Wah sudah melewati keeping dua puluh dan semua sudah hamper terbuka.
Endingnya juga mungkin sudah dekat (oops, spoiler
alert). Silahkan berspekulasi, tapi
ending sudah ada di tangan author, hehehe. Happy reading…
LEIL
Dering telepon langsung menggugah tidurku, segera kusambar benda
berisik itu. Suara June nyaring berteriak di ujungnya, aku hanya menguap
menanggapi dia mengoceh.
“Ada apa June? Marah di pagi hari tidak baik untuk kesehatanmu.
Bicaralah pelan-pelan.”
“Kemana saja kau kemarin?
Pesta ulang tahun Jossie terasa hambar karena kau tidak datang. Kau
mengecewakanku, Jossie, keluarganya dan ayahmu.”
Pesta ulang tahun Jossie? Astaga, apakah aku tidur seharian
setelah hujan turun dan baru bangun pagi ini? Mengapa aku bisa sedemikian bodoh
hingga melupakan undangan pesta itu? Padahal Jossie sudah mengundangku sebagai
tamu spesialnya. Kulihat gaun yang dikirim Jossie masih tergantung di pintu
lemari pakaian. Aku beringsut dari tempat tidur untuk membuka tirai jendela.
Masih kudengarkan ocehan June di ujung telepon.
“Kau harus menemuinya
hari ini.”
Kusisir rambut panjangku yang kusut tak beraturan dengan jemari
sementara mata memandangi bayangan dari cermin. Sepertinya aku mengenakan
kemeja yang bukan milikku. Kuteliti lagi kemeja yang kukenakan dan aku sama
sekali tak menyadari bahwa aku memiliki kemeja ini.
“Leil, kau masih
mendengarkanku?”
Tirai tersingkap dan pemandangan bukit langsung memenuhi ruang
mata. Pepohonan yang terlihat basah dan masih mengikat embun di permukaan
daunnya. Embun yang perlahan menggulung jatuh sebagai butiran bening. Aku masih
ragu, apakah aku tidur semalaman dan melewatkan hujan lebat itu? Tak
terpikirkan apapun yang kulakukan saat hujan turun.
“Ya. Ada hal lain lagi yang ingin kau katakan?”
“Sedang apa kau sekarang?
Toko akan buka tiga puluh menit lagi. Cepatlah datang atau gajimu bulan ini
akan kupotong!”
Langsung kulempar teleponku ke kasur dan bergegas ke kamar mandi.
Mengapa aku bisa sesantai ini menikmati pemandangan pagi hari dan bertanya-tanya
soal hujan semalam? Padahal harusnya aku bergegas bekerja. Aku bersiap ala
kadarnya, kutemukan ayah dan aroma kopi dari cangkirnya. Tanpa sempat menyapa,
langsung kusambar kopi itu dan selapis roti di meja makan.
“Aku berangkat dulu, Yah,” kataku sambil berlari keluar rumah.
“Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan siang! Oh ya, kau juga
harus menemui Jossie dan bicara tentang pestanya,” kata ayah. Aku terus
memikirkannya, tentang omelan June dan kalimat ayah. Sebuah bus langsung
mengangkutku menuju toko June. Aku masih melahap roti isi yang sempat kusambar.
Mengapa aku merasa melupakan sesuatu yang lain? Padahal sudah jelas yang
kulupakan adalah jadwal kerjaku sendiri. Dasar ceroboh, Leil.
***
Aku masih membungkus
beberapa pesanan buket pernikahan. Tapi pekerjaanku benar-benar tidak fokus
pada apa yang tengah kukerjakan. Pikiranku melayang masih ke malam tadi. Apa
aku benar-benar tidak melakukan apa-apa? Tiba-tiba pandanganku beralih ke satu
titik, ke dekat kasir dan aku menemukan Jossie berdiri di sana dengan senyum
manisnya. Aku langsung menghampirinya, mungkin aku akan mengucapkan selamat
ulang tahun dan meminta maaf karena aku tidak hadir dalam pestanya.
“Hai, Josh. Kau mau mawar
hari ini? Akan kubuat yang istimewa untukmu sebagai hadiah dariku. Maaf karena
kemarin malam aku tidak bisa hadir di pestamu,” kataku. Tapi Jossie masih terus
diam dan memandangiku. Apa kata-kataku itu tak mampu membuatku termaafkan?
“Selalu mawar yang pertama kau tanyakan.
Aku punya hukuman yang sesuai untukmu,” kata Jossie dengan senyum manisnya.
Astaga, aku baru saja memasuki gerbang bencana.
“Kuharap tidak terlalu buruk.”
“Aku meragukannya. Temani aku menghadiri
pesta pembukaan kantor cabang baru di Tersa.”
“Pesta pembukaaan kantor baru?” ulangku.
“Tak ada alasan untuk menolak.”
“Sudahlah. Terima saja hukuman itu,
Leil,” sahut June yang tiba-tiba melintas. Jossie melirik sesekali ke arahku,
seolah dia memberiku waktu untuk berpikir. Bagaimana aku harus menjawabnya?
Omongan June ada benarnya. Hukuman yang Jossie berikan cukup mudah dan toh itu tidak menyulitkanku.
“Aku hanya harus menghadiri sebuah
pesta, bukan?”
“Tentu saja. Aku akan menyiapkan segala
keperluanmu dan kita akan berangkat bersama lusa. Bagaimana?” Aku hanya mengagguk.
June segera merapat setelah Jossie
pergi. Dia menyikutku dengan seringai menyerammkan, seolah dia baru saja
mendapat gossip baru. Aku mengabaikannya yang masih terus mengekori langkahku.
Apa sih yang dia mau?
“June,” kataku risih.
“Ya,” jawabnya penuh kemenangan. Senyum
liciknya mengembang sempurna. Astaga apa yang harus kulakukan untuk membungkam
mulut bosku yang licik ini.
“Apa yang harus kulakukan untuk
menyumpal mulutmu?” June langsung mendekapku erat. Ia langsung berterima kasih
untuk beberapa alasan yang menurutku tidak masuk akal. Intinya dia ingin
memanfaatkanku untuk melakukan pekerjaan ekstra tanpa dia harus membayarnya.
Ya, Leil yang payah. Memberikan jawaban yang berkaitan dengan Jossie di hadapan
June adalah bencana besar. Harusnya aku lebih mempertimbangkannya.
“Ambilkan ini,” kata June sambil menyodorkan
secarik nota dari toko pupuk dekat café Terry. Aku langsung mengulurkan
tanganku, meminta ongkos untuk pembayarannya. Tapi yang kudapat hanya sebatas
pelunasan nota. Tanganku masih belum beranjak dari hadapannya.
“Aku sudah melunasi setengahnya saat
pemesanan. Jadi kau hanya perlu membayar sisanya. Singkirkan tanganmu. Aku tak
akan memberi lebih dari itu,” katanya ketus.
“Hey kau tidak berpikir aku pergi jalan
kaki, ‘kan? Setidaknya beri aku uang untuk naik bus atau taksi. Ayolah June,”
rengekku. June mengambil sesuatu dari saku kemejanya dan sayangnya itu bukan
uang tambahan. Ia meletakkan kunci mobilnya di tanganku.
“Kau bisa mengemudi dan mobilku bisa kau
pakai,” jawab June dengan seringai penuh kemenangan. Baiklah, memang sulit
memeras bos yang satu ini. Aku pasrah saja.
Dalam perjalanan, aku terus merutuki apa
yang June lakukan padaku. Untung saja jalanan tak begitu ramai sehingga
perjalananku lancar-lancar saja. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan
terjadi jika jalanan macet ikut membuatku kesal. Terlalu mengerikan jika aku
datang dan mengamuk di toko pupuk. Sesaat kemudian, aku sudah berada di halaman
parkir toko pupuk dan… sial. Antrian panjang menyambutku yang baru turun dari
mobil. Apa ini semacam pembagian pupuk gratis atau apalah yang membuat banyak
orang rela mengular? Astaga. Aku berjalan ke depan, menyusuri banyak orang yang
tengah berbaris hingga aku menemukan loket dengan seorang gadis pirang sebagai kasirnya.
Beberapa pasang mata mengintai gerakanku, otomatis mereka segera merapatkan
barisan.
“Halo, aku ingin mengambil pesanan
seminggu yang lalu,” kataku pada gadis itu.
“Hey kau bisa menunggu dalam barisan,”
celetuk seseorang dengan nada kesal.
“Ya, antri saja dulu. Apa dia tidak
lihat antriannya masih panjang? Dasar anak muda jaman sekarang, selalu tidak
mau kalah,” omel seorang nenek yang diikuti persetujuan mereka semua.
“Tapi aku sudah memesannya,” kataku
ngotot.
“Kau pikir kami belum memesannya!” seru
yang lainnya lagi mencoba menimpali. Baiklah, sepertinya aku jadi yang paling
aneh karena mengambil pupuk dan pergi ke toko ini baru pertama kali aku lakukan
selama bekerja bersama June. Cukup lama untuk menunggu hingga belasan orang di
depanku akhirnya memudar dan kini giliranku.
“Aku mengambil pesanan dari La Beau
Florist,” kataku sambil menyerahkan nota pemesanan, perempuan itu langsung
mengambilnya.
“Wah, orang baru. Biasanya June yang
mengambil sendiri,” sahutnya.
“Ya, hari ini dia sedang ingin menindas
satu-satunya pegawai yang dia miliki.”
“Oh, jadi kau Leil Grazdien itu?” aku
hanya mengangguk. Antara kagum dan terkejut, bagaimana dia tahu namaku tapi
tidak tahu kalau akulah orangnya? Haruskah kutanyakan itu? Dia langsung
mengulurkan tangannya dan mengajakku berjabat tangan.
“Namaku Lussia, aku beberapa kali
bertanya tentang Jossie pada June. Dia bilang pria itu sering mampir ke tokonya
dan menggoda pegawainya. Ternyata itu kau, sayang,” ungkapnya. Astaga June,
wabah yang kau sebarkan sepertinya sudah mencemari udara Viga hingga sesaat aku
merasa dadaku sesak. Aku hanya tersenyum getir menanggapinya.
“Apa aku sudah bisa mengambil
pesananku?” tanyaku. Kupikir aku harus menanyakannya sebelum dia melupakan apa
tujuan utamaku datang ke tokonya. Dia keluar dari meja kasir dan merangkul
bahuku dengan akrab.
“Tenang saja, aku akan menyuruh Boby
mengangkutnya ke mobilmu.” Lussia langsung berteriak pada seorang pria gendut
untuk mengangkat pesananku. Sementara kami terdampar di sofa panjang di ruang
tengah toko. Ia terus menanyakan tentangku, sekolahku, rumahku, ayahku, gaya
pakaianku, jenis musik yang kudengarkan, majalah yang kubaca dan segudang
pertanyaan tentang kesukaan Jossie. Sungguh gadis yang satu ini begitu bersemangat
tentang apapun menyangkut Jossie meskipun aku hanya menjawab seperlunya saja.
“Hey Lu, sampai kapan kalian akan
bergosip. Antriannya semakin panjang,” seru Boby. Lussia langsung berdiri dan
kami pun akhirnya menyudahi percakapan aneh ini. Kuserahkan setengah uang dari tagihan
tapi Lussia segera menolaknya dan berbisik padaku.
“Ini rahasia kita, kuberi kau setengah
harga saja. Jadi simpanlah uang itu,” bisiknya.
“Sungguh?” wow, begitu dahsyatkah
obrolan kami? Lussia mengangguk dan segera kembali ke meja kasir. Aku sudah
bersiap di belakang kemudi, tiba-tiba gadis mungil itu muncul di jendela
mobilku.
“Astaga,” kataku terkejut.
“Aku punya banyak waktu untuk mendengar
ceritamu.”
“Thanks,
Lu.” Aku segera pergi dari tokonya dan yang kudengar hanya teriakannya yang
memintaku kembali lain waktu dan iming-iming diskon. Ada apa dengan gadis itu?
Entahlah.
Saat melewati kedai es krim, sepertinya
ada hal jahat yang merasuki kepala. June tidak tahu tentang diskon yang
kudapatkan bukan? Jadi apa salahnya jika aku memanfaatkannya untuk membeli es
krim? Kupikir itu cukup layak untuk keberuntunganku. Aku langsung masuk dan
sapaan pria seumuran ayah dengan brewoknya langsung menyambutku. Namanya Benji,
dia pemilik kedai es krim ini. Ia juga teman baik ayah dan jadi temanku juga
karena kami sering makan es krim di sini bahkan sejak aku kecil.
“Nona Grazdien kecil, apa pesananmu
tidak berubah?” Aku menggeleng.
“Aku mau es krim moca dengan
tambahan hazelnut dan coklat padat di dasar cone,”
kataku mantap. Aku langsung duduk di salah satu kursi yang menghadap ke jalanan.
Hari mulai sore dan trotoar mulai ramai dengan pejalan kaki. Benji datang
membawa pesananku.
“Ini dia,” katanya.
“Terima kasih, Ben.” Aku
langsung menyendok es krim di mejaku. Benji duduk di sampingku dan kami
sama-sama memandangi lalu lalang trotoar.
“Kau datang sendirian
hari ini?” aku menatapnya dan tak mengerti dengan perkataannya.
“Ya, bukankah biasanya
kau datang dengan Jossie dan temanmu yang satunya? Terakhir kali kau kesini,
kudengar kalian bertiga bertengkar. Tapi sekarang sudah baik-baik saja bukan?”
“Tentu. Bahkan Jossie
sangat baik padaku,” jawabku singkat. Tapi sebenarnya aku tak mengerti dengan
kalimat Benji. Mengapa dia katakan kami bertiga? Jika ada aku dan Jossie lalu
siapa teman lain yang bersamaku dan kami bertengkar?
***
Begitu sampai di toko, kulemparkan kunci
mobil June ke meja kasir. Seperti biasa, dia tengah berkutat dengan tombol
kalkulator bahkan sampai tak memperhatikan keberadaanku. Jam kerja nyaris
berakhir jadi kumasukkan beberapa ember bunga yang ada di luar dan mulai
menutup tirai. Kami sudah tutup untuk hari ini. Kuangkat sekeranjang krisan
yang baru saja dipanen dan langkahku terhenti. Krisan? Pilihan yang bagus
bukan? Tapi bukan itu yang menghentikanku, pandanganku melayang ke arah bukit
dan terasa ada sesuatu yang mengganjal.
“Leil,” panggil June. Aku segera
menyahut dan menghampirinya.
“Kembalikan uang yang kuberikan padamu,”
katanya tanpa basa-basi. Heh? Dia tahu aku tak menggunakan uangnya untuk
membayar pupuk?
“Tidak ada yang tersisa, kau memberiku
uang pas untuk pembayarannya ‘kan? Jangan memerasku dan meminta uang kembalian
seperti itu,” kilahku.
“Kau tidak berniat mengambil aset
perusahaan bukan? Aku tahu Lussia memberimu diskon karena cerita tentang
Jossie. Kembalikan,” tuntutnya. Kukembalikan uang yang tersisa, hanya berkurang
beberapa untuk membeli es krim.
“Jadi kau tahu?”
“Untuk apa aku mengirimmu jika aku tidak
mendapatkan apa-apa. Dia selalu bertanya-tanya mengapa Jossie selalu datang ke
tokoku dan dia tentunya penasaran dengan gadisnya
Jossie. Dia pasti sangat bahagia sampai-sampai dia memberimu diskon sebanyak
itu,” katanya yang kemudian diikuti tawa ala nenek sihir dalam film tuan
puteri. Sialan dia. Memanfaatkanku untuk mendapatkan keuntungan, betapa
berbahayanya wanita ini. Selesai berkemas aku langsung keluar dari toko. June
menawariku untuk pulang bersama tapi aku menolaknya. Aku ingin pulang sendiri.
Kurapatkan jaket karena udara dingin
malam hari mulai menusuk. Bus yang biasa membawaku pulang belum juga muncul.
Aku masih setia menunggu di halte dan memandangi sekitar. Tak seriuh biasanya,
trotoar sepi dari pejalan kaki. Sesekali gerombolan remaja melintas sambil
bergosip hangat sepanjang jalan. Lampu jalan menyala dengan temaram tapi cukup
terang untuk ciptakan lingkaran cahaya di aspal. Kubaca beberapa iklan yang
menempel di papan promosi halte. Salah satu yang menarik perhatianku adalah pamphlet hijau yang dihiasi desain
bebungaan di pinggirannya. Tapi saat kubaca, ternyata acaranya sudah terlewat
berminggu-minggu. Sepertinya aku familiar dengan acara itu. Pelatihan berkebun?
Bus yang kutunggu telah datang, baiklah
Leil, ini waktunya untuk pulang dan istirahatkan dirimu dari segala yang
melelahkan. Fiuh, betapa leganya aku.
(Bersambung…)
Hemm..
BalasHapusmuncul tokoh baru nih, tp jangan kebanyakan ya bang. Jujur aku ga begitu srek kalo tokohnya banyak (apalagi seRT) upss..
baru sadar kalo Leil udah di "guna guna" sampai hilang ingatan gitu. tp jangan kelamaan ya, nanti kayak sinetron. hahaha..
kasian Pieree nya. Abang bilang ga fokus ke cinta-cintaan, tp aku ngerasa sebalikya, entah itu hubungan apa tp fokusnya ke arah situ(sebagai pembaca awam)
semangat terus bang..
lanjut ya ^^
#kaukanabang
si tokoh baru itu cuma nongol sebentar kok. karena diriku menghilangkan salah satu tokoh jadi harus diisi sama tokoh lain meskipun sementara. jadi ga terasa kosong dan ga terkesan bahwa hidup Leil cuma buat mengejar pertanyaan siapa itu Pierre.
HapusGuna-gunanya ga sebagus dukun Indonesia kok. haha, dan diriku juga tidak berniat menjadikan ini sinetron kejar tayang yang nyampe beratus episode cuma untuk menjawab pertanyaan siapa aku? ato siapa kamu? hehe
oh jadi itu yang namanya cinta? hmmm *poker face*. ternyata tanpa sadar aku membawa imajinasi ini ke genre romance ya. hmmm.