Tanpa basa basi, jebreet. Update guys… mungkin untuk minggu besok akan mulai pertarungan sengit dan semakin kompleks [spoiler #kodekeras]. Maaf untuk penambahan tokoh ini, bukan bermaksud lain, hanya untuk menambah rasa misteriusnya. Happy reading…
LEIL
“Aku minta dua tangkai krisan putih,” kata si pelanggan. Aku
langsung mengambil dua tangkai krisan dari keranjang bunga dan membungkusnya.
Gerakan tanganku terhenti ketika aku mengingatnya. Pria turquoise itu pernah datang untuk membeli krisan. Aku tahu kemana
aku harus pergi untuk memastikan.
“Hey Leil, kau mau kemana?” tegur June ketika aku melangkah keluar
toko sambil membawa dua tangkai krisan yang baru saja dipesan. Tapi aku
mengabaikan pertanyaannya. Dengan tergesa aku segera berlari menuju bukit. Aku
yakin ada sesuatu di sana dan pria itu kuharap dia ada di sana. Pria yang
berpura-pura dingin ketika kami kembali bertemu malam itu. Pria yang terus
mengalihkan wajahnya agar aku keluar dari pandangan mata turquoise-nya. Pria yang membenamkan bibit tomat pada pot tanamanku
yang kosong. Pria yang mengakui bahwa dirinya bukanlah manusia dan aku
meninggalkannya.
“Sudah kuduga bahwa akan kutemukan jawaban di bukit ini. Tempat
yang berhasil kau sembunyikan dariku beberapa hari ini. Tapi aku berhasil
mengingatmu.” Aku menemukannya tengah berbaring di atas rerumputan. Jika
ingatanku tidak salah, ia sebenarnya tengah berbaring di atas makam. Pierre.
“Maaf sepertinya kau tersesat,” jawabnya datar.
“Aku ketakutan, itu benar. Tapi itu tidak berarti aku harus lari
darimu, bukan? Jika aku terus lari dari semua yang aku takutkan, maka aku akan
terus terjebak dalam lingkaran yang sama. Aku ingin mengalahkan ketakutan itu
dengan menemuimu.” Pierre hanya menatapku tak percaya.
“Kau masih tak percaya jika aku berhasil mengingatmu? Aku tak
ingin jadi pengecut dengan menghindarimu. Kau tak bisa menghilangkan dirimu
begitu saja. Sebanyak apapun kau pernah mencobanya, bukankah aku selalu bisa
mengingatmu kembali?”
“Kau tahu mengapa kau merasakan ketakutan itu. Lalu mengapa kau
masih berdiri di sana dan seolah menantangku?”
“Bukankah manusia sudah hidup berdampingan dengan makhluk seperti
kalian selama berabad-abad lalu? Mengapa sekarang tak bisa seperti dulu?”
“Karena itu sudah berbeda.”
“Apa yang membuatnya berbeda?” Pierre diam seolah enggan menjawab
pertanyaanku.
“Karena aku tak bisa membuatmu lupa, jadi akan lebih baik jika aku
pergi dan tak lagi bisa kau temukan.” Benar saja, dia mengalihkan pembicaraan.
“Coba saja dan aku akan selalu menemukanmu.”
“Jangan jadi gadis keras kepala. Aku melakukannya bukan tanpa
alasan. Kau akan aman jika melupakan kami, hiduplah dengan tenang.” Aku
menghambur dan memeluknya, sama seperti di malam hujan itu. Aku memeluknya erat
meski kini tubuhnya tak sehangat waktu itu. Ia tak bereaksi dengan pelukku. Ia
tetap membatu dan membiarkan desiran angin melewati kami.
“Aku tak memintanya, aku tak memintamu untuk lari. Aku mencarimu,
selalu mencarimu. Bahkan dalam kosongnya memori tentangmu aku selalu merasa ada
yang hilang dari kepalaku dan itu adalah kau,” bisikku.
“Betapa berbahayanya mengatakan hal itu, Leil.”
“Berbahaya? Mengapa kau berpikir bahwa kau berbahaya bagiku? Apa
kau tak memikirkan bahwa aku juga berbahaya untukmu? Aku puteri seorang pemburu
vampir, tapi ayah juga bisa memburu werewolf.
Jika ayah menemukanmu, bukankah itu berbahaya?”
Gubraak…
Terdengar suara benda jatuh tak jauh dari tempat kami berdebat.
Pierre dan aku sama-sama diam untuk mengamati keadaan. Tak lama kemudian muncul
suara orang tua meminta tolong. Aku segera berlari menuju sumber suara dan
mengabaikan Pierre yang masih diam.
“Leil,” panggil Pierre tapi aku tak menanggapinya.
PIERRE
Astaga, ada apa dengan gadis itu? Bagaimana ia bisa semudah itu
mengingat apa yang telah dihapus Sofia? Sungguh dalam hidupku tak pernah ada
manusia yang berhasil mengingat apapun yang telah dihapus oleh seorang darah
murni. Tapi dia, istimewa atau justru berbahaya? Dia berlari menuju sumber
suara dan aku masih mengamatinya dari kejauhan sampai ia tidak terlihat lagi.
Perlahan aku mengikuti jejaknya dan menemukan gadis itu tengah membantu seorang
kakek yang terjungkal.
“Siapa dia?” kataku.
“Pemuda yang kasar, tidakkah kau melihat seorang kakek yang
kepayahan berdiri?” balas si kakek. Setelah kuamati, dia adalah kakek yang
waktu itu menolongku untuk mengantar Leil pulang ke rumahnya. Entah bagaimana,
aku merasa ada sesuatu yang aneh.
“Kakek, apa kau bisa berjalan?” tanya Leil lembut. Kakek itu
kemudian memegangi pergelangan kakinya sambil meringis kesakitan.
“Sepertinya kakiku terkilir.” Apa benar dia terkilir? Kakek ini
semakin mencurigakan saja. Apa yang dia inginkan? Bagaimana bisa dia sampai ke
bukit ini? Apakah dia sudah ada di sini sejak kami berdebat? Jadi dia mendengar
semuanya?
“Pierre, apa yang kau lamunkan! Ayo bantu kakek ini pulang. Dimana
rumahmu kek? Kami akan mengantarmu pulang,” kata Leil. Aku langsung menggendong
kakek itu. Aku dan Leil berjalan berdampingan ke arah yang ditunjuk si kakek.
Kami berjalan cukup jauh memasuki bukit dan menemukan sebuah gubuk sederhana atau
lebih tepatnya reot. Aku tak pernah tahu jika di bukit ini ada yang tinggal di
sini selain aku dan Sofia.
“Kau tinggal di sini?” tanyaku.
“Tentu saja. Memang tidak terlihat layak tapi sungguh ini sudah
sangat cukup bagi orang tua sepertiku,” jawab si kakek sambil terkekeh. Leil
memijit kaki si kakek perlahan sambil terus mengoceh tentang pertolongan
pertama bagi kaki yang terkilir. Ia bahkan sampai membanggakan gelarnya sebagai
peserta terbaik dalam seminar keselamatan kerja.
“Akan kubuatkan sesuatu yang hangat. Dimana dapurnya?” jawaban si
kakek membuat Leil segera menuju dapur dan menyisakan kami berdua di kamar ini.
“Kau sengaja muncul di hadapan kami,
bukan? Siapa kau sebenarnya?”
“Apa penampilanku tak cukup
meyakinkanmu?”
“Bahwa kau hanya kakek renta yang
terpeleset dan tak bisa berjalan? Tidak. Katakan saja, aku tak perlu basa-basi.
Sandiwaramu itu menyedihkan,” sambarku. Dia hanya terkekeh pelan lalu
menyeringai dengan tatapan yang tak kusukai. Dia merapalkan sesuatu dan
terciptalah dinding semu yang membatasi dinding ruangan ini. Sudah kuduga bahwa
dia bukan orang sembarangan.
“Mengapa kau menanyakan pertanyaan itu
pada orang lain. Jika kulempar pertanyaan itu padamu apa kau bisa menjawabnya?
Siapa kau sebenarnya, Pierre?” aku diam mendengarnya membalikkan pertanyaanku.
Dia benar, aku sendiri juga tak tahu siapa aku sebenarnya dan makhluk apa aku
ini. Bahkan Sofia tak pernah mau menjawab pertanyaanku tentang itu. Lalu apakah
si kakek tahu siapa aku? Atau setidaknya mengenal siapa orang tuaku?
“Jadi, siapa aku sebenarnya?” tanyaku
putus asa. Dia hanya tertawa lepas.
“Kau bisa berada dimana saja sesukamu.
Tapi saat ini kau hidup bukan sebagai aliansi juga oposisi, kau belum memilih
kelompok mana kau ingin berada. Apapun pilihanmu, hasilnya akan sama karena
mereka hanya punya dua alasan memburumu. Antara memanfaatkanmu atau
melenyapkanmu sebelum kau bergabung dengan salah satu di antara mereka.
Sayangnya Leil muncul di tengah perburuanmu.”
“Perburuan? Siapa ‘mereka’ yang kau
maksud?”
“Tiga darah yang berbeda mengaliri
tubuhmu. Kau hidup di ketiga dunia itu. Jadi nikmatilah,” bisiknya. Leil masuk
dan melenyapkan penghalang yang dibuat sang kakek. Ia membawa teh dalam cangkir
besar untuk si kakek, dia juga membawa wadah gula ke meja di samping ranjang.
“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya Leil
lembut.
“Tentu saja. Aku dikelilingi anak muda
yang peduli padaku, terimakasih. Mungkin aku perlu beristirahat beberapa hari
untuk memulihkan tubuh rentaku.” Leil mengangguk.
“Istirahatlah, Kek. Jangan lakukan
pekerjaan yang berat dulu. Kusempatkan menjengukmu besok sepulang kerja. Akan
kubawakan kue yang enak juga.” Leil begitu lembut dan tanpa curiga pada si
kakek. Padahal aku hanya berdiri kaku di tepian pintu dan menatap sinis ke
orang tua yang tengah bersandiwara itu.
“Urus pemuda itu juga, dia begitu kaku.
Sikapnya membuatku ngeri,” kata si kakek pada Leil yang langsung menatapku
dengan wajah garangnya. Mengapa aku?
“Dia memang sulit berkomunikasi dengan
orang lain tapi dia sebenarnya sangat peduli. Dia seperti kerang yang menyimpan
mutiara, jadi jangan pedulikan cangkang kerasnya,” jawab Leil.
“Ya, aku tahu persis orang-orang seperti
itu. Hari semakin malam, kau pulanglah.”
“Baiklah. Istirahat ya Kek,” kata Leil
sambil merapatkan selimut si kakek dan mengajakku keluar. Aku segera keluar
dari kamar saat kalimat si kakek itu menghentikanku.
“Jangan mati dengan mudah,” sambar si
kakek.
“Kau punya orang yang peduli pada
keberadaanmu, ada orang yang menghargai kehidupanmu. Kau tidak lagi hidup untuk
dirimu sendiri tapi juga untuk mereka yang peduli. Berhentilah berpura-pura
bahwa kau bisa menahan tiga darahmu sendiri, itu akan sangat menyakitkan.
Berbagilah.”
“Simpan pertanyaanku dan kuharap kau
siap dengan jawabannya saat aku kembali.” Aku segera mengantar Leil sampai ke
rumahnya. Tapi aku harus bergegas untuk kembali menemui kakek itu. Aku harus
dapat jawabannya mala mini juga.
“Terimakasih, sepertinya ini bukan
pertama kalinya kau mengantarku pulang.”
“Ini pertama kalinya. Sungguh,” kataku
mencoba meyakinkan.
“Kau pikir aku akan percaya? Setelah
berulang kali kau mecoba menghilang dariku? Aku gadis yang cepat belajar dan
kau akan kesulitan menipuku lagi.” Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya,
sementara dia terbahak karena senyumku. Seolah Leil ingin mengatakan bahwa kali
ini dia menang. Dia mulai bergerak menaiki lima anak tangga menuju teras
rumahnya sementara aku tetap diam di tempatku berdiri.
“Baiklah, aku kagum pada kecepatan
belajarmu itu nona.”
“Leil?” panggil seseorang dari dalam
rumah. Leil mengibaskan kedua jemarinya ke arahku. Aku masih bingung dengan
aksinya dan hanya melihat ke arahnya berharap sebuah kata yang bisa menjelaskan
lebih baik daripada gerakan jemarinya. Ia menuruni dua anak tangga dan
mendorongku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku.
“Pergilah, ayah akan menemukanmu dan ini
berbahaya untuk ki…”
“Berbahaya? Apa aku terlihat berbahaya,
Leil?” celetuk pria tinggi besar dengan kemeja maroon yang sudah muncul di depan pintu. Leil menghentikan
gerakannya dan menghalangi pandanganku.
“Ayah, aku pulang,” katanya ceria.
“Ada seorang pria di belakangmu.
Menyingkirlah, aku ingin melihatnya,” kata ayah Leil dengan suara beratnya.
Setelah Leil menyingkir sedikit, baru kulihat bahwa pria itu tengah mengelus
senapannya. Ya, mungkin dia memang pria yang berbahaya.
Ayah Leil memandangiku dari atas sampai
bawah dan seolah tak mempercayai status manusiaku. Dia menuruni anak tangga,
melewati Leil dan tepat berhadapan denganku kini.
“Namaku Pierre, Pak,” kataku spontan
sambil mengulurkan tangan kananku mengajaknya berjabat tangan. Dia meraih
uluran tanganku, hanya sebentar lalu melepasnya segera.
“Apa kau keturunan?” pertanyaannya
mengejutkanku. Mengapa ia bisa menerka begitu cepat? Padahal aku mencoba
menyembunyikannya dengan baik. Suhu tubuhku juga sedang normal seminggu ini.
Bagaimana ia bisa tahu?
“Ayah!” seru Leil, pria itu hanya
tersenyum dan meminta maaf pada puterinya.
“Bola matamu begitu indah untuk seorang
pria kurus menjulang sepertimu. Turquoise
adalah pilihan warna yang bagus. Pasti ibumu sangat menyukai keindahan,
hahaha,” kelakar Tuan Grazdien. Ternyata baik ayah ataupun anak, mereka
memerhatikan warna bola mataku. Aku hanya tersenyum menanggapi jawabannya.
“Terimakasih sudah mengantar puteriku
dengan selamat, Pierre.”
“Saya pamit.”
“Hati-hati di jalan,” kata Leil dengan
ceria meski ayahnya terus mendorongnya untuk segera masuk. Kuharap aku bisa
terus melihat senyum cerianya itu. Dalam perjalanan pulang, omongan si kakek
masih melintas lamat-lamat dalam ingatan. Siapa dia? Mengapa juga aku harus
memikirkan ocehan seorang kakek yang bahkan tak mau menyebutkan namanya?
Kuharap orang tua itu masih setia di rumahnya.
Ini buruk. Kulihat gubuk itu nyaris
roboh dan berantakan, ada cipratan darah dimana-mana. Apa orang tua itu
selamat? Siapa pula yang melakukan tindakan hina seperti ini? Apa mereka perlu
mengeluarkan banyak tenaga untuk mengalahkan seorang kakek? Hmmm, aku melupakan
hal yang penting. Dari awal aku memang curiga bahwa dia tengah bersandiwara
tapi aku tak mengharapkan dia menghilang dengan cara ini.
“Hey orang tua, kau dimana? Apa kau
masih hidup?” teriakku sembari mendekat. Tak ada jawaban dari dalam bahkan aku
mendapat sebuah serangan. Beberapa pria keluar dari gubuk dan segera
menghantamkan pukulan mereka. Jika tak cepat menghindar, mungkin aku sudah
hancur berkeping-keping.
“Pierre? Ini kejutan yang menyenangkan.
Ternyata kau berhubungan dengan orang tua yang kami kejar. Dia terlalu banyak
mengetahui tentang kami, jadi kupikir akan lebih baik jika dia lenyap. Siapa
dia sebenarnya?” tanya salah satu pria itu. Asal kau tahu, dia vampir dan aku
mulai tidak suka pembicaraan ini.
“Aku cukup terkenal ya,” jawabku enteng.
“Kau masuk daftar teratas buruan kami.
Bahkan pemimpin yang mengatakannya bahwa aku harus membunuhmu setelah aku
membunuh orang tua itu. Tapi tak masalah jika aku membunuhmu lebih dulu.”
“Jadi orang tua itu masih hidup?”
“Siapa dia? Katakan semua informasi yang
kau ketahui sebelum hal berharga itu ikut mati sia-sia bersamamu.”
“Aku juga ingin mengetahuinya dan sayang
sekali aku masih belum ingin mati sebelum mendapatkan jawaban dari mulut si tua
itu. Apa jawabanku membantu kalian?”
“Kau tidak menjawab sama sekali. Matilah
kau makhluk terkutuk!”
(Bersambung…)
Tidak ada komentar