Yoo semuanya, saatnya
update. Maaf kalo ga dikasih warning, karena saya pun merasa bahwa semakin lama
kok semakin kental romance nya. Jadi apa boleh buat, hmm langsung saja. Keping
23, fresh from the oven (-_- emang ini roti, hadeeh authornya kebanyakan
jungkir balik membuat lanjutan ini cerita. Maafkan…). Happy reading…
LEIL
“Ayah, sarapan sudah
siap,” seruku. Tak berapa lama kemudian ayah langsung masuk sambil menenteng
koran dan cangkir kopi. Kutuang air putih ke gelas di depan ayah dan gelasku
lalu duduk. Ayah memimpin doa dan kami makan bersama walaupun menunya
sederhana. Ya, aku baru bisa membuat omelet dan ayah suka. Tapi aku tahu
sebenarnya ayah hanya menahan tiap kekurangan dari masakanku. Aku masih terus
belajar sampai masakanku seenak buatan ibu, ya sampai saat ini hanya omelet
saja yang rasanya sudah mirip buatan ibu.
“Hari ini kau masuk
kerja?”
“Ya, hanya setengah hari.
June tahu bahwa Jossie mengajakku pergi jadi dia mengizinkanku pulang lebih
awal,” jelasku. Ayah mengangguk setuju.
“Dia memang bos terbaik,”
sahut ayah. Aku mengulangi kalimatnya sembari mengerutkan dahi.
“Bagaimana dengan ayah?
Bisa mengantarku ke rumah Jossie?”
“Aku ada pekerjaan di
luar kota. Sepertinya aku segera pergi setelah sarapan, pekerjaan kali ini
cukup jauh. Aku harus pergi ke Linas,” katanya dengan nada penuh penyesalan.
Aku jadi merasa bersalah harus menanyakannya.
“Tidak masalah. Aku akan
menelpon Jossie untuk menjemputmu. Kau juga tahu kan kalau dia pasti punya
banyak sopir terbengkalai di rumahnya. Salah satunya akan menjemputmu,” kata
ayah kemudian. Ia segera merapikan piringnya setelah sarapannya habis.
“Aku yang akan
membereskannya,” sahutku. Ayah langsung naik ke kamarnya dan mempersiapkan
peralatan berburunya sementara aku membereskan piring kotor. Ayah sudah bersiap
di belakang kemudi dan tersenyum menatapku.
“Kau harus bergegas,
Yah,” kataku yang masih bersandar pada tiang depan pintu.
“Ternyata anakku sudah
sebesar ini,” katanya sambil terbahak. Astaga, apa itu penting? Kalimat dari
seorang ayah yang baru menyadari bahwa bocah perempuannya sekarang sudah tumbuh
besar dan bisa menyiapkan sarapan. Lelucon yang tidak penting.
“Hei jangan lupa siram
tomatmu. Tak biasanya kau melupakan tanaman itu. Aku pergi,” seru ayah.
Mobilnya mulai menjamah jalanan dan perlahan-lahan menjauh dari pandanganku.
Tomat? Apa yang ayah bicarakan? Aku menyusuri teras rumah dan menemukan sebuah
pot berisi tanaman yang mulai menyembulkan buah kecil di tangkai hijaunya.
“Tomat?” aku duduk di
sofa teras dan memandanginya. Tanahnya mengering meskipun daunnya berhasil
menangkap titik-titik embun pagi ini. Aku lupa menyiramnya? Aku bahkan baru
tahu kalau aku memeliharanya. Sejak kapan aku mulai rajin berkebun? Mengapa
harus tomat yang ada dalam pot tanamanku? Aneh sekali.
Setelah menyiram tomat
itu, aku segera menuju toko June. Entah mengapa aku bisa bayangkan apa kata
yang akan terucap darinya jika aku terlambat. Dia pasti akan bicara tentang
pemotongan gaji ataupun mengancam untuk membocorkan rahasia tentang undangan
pesta Jossie. Dasar June.
Lonceng toko berdenting
saat aku masuk. June tengah membuka tirai dan penyekat jendela, aku segera
menuju ruang pegawai dan mengenakan celemek motif bebungaan. Juga kusimpan
tasku di loker pegawai yang hanya berjumlah lima buah.
“Bagaimana dengan
Jossie?”
“Kupikir kita sepakat
untuk tidak membicarakannya lagi?” jawabku ketus. June menggerakan jemarinya di
depan mulut seolah ia tengah menutupnya rapat dengan kunci.
“Ayo keluarkan keranjang
mawar dan krisannya, biar aku yang mengurus tirai.”
“Oke.” Aku segera
menggotong keranjang rotan berisi ratusan tangkai mawar merah dan meletakannya
di dekat pintu toko. Begitu juga dengan sekeranjang krisan. Kuambil beberapa
krisan yang layu dari keranjang dan diam. Mengapa sampai ada krisan layu di
keranjang. Segerombolan burung terbang riang melintasi depan toko dan terbang
bebas ke arah bukit. Kupandangi sejenak bukit itu. Lama kelamaan aku memikirkan
sesuatu tentang bukit itu, aku merasa ada yang hilang dengan sesuatu di bukit.
Apa yang kupikirkan?
“Kau tidak ke bukit?”
tanya June tiba-tiba. Lamunanku langsung buyar.
“Untuk apa?” kataku balik
bertanya.
“Benar juga. Aku senang
mendengarnya. Aku turut senang jika satu-satunya pegawaiku kembali pada
kewarasannya,”
“Katakan lagi dan akan
kubuat ayah memburumu.”
“Hahaha, hanya bercanda
Leil. Selesaikan pekerjaanmu atau gajimu kau potong,”
***
Hari beranjak sore ketika
Jossie mengirimkan sopir yang dulu menjemputku dan ayah, ia bahkan menjemputku
di depan toko June. Tapi kali ini hanya menjemputku dan aku benar-benar menjadi
seorang Cinderella. Jossie memiliki ibu perinya sendiri yang luar biasa hebat
hingga mampu mengubahku menjadi lebih anggun dari yang kubayangkan. Malam
harinya, aku siap untuk pesta dengan gaun merah maroon elegan melapisi tubuhku. Gaun indah dari sutra pilihan yang
sengaja dipilih oleh Jossie. Kalung dan gelang mutiara menghiasiku. Aku
menggandeng lengan Jossie sepanjang acara karena aku tak mau tersesat. Beberapa
tamu tak mengenaliku sebagai gadis yang bekerja di toko bunga. Mereka
menyalamiku dan menanyakan apa nama perusahaan ayahku, siapa ayahku dan bidang
usaha perusahaan. Aku hanya diam menerima semua pertanyaan itu dan membiarkan
Jossie terus menyelamatkanku.
“Hey, apa pesta ini tidak
membuatmu bahagia?” Tegur Jossie ketika menemukanku termenung di pojok ruangan
sambil menikmati kudapan.
“Bukan begitu. Aku hanya
merasa tersesat.”
“Bukankah kau bersamaku?”
“Justru karena aku
bersamamu.” Jossie langsung menyambar jemariku dan kami berputar di lantai
dansa. Dia sungguh menawan, aku merasa beruntung kami sahabat baik. Setelah
puas dan menghilangkan sedikit rasa canggung, kami menuju meja panjang penuh
hidangan. Awalnya masih terasa nyaman dan aku semakin percaya diri, sampai saat
pers lewat.
“Tuan Franklin, mereka
adalah reporter dari Viga News. Mereka memburu berita spesial dan setelah
seleksi yang ketat, mereka terpilih sebagai kantor berita resmi yang boleh
meliput secara ekslusif tentang malam ini,” kata salah satu asisten Jossie.
“Oh, baiklah. Buat berita
yang bagus dan manfaatkan kesempatan ini dengan baik.” Jossie masih tetap
menggenggam jemariku meski di hadapan kamera. Ia memperkenalkanku, ia terlihat
terus menyempurnakan kalimatku agar rasa canggung ini berkurang. Seperti itulah
malam berlalu.
***
Aku duduk meringkuk di
sofa teras sambil menikmati sisa udara dingin di pagi hari. Secangkir kopi
masih mengepulkan uap di sebelahku. Sementara selimut tebal masih membungkusku
secara sempurna. Kupandangi tomat yang ada di hadapanku. Mobil ayah berhenti di
halaman, astaga ia baru kembali dari Linas. Tanpa mengeluarkan peralatannya, ia
keluar dari mobil dan memungut sesuatu. Apa dia akan pergi lagi?
“Selamat pagi sayang,”
sapa ayah. Dia duduk di sebelahku dan langsung menyambar kopi.
“Kau tidak segera bersiap
untuk berangkat kerja?” tanyanya sambil membolak-balik halaman koran hari ini.
Sepertinya benda itulah yang tadi dipungutnya.
“Hari ini toko June
tutup. Dia harus menghadiri pertemuan keluarga dan akan menginap di rumah
mertuanya. Beruntung bagiku.”
“Oh begitu. Apa kau mau
ikut denganku ke Tersa? Ayo kita memancing di sana, aku ada kenalan yang bisa
meminjamkan kita sebuah feri dengan cuma-cuma,” ajak ayah bersemangat.
“Tidak, terima kasih.
Ayah akan langsung pergi lagi ke Tersa?”
“Tersa adalah kota yang tepat
untuk memperbaiki perlengkapan. Aku juga akan membelikanmu sesuatu yang baru.
Kau mau ikut?” aku hanya menggeleng. “Ayolah, apa yang akan kau lakukan hari
ini? Pasti tidak hanya duduk di sofa dan tidak bersemangat seperti sekarang ini
kan?”
“Entahlah. Mungkin aku
akan berjalan-jalan sebentar.”
“Itu bagus. Kau memang
perlu melakukannya. Bagaimana dengan Jossie?”
“Tak ada apapun, dia juga
tidak menelponku. Mungkin dia sibuk dengan pekerjaannya.”
“Oh begitu. Haruskah aku
menelponnya untuk menemanimu jalan-jalan?”
“Tidak.”
“Baiklah.” Pembicaraan
terhenti. Tak ada lagi pertanyaan yang ayah lontarkan. Mungkin aku sudah
menjawab semua pertanyaannya atau dia sudah tidak punya pertanyaan lagi. Hanya
kicau burung yang meramaikan suasana pagi yang hening.
“Ayah, aku merasa ada
sesuatu yang hilang dari kepalaku.” Ayah kembali menyeruput kopi dalam
cangkirku. Ia langsung tertawa begitu melihat fotoku dan Jossie saat pesta
pembukaan cabang baru terpampang dengan ukuran besar.
“Kau tampil sangat cantik
malam itu, sayang. Siapa yang tak akan tergila-gila padamu,” kata ayah sambil
terkekeh. Sepertinya itu bukan berita yang bagus. Aku masih diam hingga
tanganku tertarik untuk menyambar cangkir kopi.
***
“Pengkhianat!” Teriak segerombolan gadis
di belakangku. Seperti yang kupikirkan pagi ini, keluar untuk jalan-jalan
menjadi keputusan yang merepotkan. Aku tengah duduk di taman kota sampai petang
dan malam harinya mereka mengepungku. Ini menyebalkan.
Salah seorang melemparkan sesuatu dan
tepat mengenai kepalaku. Benda itu segera mendarat di hadapanku. Leil Grazdien:
sang Cinderella masa kini, begitulah kalimat judul di sampul sebuah majalah
yang ternyata mereka lemparkan. Fotoku dalam gaun merah yang tengah menggandeng
lengan Jossie menjadi sampul utama sebuah majalah bisnis. Harusnya aku
menghindari menarik perhatian seluruh gadis di Viga. Mereka mengejarku seperti
tahanan yang melarikan diri. Aku masih terus berlari hingga melewati jalanan
kecil yang hanya diterangi redup lampu jalanan. Mereka terus mengejar dengan
tambahan serapah. Aku tak menyangka mereka akan dengan kejam melakukan hal
mengerikan ini. Apa salahku jika Jossie memilihku? Apa salahnya kalau aku pergi
bersama teman SMA-ku ke pembukaan kantor cabangnya? Apa salahku?
“Arrgh,” Tiba-tiba tubuhku membentur seorang
pria. Langkahku terhenti dan kami berdua berbagi lingkaran temaram dari lampu
penerang jalan. Kutemukan pria bertubuh menjulang dengan bola mata turquoise yang indah ada di hadapanku.
Ia mengenakan jaket hitam polos dengan syal navy
yang melilit lehernya.
“Maaf,” kataku. Sedangkan
pria itu menjauh tanpa kata. Ia pergi dengan tergesa sementara aku masih
mengekorinya.
“Tunggu sebentar. Tolong
bantu aku, dimana jalan keluar menuju jalan raya?” tanyaku.
“Aku tidak tahu.
Pergilah,” katanya ketus.
“Hey, aku meminta secara
baik-baik padamu. Tidakkah kau punya jawaban yang lebih sopan. Saat ini ada
seorang gadis yang tengah meminta bantuanmu dan kau mengabaikannya begitu saja.
Pria macam apa kau ini,” omelku.
“Pergilah, jangan
mengikutiku.”
“Kau memang menyebalkan,”
kata-kataku terhenti. Gemuruh dari suara gerombolan yang mengejarku semakin
mendekat. Bisa kudengar serapahan mereka yang mengataiku perempuan murahan yang
hanya mengincar harta. Bahkan lemparan telur busuk sudah mulai bisa
menjangkauku. Lemparan yang paling dekat hanya sejengkal dari posisi aku
berdiri.
“Tolong aku,” pintaku
sambil menatap mata indahnya. Ia segera memalingkan wajah. Pria ini memang
tidak bisa diharapkan. Tiba-tiba seseorang menarik lenganku dan membawaku
berlari. Gerakannya juga menyelamatkanku dari lemparan telur yang terlambat
sepersekian detik saja.
“Maaf atas kekacauan
ini,” kata Jossie sambil membawaku berlari. Senyumku mengembang karena Jossie
datang tepat waktu, mataku bahkan berkaca-kaca karena aksi heroiknya. Tapi
entah mengapa, pandanganku masih tertuju pada pria itu. Dia masih berdiri di
bawah temaram lampu dengan tatap redupnya yang membalas tatapanku. Entah
mengapa, aku tak bisa lepas dari bola mata turquoise
itu. Entah mengapa, dia membuatku melupakan apa yang tengah kulakukan. Aku
merasa tidak asing dengan sikap ketusnya. Apa kami pernah bertemu sebelumnya?
Jossie mengantarku pulang
setelah sebelumnya kami makan malam bersama di salah satu café miliknya. Aku masih diam dan kupikir Jossie mulai tak nyaman
dengan diamku. Pikiranku terus berputar-putar dan semakin lama semakin besar
saja tanda tanya dalam kepala. Jossie menggenggam jemariku dan aku terlonjak.
Aku kembali ke realita, mobil Jossie sudah berada di jalanan depan rumah.
“Maaf atas kekacauan hari
ini,” kata Jossie.
“Kau mengatakannya lagi.
Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Mereka mungkin benar, aku tak seharusnya
menghadiri pesta itu. Tapi karena itu hukumanku jadi apa boleh buat,” kataku
enteng.
“Tapi kau terus terganggu
dengan kejadian itu bukan?” Harus kujawab apa? Bahwa sebenarnya ada hal lain
yang lebih mengganggu pikiranku. Bukan tentang Leil sang Cinderella atau Jossie
sang pangeran tapi tentang pria ketus itu. Aku merasa harus tahu tentang
sesuatu tapi aku tak menemukannya di kepalaku.
“Terima kasih sudah
mengantarku pulang dan untuk makan malamnya juga,” kataku sembari keluar dari
mobil Jossie. Sebelum aku benar-benar pergi, Jossie menarik lenganku dan
membuatku tak beranjak.
“Jika pesta itu bukan
sebuah hukuman, apa kau tak akan pernah mau menemaniku? Apa aku harus
menunggumu berbuat salah dan menghukummu dengan menjadi pendamping hidupku?
Jika itu sebuah hukuman, apa kau akan menerimanya?”
“Kau kelelahan dan
candaanmu itu terdengar aneh. Istirahatlah yang cukup, Josh.”
“Mungkin kau benar. Semua
ini terjadi karena ketidakpastian, akan kuberi hadiah yang cukup meyakinkan
hingga kau tak akan berpikir bahwa aku tengah bercanda. Selamat malam, Leil.”
Jossie berlalu, sementara
aku masih memikirkan kalimatnya dan juga si mata turquoise. Mengapa terlalu banyak hal yang harus kupikirkan dalam
kepalaku. Malam telah melewati pertengahannya dan begitu masuk kamar, aku
langsung melemparkan diri ke atas Kasur untuk tidur. Selamat malam semuanya.
(Bersambung)
Always me or just me??
BalasHapushalaah apasih (abaikan)
seneng bisa baca keping selanjutnya, abang seharusnya publish di media lain biar makin eksis haha,,
tp entah jg ya, siapa tahu masih ada secret readers di luar sana yg diam-diam baca keping-keping ini.
lanjuut bang, semangat ya buat TA-nya, masih sempet2nya nulis ini lagi
HEBAT..
#kaukanabang^^
always you. hahha. gapapa, penyemangat kok. hmm publish di media lain yah? bisa sih disangkutin ke facebook cuma... belum siap untuk terkenal. masih merasa lebih baik menulis dalam diam sampai karya kita cukup layak untuk dibanggakan [quotes by Adzania]
BalasHapusTA? Oh, tenang saja. saya bekerja profesional kok. hahaha, thanks for reading my random story and thank you for always put your comment in my post. #hail
Sudah update ya
BalasHapus