejut.
“Aku punya banyak waktu untuk mendengar ceritamu.”
Thanks, Lu.” Aku segera pergi dari tokonya dan yang kudengar hanya teriakannya yang memintaku kembali lain waktu dan iming-iming diskon. Ada apa dengan gadis itu? Entahlah.
Saat melewati kedai es krim, sepertinya ada hal jahat yang merasuki kepala. June tidak tahu tentang diskon yang kudapatkan bukan? Jadi apa salahnya jika aku memanfaatkannya untuk membeli es krim? Kupikir itu cukup layak untuk keberuntunganku. Aku langsung masuk dan sapaan pria seumuran ayah dengan brewoknya langsung menyambutku. Namanya Benji, dia pemilik kedai es krim ini. Ia juga teman baik ayah dan jadi temanku juga karena kami sering makan es krim di sini bahkan sejak aku kecil.
“Nona Grazdien kecil, apa pesananmu tidak berubah?” Aku menggeleng.
“Aku mau es krim moca dengan tambahan hazelnut dan coklat padat di dasar cone,” kataku mantap. Aku langsung duduk di salah satu kursi yang menghadap ke jalanan. Hari mulai sore dan trotoar mulai ramai dengan pejalan kaki. Benji datang membawa pesananku.
“Ini dia,” katanya.
“Terima kasih, Ben.” Aku langsung menyendok es krim di mejaku. Benji duduk di sampingku dan kami sama-sama memandangi lalu lalang trotoar.
“Kau datang sendirian hari ini?” aku menatapnya dan tak mengerti dengan perkataannya.
“Ya, bukankah biasanya kau datang dengan Jossie dan temanmu yang satunya? Terakhir kali kau kesini, kudengar kalian bertiga bertengkar. Tapi sekarang sudah baik-baik saja bukan?”
“Tentu. Bahkan Jossie sangat baik padaku,” jawabku singkat. Tapi sebenarnya aku tak mengerti dengan kalimat Benji. Mengapa dia katakan kami bertiga? Jika ada aku dan Jossie lalu siapa teman lain yang bersamaku dan kami bertengkar?
***
Begitu sampai di toko, kulemparkan kunci mobil June ke meja kasir. Seperti biasa, dia tengah berkutat dengan tombol kalkulator bahkan sampai tak memperhatikan keberadaanku. Jam kerja nyaris berakhir jadi kumasukkan beberapa ember bunga yang ada di luar dan mulai menutup tirai. Kami sudah tutup untuk hari ini. Kuangkat sekeranjang krisan yang baru saja dipanen dan langkahku terhenti. Krisan? Pilihan yang bagus bukan? Tapi bukan itu yang menghentikanku, pandanganku melayang ke arah bukit dan terasa ada sesuatu yang mengganjal.
“Leil,” panggil June. Aku segera menyahut dan menghampirinya.
“Kembalikan uang yang kuberikan padamu,” katanya tanpa basa-basi. Heh? Dia tahu aku tak menggunakan uangnya untuk membayar pupuk?
“Tidak ada yang tersisa, kau memberiku uang pas untuk pembayarannya ‘kan? Jangan memerasku dan meminta uang kembalian seperti itu,” kilahku.
“Kau tidak berniat mengambil aset perusahaan bukan? Aku tahu Lussia memberimu diskon karena cerita tentang Jossie. Kembalikan,” tuntutnya. Kukembalikan uang yang tersisa, hanya berkurang beberapa untuk membeli es krim.
“Jadi kau tahu?”
“Untuk apa aku mengirimmu jika aku tidak mendapatkan apa-apa. Dia selalu bertanya-tanya mengapa Jossie selalu datang ke tokoku dan dia tentunya penasaran dengan gadisnya Jossie. Dia pasti sangat bahagia sampai-sampai dia memberimu diskon sebanyak itu,” katanya yang kemudian diikuti tawa ala nenek sihir dalam film tuan puteri. Sialan dia. Memanfaatkanku untuk mendapatkan keuntungan, betapa berbahayanya wanita ini. Selesai berkemas aku langsung keluar dari toko. June menawariku untuk pulang bersama tapi aku menolaknya. Aku ingin pulang sendiri.
Kurapatkan jaket karena udara dingin malam hari mulai menusuk. Bus yang biasa membawaku pulang belum juga muncul. Aku masih setia menunggu di halte dan memandangi sekitar. Tak seriuh biasanya, trotoar sepi dari pejalan kaki. Sesekali gerombolan remaja melintas sambil bergosip hangat sepanjang jalan. Lampu jalan menyala dengan temaram tapi cukup terang untuk ciptakan lingkaran cahaya di aspal. Kubaca beberapa iklan yang menempel di papan promosi halte. Salah satu yang menarik perhatianku adalah pamphlet hijau yang dihiasi desain bebungaan di pinggirannya. Tapi saat kubaca, ternyata acaranya sudah terlewat berminggu-minggu. Sepertinya aku familiar dengan acara itu. Pelatihan berkebun?
Bus yang kutunggu telah datang, baiklah Leil, ini waktunya untuk pulang dan istirahatkan dirimu dari segala yang melelahkan. Fiuh, betapa leganya aku.


(Bersambung…)

2 komentar:

  1. Hemm..
    muncul tokoh baru nih, tp jangan kebanyakan ya bang. Jujur aku ga begitu srek kalo tokohnya banyak (apalagi seRT) upss..

    baru sadar kalo Leil udah di "guna guna" sampai hilang ingatan gitu. tp jangan kelamaan ya, nanti kayak sinetron. hahaha..
    kasian Pieree nya. Abang bilang ga fokus ke cinta-cintaan, tp aku ngerasa sebalikya, entah itu hubungan apa tp fokusnya ke arah situ(sebagai pembaca awam)

    semangat terus bang..
    lanjut ya ^^
    #kaukanabang

    BalasHapus
    Balasan
    1. si tokoh baru itu cuma nongol sebentar kok. karena diriku menghilangkan salah satu tokoh jadi harus diisi sama tokoh lain meskipun sementara. jadi ga terasa kosong dan ga terkesan bahwa hidup Leil cuma buat mengejar pertanyaan siapa itu Pierre.

      Guna-gunanya ga sebagus dukun Indonesia kok. haha, dan diriku juga tidak berniat menjadikan ini sinetron kejar tayang yang nyampe beratus episode cuma untuk menjawab pertanyaan siapa aku? ato siapa kamu? hehe

      oh jadi itu yang namanya cinta? hmmm *poker face*. ternyata tanpa sadar aku membawa imajinasi ini ke genre romance ya. hmmm.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.