[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 24


Tanpa basa basi, jebreet. Update guys… mungkin untuk minggu besok akan mulai pertarungan sengit dan semakin kompleks [spoiler #kodekeras]. Maaf untuk penambahan tokoh ini, bukan bermaksud lain, hanya untuk menambah rasa misteriusnya. Happy reading…

LEIL
“Aku minta dua tangkai krisan putih,” kata si pelanggan. Aku langsung mengambil dua tangkai krisan dari keranjang bunga dan membungkusnya. Gerakan tanganku terhenti ketika aku mengingatnya. Pria turquoise itu pernah datang untuk membeli krisan. Aku tahu kemana aku harus pergi untuk memastikan.
“Hey Leil, kau mau kemana?” tegur June ketika aku melangkah keluar toko sambil membawa dua tangkai krisan yang baru saja dipesan. Tapi aku mengabaikan pertanyaannya. Dengan tergesa aku segera berlari menuju bukit. Aku yakin ada sesuatu di sana dan pria itu kuharap dia ada di sana. Pria yang berpura-pura dingin ketika kami kembali bertemu malam itu. Pria yang terus mengalihkan wajahnya agar aku keluar dari pandangan mata turquoise-nya. Pria yang membenamkan bibit tomat pada pot tanamanku yang kosong. Pria yang mengakui bahwa dirinya bukanlah manusia dan aku meninggalkannya.
“Sudah kuduga bahwa akan kutemukan jawaban di bukit ini. Tempat yang berhasil kau sembunyikan dariku beberapa hari ini. Tapi aku berhasil mengingatmu.” Aku menemukannya tengah berbaring di atas rerumputan. Jika ingatanku tidak salah, ia sebenarnya tengah berbaring di atas makam. Pierre.
“Maaf sepertinya kau tersesat,” jawabnya datar.
“Aku ketakutan, itu benar. Tapi itu tidak berarti aku harus lari darimu, bukan? Jika aku terus lari dari semua yang aku takutkan, maka aku akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama. Aku ingin mengalahkan ketakutan itu dengan menemuimu.” Pierre hanya menatapku tak percaya.
“Kau masih tak percaya jika aku berhasil mengingatmu? Aku tak ingin jadi pengecut dengan menghindarimu. Kau tak bisa menghilangkan dirimu begitu saja. Sebanyak apapun kau pernah mencobanya, bukankah aku selalu bisa mengingatmu kembali?”
“Kau tahu mengapa kau merasakan ketakutan itu. Lalu mengapa kau masih berdiri di sana dan seolah menantangku?”
“Bukankah manusia sudah hidup berdampingan dengan makhluk seperti kalian selama berabad-abad lalu? Mengapa sekarang tak bisa seperti dulu?”
“Karena itu sudah berbeda.”
“Apa yang membuatnya berbeda?” Pierre diam seolah enggan menjawab pertanyaanku.
“Karena aku tak bisa membuatmu lupa, jadi akan lebih baik jika aku pergi dan tak lagi bisa kau temukan.” Benar saja, dia mengalihkan pembicaraan.
“Coba saja dan aku akan selalu menemukanmu.”
“Jangan jadi gadis keras kepala. Aku melakukannya bukan tanpa alasan. Kau akan aman jika melupakan kami, hiduplah dengan tenang.” Aku menghambur dan memeluknya, sama seperti di malam hujan itu. Aku memeluknya erat meski kini tubuhnya tak sehangat waktu itu. Ia tak bereaksi dengan pelukku. Ia tetap membatu dan membiarkan desiran angin melewati kami.
“Aku tak memintanya, aku tak memintamu untuk lari. Aku mencarimu, selalu mencarimu. Bahkan dalam kosongnya memori tentangmu aku selalu merasa ada yang hilang dari kepalaku dan itu adalah kau,” bisikku.
“Betapa berbahayanya mengatakan hal itu, Leil.”
“Berbahaya? Mengapa kau berpikir bahwa kau berbahaya bagiku? Apa kau tak memikirkan bahwa aku juga berbahaya untukmu? Aku puteri seorang pemburu vampir, tapi ayah juga bisa memburu werewolf. Jika ayah menemukanmu, bukankah itu berbahaya?”
Gubraak…
Terdengar suara benda jatuh tak jauh dari tempat kami berdebat. Pierre dan aku sama-sama diam untuk mengamati keadaan. Tak lama kemudian muncul suara orang tua meminta tolong. Aku segera berlari menuju sumber suara dan mengabaikan Pierre yang masih diam.
“Leil,” panggil Pierre tapi aku tak menanggapinya.

PIERRE
Astaga, ada apa dengan gadis itu? Bagaimana ia bisa semudah itu mengingat apa yang telah dihapus Sofia? Sungguh dalam hidupku tak pernah ada manusia yang berhasil mengingat apapun yang telah dihapus oleh seorang darah murni. Tapi dia, istimewa atau justru berbahaya? Dia berlari menuju sumber suara dan aku masih mengamatinya dari kejauhan sampai ia tidak terlihat lagi. Perlahan aku mengikuti jejaknya dan menemukan gadis itu tengah membantu seorang kakek yang terjungkal.
“Siapa dia?” kataku.
“Pemuda yang kasar, tidakkah kau melihat seorang kakek yang kepayahan berdiri?” balas si kakek. Setelah kuamati, dia adalah kakek yang waktu itu menolongku untuk mengantar Leil pulang ke rumahnya. Entah bagaimana, aku merasa ada sesuatu yang aneh.
“Kakek, apa kau bisa berjalan?” tanya Leil lembut. Kakek itu kemudian memegangi pergelangan kakinya sambil meringis kesakitan.
“Sepertinya kakiku terkilir.” Apa benar dia terkilir? Kakek ini semakin mencurigakan saja. Apa yang dia inginkan? Bagaimana bisa dia sampai ke bukit ini? Apakah dia sudah ada di sini sejak kami berdebat? Jadi dia mendengar semuanya?
“Pierre, apa yang kau lamunkan! Ayo bantu kakek ini pulang. Dimana rumahmu kek? Kami akan mengantarmu pulang,” kata Leil. Aku langsung menggendong kakek itu. Aku dan Leil berjalan berdampingan ke arah yang ditunjuk si kakek. Kami berjalan cukup jauh memasuki bukit dan menemukan sebuah gubuk sederhana atau lebih tepatnya reot. Aku tak pernah tahu jika di bukit ini ada yang tinggal di sini selain aku dan Sofia.
“Kau tinggal di sini?” tanyaku.
“Tentu saja. Memang tidak terlihat layak tapi sungguh ini sudah sangat cukup bagi orang tua sepertiku,” jawab si kakek sambil terkekeh. Leil memijit kaki si kakek perlahan sambil terus mengoceh tentang pertolongan pertama bagi kaki yang terkilir. Ia bahkan sampai membanggakan gelarnya sebagai peserta terbaik dalam seminar keselamatan kerja.
“Akan kubuatkan sesuatu yang hangat. Dimana dapurnya?” jawaban si kakek membuat Leil segera menuju dapur dan menyisakan kami berdua di kamar ini.
“Kau sengaja muncul di hadapan kami, bukan? Siapa kau sebenarnya?”
“Apa penampilanku tak cukup meyakinkanmu?”
“Bahwa kau hanya kakek renta yang terpeleset dan tak bisa berjalan? Tidak. Katakan saja, aku tak perlu basa-basi. Sandiwaramu itu menyedihkan,” sambarku. Dia hanya terkekeh pelan lalu menyeringai dengan tatapan yang tak kusukai. Dia merapalkan sesuatu dan terciptalah dinding semu yang membatasi dinding ruangan ini. Sudah kuduga bahwa dia bukan orang sembarangan.
“Mengapa kau menanyakan pertanyaan itu pada orang lain. Jika kulempar pertanyaan itu padamu apa kau bisa menjawabnya? Siapa kau sebenarnya, Pierre?” aku diam mendengarnya membalikkan pertanyaanku. Dia benar, aku sendiri juga tak tahu siapa aku sebenarnya dan makhluk apa aku ini. Bahkan Sofia tak pernah mau menjawab pertanyaanku tentang itu. Lalu apakah si kakek tahu siapa aku? Atau setidaknya mengenal siapa orang tuaku?
“Jadi, siapa aku sebenarnya?” tanyaku putus asa. Dia hanya tertawa lepas.
“Kau bisa berada dimana saja sesukamu. Tapi saat ini kau hidup bukan sebagai aliansi juga oposisi, kau belum memilih kelompok mana kau ingin berada. Apapun pilihanmu, hasilnya akan sama karena mereka hanya punya dua alasan memburumu. Antara memanfaatkanmu atau melenyapkanmu sebelum kau bergabung dengan salah satu di antara mereka. Sayangnya Leil muncul di tengah perburuanmu.”
“Perburuan? Siapa ‘mereka’ yang kau maksud?”
“Tiga darah yang berbeda mengaliri tubuhmu. Kau hidup di ketiga dunia itu. Jadi nikmatilah,” bisiknya. Leil masuk dan melenyapkan penghalang yang dibuat sang kakek. Ia membawa teh dalam cangkir besar untuk si kakek, dia juga membawa wadah gula ke meja di samping ranjang.
“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya Leil lembut.
“Tentu saja. Aku dikelilingi anak muda yang peduli padaku, terimakasih. Mungkin aku perlu beristirahat beberapa hari untuk memulihkan tubuh rentaku.” Leil mengangguk.
“Istirahatlah, Kek. Jangan lakukan pekerjaan yang berat dulu. Kusempatkan menjengukmu besok sepulang kerja. Akan kubawakan kue yang enak juga.” Leil begitu lembut dan tanpa curiga pada si kakek. Padahal aku hanya berdiri kaku di tepian pintu dan menatap sinis ke orang tua yang tengah bersandiwara itu.
“Urus pemuda itu juga, dia begitu kaku. Sikapnya membuatku ngeri,” kata si kakek pada Leil yang langsung menatapku dengan wajah garangnya. Mengapa aku?
“Dia memang sulit berkomunikasi dengan orang lain tapi dia sebenarnya sangat peduli. Dia seperti kerang yang menyimpan mutiara, jadi jangan pedulikan cangkang kerasnya,” jawab Leil.
“Ya, aku tahu persis orang-orang seperti itu. Hari semakin malam, kau pulanglah.”
“Baiklah. Istirahat ya Kek,” kata Leil sambil merapatkan selimut si kakek dan mengajakku keluar. Aku segera keluar dari kamar saat kalimat si kakek itu menghentikanku.
“Jangan mati dengan mudah,” sambar si kakek.
“Kau punya orang yang peduli pada keberadaanmu, ada orang yang menghargai kehidupanmu. Kau tidak lagi hidup untuk dirimu sendiri tapi juga untuk mereka yang peduli. Berhentilah berpura-pura bahwa kau bisa menahan tiga darahmu sendiri, itu akan sangat menyakitkan. Berbagilah.”
“Simpan pertanyaanku dan kuharap kau siap dengan jawabannya saat aku kembali.” Aku segera mengantar Leil sampai ke rumahnya. Tapi aku harus bergegas untuk kembali menemui kakek itu. Aku harus dapat jawabannya mala mini juga.
“Terimakasih, sepertinya ini bukan pertama kalinya kau mengantarku pulang.”
“Ini pertama kalinya. Sungguh,” kataku mencoba meyakinkan.
“Kau pikir aku akan percaya? Setelah berulang kali kau mecoba menghilang dariku? Aku gadis yang cepat belajar dan kau akan kesulitan menipuku lagi.” Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya, sementara dia terbahak karena senyumku. Seolah Leil ingin mengatakan bahwa kali ini dia menang. Dia mulai bergerak menaiki lima anak tangga menuju teras rumahnya sementara aku tetap diam di tempatku berdiri.
“Baiklah, aku kagum pada kecepatan belajarmu itu nona.”
“Leil?” panggil seseorang dari dalam rumah. Leil mengibaskan kedua jemarinya ke arahku. Aku masih bingung dengan aksinya dan hanya melihat ke arahnya berharap sebuah kata yang bisa menjelaskan lebih baik daripada gerakan jemarinya. Ia menuruni dua anak tangga dan mendorongku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku.
“Pergilah, ayah akan menemukanmu dan ini berbahaya untuk ki…”
“Berbahaya? Apa aku terlihat berbahaya, Leil?” celetuk pria tinggi besar dengan kemeja maroon yang sudah muncul di depan pintu. Leil menghentikan gerakannya dan menghalangi pandanganku.
“Ayah, aku pulang,” katanya ceria.
“Ada seorang pria di belakangmu. Menyingkirlah, aku ingin melihatnya,” kata ayah Leil dengan suara beratnya. Setelah Leil menyingkir sedikit, baru kulihat bahwa pria itu tengah mengelus senapannya. Ya, mungkin dia memang pria yang berbahaya.
Ayah Leil memandangiku dari atas sampai bawah dan seolah tak mempercayai status manusiaku. Dia menuruni anak tangga, melewati Leil dan tepat berhadapan denganku kini.
“Namaku Pierre, Pak,” kataku spontan sambil mengulurkan tangan kananku mengajaknya berjabat tangan. Dia meraih uluran tanganku, hanya sebentar lalu melepasnya segera.
“Apa kau keturunan?” pertanyaannya mengejutkanku. Mengapa ia bisa menerka begitu cepat? Padahal aku mencoba menyembunyikannya dengan baik. Suhu tubuhku juga sedang normal seminggu ini. Bagaimana ia bisa tahu?
“Ayah!” seru Leil, pria itu hanya tersenyum dan meminta maaf pada puterinya.
“Bola matamu begitu indah untuk seorang pria kurus menjulang sepertimu. Turquoise adalah pilihan warna yang bagus. Pasti ibumu sangat menyukai keindahan, hahaha,” kelakar Tuan Grazdien. Ternyata baik ayah ataupun anak, mereka memerhatikan warna bola mataku. Aku hanya tersenyum menanggapi jawabannya.
“Terimakasih sudah mengantar puteriku dengan selamat, Pierre.”
“Saya pamit.”
“Hati-hati di jalan,” kata Leil dengan ceria meski ayahnya terus mendorongnya untuk segera masuk. Kuharap aku bisa terus melihat senyum cerianya itu. Dalam perjalanan pulang, omongan si kakek masih melintas lamat-lamat dalam ingatan. Siapa dia? Mengapa juga aku harus memikirkan ocehan seorang kakek yang bahkan tak mau menyebutkan namanya? Kuharap orang tua itu masih setia di rumahnya.
Ini buruk. Kulihat gubuk itu nyaris roboh dan berantakan, ada cipratan darah dimana-mana. Apa orang tua itu selamat? Siapa pula yang melakukan tindakan hina seperti ini? Apa mereka perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk mengalahkan seorang kakek? Hmmm, aku melupakan hal yang penting. Dari awal aku memang curiga bahwa dia tengah bersandiwara tapi aku tak mengharapkan dia menghilang dengan cara ini.
“Hey orang tua, kau dimana? Apa kau masih hidup?” teriakku sembari mendekat. Tak ada jawaban dari dalam bahkan aku mendapat sebuah serangan. Beberapa pria keluar dari gubuk dan segera menghantamkan pukulan mereka. Jika tak cepat menghindar, mungkin aku sudah hancur berkeping-keping.
“Pierre? Ini kejutan yang menyenangkan. Ternyata kau berhubungan dengan orang tua yang kami kejar. Dia terlalu banyak mengetahui tentang kami, jadi kupikir akan lebih baik jika dia lenyap. Siapa dia sebenarnya?” tanya salah satu pria itu. Asal kau tahu, dia vampir dan aku mulai tidak suka pembicaraan ini.
“Aku cukup terkenal ya,” jawabku enteng.
“Kau masuk daftar teratas buruan kami. Bahkan pemimpin yang mengatakannya bahwa aku harus membunuhmu setelah aku membunuh orang tua itu. Tapi tak masalah jika aku membunuhmu lebih dulu.”
“Jadi orang tua itu masih hidup?”
“Siapa dia? Katakan semua informasi yang kau ketahui sebelum hal berharga itu ikut mati sia-sia bersamamu.”
“Aku juga ingin mengetahuinya dan sayang sekali aku masih belum ingin mati sebelum mendapatkan jawaban dari mulut si tua itu. Apa jawabanku membantu kalian?”
“Kau tidak menjawab sama sekali. Matilah kau makhluk terkutuk!”

(Bersambung…)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.