[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 23


Yoo semuanya, saatnya update. Maaf kalo ga dikasih warning, karena saya pun merasa bahwa semakin lama kok semakin kental romance nya. Jadi apa boleh buat, hmm langsung saja. Keping 23, fresh from the oven (-_- emang ini roti, hadeeh authornya kebanyakan jungkir balik membuat lanjutan ini cerita. Maafkan…). Happy reading…

LEIL
“Ayah, sarapan sudah siap,” seruku. Tak berapa lama kemudian ayah langsung masuk sambil menenteng koran dan cangkir kopi. Kutuang air putih ke gelas di depan ayah dan gelasku lalu duduk. Ayah memimpin doa dan kami makan bersama walaupun menunya sederhana. Ya, aku baru bisa membuat omelet dan ayah suka. Tapi aku tahu sebenarnya ayah hanya menahan tiap kekurangan dari masakanku. Aku masih terus belajar sampai masakanku seenak buatan ibu, ya sampai saat ini hanya omelet saja yang rasanya sudah mirip buatan ibu.
“Hari ini kau masuk kerja?”
“Ya, hanya setengah hari. June tahu bahwa Jossie mengajakku pergi jadi dia mengizinkanku pulang lebih awal,” jelasku. Ayah mengangguk setuju.
“Dia memang bos terbaik,” sahut ayah. Aku mengulangi kalimatnya sembari mengerutkan dahi.
“Bagaimana dengan ayah? Bisa mengantarku ke rumah Jossie?”
“Aku ada pekerjaan di luar kota. Sepertinya aku segera pergi setelah sarapan, pekerjaan kali ini cukup jauh. Aku harus pergi ke Linas,” katanya dengan nada penuh penyesalan. Aku jadi merasa bersalah harus menanyakannya.
“Tidak masalah. Aku akan menelpon Jossie untuk menjemputmu. Kau juga tahu kan kalau dia pasti punya banyak sopir terbengkalai di rumahnya. Salah satunya akan menjemputmu,” kata ayah kemudian. Ia segera merapikan piringnya setelah sarapannya habis.
“Aku yang akan membereskannya,” sahutku. Ayah langsung naik ke kamarnya dan mempersiapkan peralatan berburunya sementara aku membereskan piring kotor. Ayah sudah bersiap di belakang kemudi dan tersenyum menatapku.
“Kau harus bergegas, Yah,” kataku yang masih bersandar pada tiang depan pintu.
“Ternyata anakku sudah sebesar ini,” katanya sambil terbahak. Astaga, apa itu penting? Kalimat dari seorang ayah yang baru menyadari bahwa bocah perempuannya sekarang sudah tumbuh besar dan bisa menyiapkan sarapan. Lelucon yang tidak penting.
“Hei jangan lupa siram tomatmu. Tak biasanya kau melupakan tanaman itu. Aku pergi,” seru ayah. Mobilnya mulai menjamah jalanan dan perlahan-lahan menjauh dari pandanganku. Tomat? Apa yang ayah bicarakan? Aku menyusuri teras rumah dan menemukan sebuah pot berisi tanaman yang mulai menyembulkan buah kecil di tangkai hijaunya.
“Tomat?” aku duduk di sofa teras dan memandanginya. Tanahnya mengering meskipun daunnya berhasil menangkap titik-titik embun pagi ini. Aku lupa menyiramnya? Aku bahkan baru tahu kalau aku memeliharanya. Sejak kapan aku mulai rajin berkebun? Mengapa harus tomat yang ada dalam pot tanamanku? Aneh sekali.
Setelah menyiram tomat itu, aku segera menuju toko June. Entah mengapa aku bisa bayangkan apa kata yang akan terucap darinya jika aku terlambat. Dia pasti akan bicara tentang pemotongan gaji ataupun mengancam untuk membocorkan rahasia tentang undangan pesta Jossie. Dasar June.
Lonceng toko berdenting saat aku masuk. June tengah membuka tirai dan penyekat jendela, aku segera menuju ruang pegawai dan mengenakan celemek motif bebungaan. Juga kusimpan tasku di loker pegawai yang hanya berjumlah lima buah.
“Bagaimana dengan Jossie?”
“Kupikir kita sepakat untuk tidak membicarakannya lagi?” jawabku ketus. June menggerakan jemarinya di depan mulut seolah ia tengah menutupnya rapat dengan kunci.
“Ayo keluarkan keranjang mawar dan krisannya, biar aku yang mengurus tirai.”
“Oke.” Aku segera menggotong keranjang rotan berisi ratusan tangkai mawar merah dan meletakannya di dekat pintu toko. Begitu juga dengan sekeranjang krisan. Kuambil beberapa krisan yang layu dari keranjang dan diam. Mengapa sampai ada krisan layu di keranjang. Segerombolan burung terbang riang melintasi depan toko dan terbang bebas ke arah bukit. Kupandangi sejenak bukit itu. Lama kelamaan aku memikirkan sesuatu tentang bukit itu, aku merasa ada yang hilang dengan sesuatu di bukit. Apa yang kupikirkan?
“Kau tidak ke bukit?” tanya June tiba-tiba. Lamunanku langsung buyar.
“Untuk apa?” kataku balik bertanya.
“Benar juga. Aku senang mendengarnya. Aku turut senang jika satu-satunya pegawaiku kembali pada kewarasannya,”
“Katakan lagi dan akan kubuat ayah memburumu.”
“Hahaha, hanya bercanda Leil. Selesaikan pekerjaanmu atau gajimu kau potong,”
***
Hari beranjak sore ketika Jossie mengirimkan sopir yang dulu menjemputku dan ayah, ia bahkan menjemputku di depan toko June. Tapi kali ini hanya menjemputku dan aku benar-benar menjadi seorang Cinderella. Jossie memiliki ibu perinya sendiri yang luar biasa hebat hingga mampu mengubahku menjadi lebih anggun dari yang kubayangkan. Malam harinya, aku siap untuk pesta dengan gaun merah maroon elegan melapisi tubuhku. Gaun indah dari sutra pilihan yang sengaja dipilih oleh Jossie. Kalung dan gelang mutiara menghiasiku. Aku menggandeng lengan Jossie sepanjang acara karena aku tak mau tersesat. Beberapa tamu tak mengenaliku sebagai gadis yang bekerja di toko bunga. Mereka menyalamiku dan menanyakan apa nama perusahaan ayahku, siapa ayahku dan bidang usaha perusahaan. Aku hanya diam menerima semua pertanyaan itu dan membiarkan Jossie terus menyelamatkanku.
“Hey, apa pesta ini tidak membuatmu bahagia?” Tegur Jossie ketika menemukanku termenung di pojok ruangan sambil menikmati kudapan.
“Bukan begitu. Aku hanya merasa tersesat.”
“Bukankah kau bersamaku?”
“Justru karena aku bersamamu.” Jossie langsung menyambar jemariku dan kami berputar di lantai dansa. Dia sungguh menawan, aku merasa beruntung kami sahabat baik. Setelah puas dan menghilangkan sedikit rasa canggung, kami menuju meja panjang penuh hidangan. Awalnya masih terasa nyaman dan aku semakin percaya diri, sampai saat pers lewat.
“Tuan Franklin, mereka adalah reporter dari Viga News. Mereka memburu berita spesial dan setelah seleksi yang ketat, mereka terpilih sebagai kantor berita resmi yang boleh meliput secara ekslusif tentang malam ini,” kata salah satu asisten Jossie.
“Oh, baiklah. Buat berita yang bagus dan manfaatkan kesempatan ini dengan baik.” Jossie masih tetap menggenggam jemariku meski di hadapan kamera. Ia memperkenalkanku, ia terlihat terus menyempurnakan kalimatku agar rasa canggung ini berkurang. Seperti itulah malam berlalu.
***
Aku duduk meringkuk di sofa teras sambil menikmati sisa udara dingin di pagi hari. Secangkir kopi masih mengepulkan uap di sebelahku. Sementara selimut tebal masih membungkusku secara sempurna. Kupandangi tomat yang ada di hadapanku. Mobil ayah berhenti di halaman, astaga ia baru kembali dari Linas. Tanpa mengeluarkan peralatannya, ia keluar dari mobil dan memungut sesuatu. Apa dia akan pergi lagi?
“Selamat pagi sayang,” sapa ayah. Dia duduk di sebelahku dan langsung menyambar kopi.
“Kau tidak segera bersiap untuk berangkat kerja?” tanyanya sambil membolak-balik halaman koran hari ini. Sepertinya benda itulah yang tadi dipungutnya.
“Hari ini toko June tutup. Dia harus menghadiri pertemuan keluarga dan akan menginap di rumah mertuanya. Beruntung bagiku.”
“Oh begitu. Apa kau mau ikut denganku ke Tersa? Ayo kita memancing di sana, aku ada kenalan yang bisa meminjamkan kita sebuah feri dengan cuma-cuma,” ajak ayah bersemangat.
“Tidak, terima kasih. Ayah akan langsung pergi lagi ke Tersa?”
“Tersa adalah kota yang tepat untuk memperbaiki perlengkapan. Aku juga akan membelikanmu sesuatu yang baru. Kau mau ikut?” aku hanya menggeleng. “Ayolah, apa yang akan kau lakukan hari ini? Pasti tidak hanya duduk di sofa dan tidak bersemangat seperti sekarang ini kan?”
“Entahlah. Mungkin aku akan berjalan-jalan sebentar.”
“Itu bagus. Kau memang perlu melakukannya. Bagaimana dengan Jossie?”
“Tak ada apapun, dia juga tidak menelponku. Mungkin dia sibuk dengan pekerjaannya.”
“Oh begitu. Haruskah aku menelponnya untuk menemanimu jalan-jalan?”
“Tidak.”
“Baiklah.” Pembicaraan terhenti. Tak ada lagi pertanyaan yang ayah lontarkan. Mungkin aku sudah menjawab semua pertanyaannya atau dia sudah tidak punya pertanyaan lagi. Hanya kicau burung yang meramaikan suasana pagi yang hening.
“Ayah, aku merasa ada sesuatu yang hilang dari kepalaku.” Ayah kembali menyeruput kopi dalam cangkirku. Ia langsung tertawa begitu melihat fotoku dan Jossie saat pesta pembukaan cabang baru terpampang dengan ukuran besar.
“Kau tampil sangat cantik malam itu, sayang. Siapa yang tak akan tergila-gila padamu,” kata ayah sambil terkekeh. Sepertinya itu bukan berita yang bagus. Aku masih diam hingga tanganku tertarik untuk menyambar cangkir kopi.
***
“Pengkhianat!” Teriak segerombolan gadis di belakangku. Seperti yang kupikirkan pagi ini, keluar untuk jalan-jalan menjadi keputusan yang merepotkan. Aku tengah duduk di taman kota sampai petang dan malam harinya mereka mengepungku. Ini menyebalkan.
Salah seorang melemparkan sesuatu dan tepat mengenai kepalaku. Benda itu segera mendarat di hadapanku. Leil Grazdien: sang Cinderella masa kini, begitulah kalimat judul di sampul sebuah majalah yang ternyata mereka lemparkan. Fotoku dalam gaun merah yang tengah menggandeng lengan Jossie menjadi sampul utama sebuah majalah bisnis. Harusnya aku menghindari menarik perhatian seluruh gadis di Viga. Mereka mengejarku seperti tahanan yang melarikan diri. Aku masih terus berlari hingga melewati jalanan kecil yang hanya diterangi redup lampu jalanan. Mereka terus mengejar dengan tambahan serapah. Aku tak menyangka mereka akan dengan kejam melakukan hal mengerikan ini. Apa salahku jika Jossie memilihku? Apa salahnya kalau aku pergi bersama teman SMA-ku ke pembukaan kantor cabangnya? Apa salahku?
“Arrgh,” Tiba-tiba tubuhku membentur seorang pria. Langkahku terhenti dan kami berdua berbagi lingkaran temaram dari lampu penerang jalan. Kutemukan pria bertubuh menjulang dengan bola mata turquoise yang indah ada di hadapanku. Ia mengenakan jaket hitam polos dengan syal navy yang melilit lehernya.
“Maaf,” kataku. Sedangkan pria itu menjauh tanpa kata. Ia pergi dengan tergesa sementara aku masih mengekorinya.
“Tunggu sebentar. Tolong bantu aku, dimana jalan keluar menuju jalan raya?” tanyaku.
“Aku tidak tahu. Pergilah,” katanya ketus.
“Hey, aku meminta secara baik-baik padamu. Tidakkah kau punya jawaban yang lebih sopan. Saat ini ada seorang gadis yang tengah meminta bantuanmu dan kau mengabaikannya begitu saja. Pria macam apa kau ini,” omelku.
“Pergilah, jangan mengikutiku.”
“Kau memang menyebalkan,” kata-kataku terhenti. Gemuruh dari suara gerombolan yang mengejarku semakin mendekat. Bisa kudengar serapahan mereka yang mengataiku perempuan murahan yang hanya mengincar harta. Bahkan lemparan telur busuk sudah mulai bisa menjangkauku. Lemparan yang paling dekat hanya sejengkal dari posisi aku berdiri.
“Tolong aku,” pintaku sambil menatap mata indahnya. Ia segera memalingkan wajah. Pria ini memang tidak bisa diharapkan. Tiba-tiba seseorang menarik lenganku dan membawaku berlari. Gerakannya juga menyelamatkanku dari lemparan telur yang terlambat sepersekian detik saja.
“Maaf atas kekacauan ini,” kata Jossie sambil membawaku berlari. Senyumku mengembang karena Jossie datang tepat waktu, mataku bahkan berkaca-kaca karena aksi heroiknya. Tapi entah mengapa, pandanganku masih tertuju pada pria itu. Dia masih berdiri di bawah temaram lampu dengan tatap redupnya yang membalas tatapanku. Entah mengapa, aku tak bisa lepas dari bola mata turquoise itu. Entah mengapa, dia membuatku melupakan apa yang tengah kulakukan. Aku merasa tidak asing dengan sikap ketusnya. Apa kami pernah bertemu sebelumnya?
Jossie mengantarku pulang setelah sebelumnya kami makan malam bersama di salah satu café miliknya. Aku masih diam dan kupikir Jossie mulai tak nyaman dengan diamku. Pikiranku terus berputar-putar dan semakin lama semakin besar saja tanda tanya dalam kepala. Jossie menggenggam jemariku dan aku terlonjak. Aku kembali ke realita, mobil Jossie sudah berada di jalanan depan rumah.
“Maaf atas kekacauan hari ini,” kata Jossie.
“Kau mengatakannya lagi. Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Mereka mungkin benar, aku tak seharusnya menghadiri pesta itu. Tapi karena itu hukumanku jadi apa boleh buat,” kataku enteng.
“Tapi kau terus terganggu dengan kejadian itu bukan?” Harus kujawab apa? Bahwa sebenarnya ada hal lain yang lebih mengganggu pikiranku. Bukan tentang Leil sang Cinderella atau Jossie sang pangeran tapi tentang pria ketus itu. Aku merasa harus tahu tentang sesuatu tapi aku tak menemukannya di kepalaku.
“Terima kasih sudah mengantarku pulang dan untuk makan malamnya juga,” kataku sembari keluar dari mobil Jossie. Sebelum aku benar-benar pergi, Jossie menarik lenganku dan membuatku tak beranjak.
“Jika pesta itu bukan sebuah hukuman, apa kau tak akan pernah mau menemaniku? Apa aku harus menunggumu berbuat salah dan menghukummu dengan menjadi pendamping hidupku? Jika itu sebuah hukuman, apa kau akan menerimanya?”
“Kau kelelahan dan candaanmu itu terdengar aneh. Istirahatlah yang cukup, Josh.”
“Mungkin kau benar. Semua ini terjadi karena ketidakpastian, akan kuberi hadiah yang cukup meyakinkan hingga kau tak akan berpikir bahwa aku tengah bercanda. Selamat malam, Leil.”
Jossie berlalu, sementara aku masih memikirkan kalimatnya dan juga si mata turquoise. Mengapa terlalu banyak hal yang harus kupikirkan dalam kepalaku. Malam telah melewati pertengahannya dan begitu masuk kamar, aku langsung melemparkan diri ke atas Kasur untuk tidur. Selamat malam semuanya.

(Bersambung)

3 komentar:

  1. Always me or just me??
    halaah apasih (abaikan)

    seneng bisa baca keping selanjutnya, abang seharusnya publish di media lain biar makin eksis haha,,
    tp entah jg ya, siapa tahu masih ada secret readers di luar sana yg diam-diam baca keping-keping ini.

    lanjuut bang, semangat ya buat TA-nya, masih sempet2nya nulis ini lagi
    HEBAT..
    #kaukanabang^^

    BalasHapus
  2. always you. hahha. gapapa, penyemangat kok. hmm publish di media lain yah? bisa sih disangkutin ke facebook cuma... belum siap untuk terkenal. masih merasa lebih baik menulis dalam diam sampai karya kita cukup layak untuk dibanggakan [quotes by Adzania]

    TA? Oh, tenang saja. saya bekerja profesional kok. hahaha, thanks for reading my random story and thank you for always put your comment in my post. #hail

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.