[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 21


Yo semua, semoga ceritanya ga semakin ngelantur. Tapi sungguh sinetron ini (*astaga salah ucap lagi, cerbung -_-) sudah mulai merangkak ke klimaksnya. Sebelum keajaiban cerita ini di kepala saya ngilang, nikmatin aja dulu sedikit drama dari cecintaan nya (baca: cinta-cintaan). Sebenarnya sedikit melenceng dari genre dengan penambahan cerita cinta. Maka dari itu mohon masukannya. Happy reading…


LEIL
Pierre,” seruku.

Dia terbaring di atas sofa dekat perapian yang masih menyala kecil. Aku segera menghampirinya. Dadanya terbalut perban dengan sempurna tapi darah merembes dan membasahi permukaannya. Wajahnya pucat tapi ia terlelap dengan nyenyak. Entah mengapa aku merasa pernah berada dalam keadaan ini juga. Saat aku menemukan Pierre terlelap dengan sebuah luka. Tapi lukanya kali ini terlihat jauh lebih menyakitkan daripada yang dulu. Apa yang terjadi padanya? Kurapatkan selimutnya dan ia justru terbangun.

“Leil?” gumamnya terkejut. Aku terhenyak dan untuk sejenak, aku hanyut dalam bola matanya. Aku bersimpuh di sisi sofa dan menunggu kalimat selanjutnya yang kuyakin akan menjadi sebuah pertanyaan.

“Mengapa kau ada di sini?”

“Sudah kuduga kau akan bertanya. Aku hanya berteduh dan menemukanmu, sebuah kebetulan.  Aku tak menemukanmu dimanapun selama beberapa hari ini. Aku khawatir.”

“Pesanku,” bisiknya lirih.

“Ya, aku sudah menerima pesanmu. Seorang vampir wanita menemuiku untuk mengatakannya. Astaga! Apa vampir itu yang melakukan ini padamu?” Pierre segera menggeleng dan kulihat jelas wajahnya tengah menahan sakit.

“Kau sudah minum obat?”

“Entahlah, aku hanya tidur dan menemukanmu,” katanya dengan sunggingan senyum yang menawan meski wajahnya sangat pucat. Hujan di luar bertambah lebat dan menghempaskan beberapa tirai untuk melambai liar. Pierre berusaha untuk duduk, saat itulah darah menetes dari balutan perbannya.

“Aku akan mengganti perbanmu. Dimana kotak obatnya?” kataku kemudian, ia menunjuk ke arah perapian. Kulihat sebuah kotak putih berada di atas meja samping perapian. Aku segera bergerak ke sana untuk mengambilnya dan menambahkan kayu dalam perapian. Kurasa malam ini akan jadi malam yang dingin.

“Kau cantik malam ini, Leil.”

Astaga, wajahku pasti memerah karena kalimatnya. Gaun yang kukenakan malam ini memang buatan perancang terkenal dan menjadi gaun terindah yang kumiliki. Tapi, haruskah aku katakan pada Pierre bahwa aku dan Jossie akan bertunangan? Kupandangi wajah pucat Pierre dan kuputuskan untuk menundanya, lagipula pertunangan itu juga akan mundur karena ketiadaanku. Jossie pasti panik, aku belum ada di rumahnya ketika acara akan segera dimulai. Setidaknya pesta tetap akan berjalan untuk merayakan ulang tahun Jossie. Tapi untuk saat ini, aku harus mengurus Pierre lebih dulu.

Perlahan aku mulai melepas kancing kemeja yang Pierre kenakan. Ia masih menyernyit kesakitan karena lukanya. Kugunting perban berlumur darah dan melepasnya perlahan. Kulihat sebuah luka tikaman menyeruak di permukaan kulitnya yang putih. Luka itu menganga dan masih merah berlumur darah. Kuoleskan antiseptic di pinggiran lukanya.

“Lukamu parah. Sepertinya kau perlu ke dokter untuk menjahit lukamu,” kataku kemudian. Tapi aku hanya melihat sunggingan senyum di wajahnya.

“Apa?” tanyaku sewot menanggapi sunggingan senyumnya.

“Aku senang melihatmu di sini.”

“Ya tapi aku kurang beruntung karena menemukanmu dengan luka ini. Padahal aku mengharapkan sesuatu yang lebih normal untuk sebuah pertemuan.” Kulihat Pierre hanya menyeringai masam.

“Siapa yang melakukannya?” kejarku.

“Kau tidak akan percaya jika aku mengatakannya.”

“Aku masih menunggu jawabanmu.”

“Joshua Franklin.” Aku terkejut mendengar jawabannya. Tanganku diam dan bergetar. Jossie tak mungkin melakukan hal seperti ini.

“Sudah kubilang kau tidak akan percaya.” Tapi mengapa Jossie melakukannya? “Kau pasti bercanda. Mungkin kau hanya mengigau karena lukamu sangat parah, pasti itu yang memengaruhi pemikiranmu.”

“Sudahlah. Bukan hal yang perlu dibicarakan lagi.”

Aku masih diam sambil memandangi luka Pierre. Tanganku kaku seolah terikat perban. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Gelegar petir sesekali mengejutkanku. Apa dia sungguh bukan manusia? Dia pernah mengatakan bahwa ia menghapus ingatan orang-orang mengenai dia. Bahkan ia juga pernah berusaha menghapus ingatanku. Aku tak begitu mencurigainya karena mendiang kakekku juga bisa melakukannya dengan merapal beberapa mantera. Kemampuan itu tidak secara khusus diberikan pada suatu golongan, bahkan manusia biasa sanggup melakukannya. Asal dia menemukan gua peri dan belajar tentang mantera, seperti yang dilakukan kakek.

Tapi aku masih penasaran pada Pierre. Seharusnya aku menemukan bekas luka robekan di lengannya. Luka yang tak bisa kulihat meski kini ia bertelanjang dada. Obat apa yang mampu menyembuhkan hingga tidak tersisa bekas luka sama sekali? Kalau pun ada, seharusnya memakan waktu yang cukup lama. Juga saat ini, manusia biasa tak akan bisa bergerak dengan luka menganga di dadanya. Bahkan cukup beruntung jika orang itu bisa tetap tersadar. Lalu Pierre?

“Leil, ada apa?” tanyanya lemah. Dia segera menyadari diamku dalam renungan.

“Mengapa kau meninggalkanku di hutan waktu itu? Lalu kau bilang, kau bukan manusia. Tapi hari ini aku menemukanmu di sini, terbaring dengan wajah pucat dan luka mengerikan. Jika kau memang bukan manusia, bukankah kau bisa menghindar dari serangan Jossie? Bahkan mungkin kau bisa membunuh Jossie. Kau berbohong padaku,” kataku kemudian.

“Kebohongan apa yang kau maksud Leil?”

“Tentang semuanya.”

“Dia tidak berbohong nona kecil,” sambar suara seorang wanita. Aku menemukan vampir wanita yang menemuiku di bukit. Dia muncul begitu saja dari kegelapan dan bergabung bersama kami.

“Kau lelah bersembunyi, Sofia?” sapa Pierre.

“Kau mengenalnya?”

“Jauh sebelum dia mengenalmu,” sambar wanita itu.

“Sebenarnya dia bisa saja menyembuhkan luka ini. Tapi dia sengaja menahannya agar memperbesar kemungkinan untuk bisa menjadi normal. Akan kukatakan sesuatu yang kutahu, pria ini memiliki darah campuran. Ia bisa menjadi apapun yang dia inginkan, tapi apa kau tahu yang dipilihnya? Ia ingin hidup normal sebagai manusia meskipun sudah kubilang berkali-kali bahwa manusia adalah pilihan yang paling lemah.”

“Mengapa dia memilihnya?” tanyaku dengan wajah bodoh.

“Mengapa? Aku juga tidak tahu. Padahal bisa saja saat ini dia gunakan kemampuan penyembuhannya, tapi ia menolak. Karena ia tak ingin menjadi makhluk itu. Ia tak ingin membuatmu takut, nona kecil,” ujarnya.

“Apa maksudmu dengan makhluk itu?”

“Makhluk yang kau takuti.”

“Sofia, hentikan bicaramu,” sahut Pierre.

“Pierre, kau seharusnya tak menahan sakit itu terlalu lama. Bukankah kau sudah sampai pada batasanmu? Bukankah kau seharusnya melepas kemampuan spesialmu?” Vampir wanita itu duduk di atas anak tangga samping perapian. Aku masih beku sambil memandangi reaksi Pierre. Dia juga masih diam di atas sofa dengan lukanya.

“Aku tak akan melepaskannya.”

“Lepaskan,” kata si vampir wanita. Tak lama kemudian kulihat luka Pierre perlahan mulai menutup dengan sempurna. Hanya perlu beberapa menit untuknya memulihkan diri dan luka itu menghilang. Bahkan tanpa bekas sekalipun. Aku semakin hanyut dalam diamku. Jadi apa maksud dari semua ini?

“Dia tak pernah berbohong padamu, nona kecil,” ulang si vampir wanita.

Bukan vampir yang melakukan hal itu? Lalu? Tanpa sadar tanganku bergetar ketakutan. Jadi Pierre adalah werewolf? Apa yang dia lakukan dengan vampir wanita ini? Bukankah vampir dan werewolf tak pernah menjadi sekutu? Bukankah Viga bukan kota para werewolf. Apa yang sebenarnya terjadi?

“Sudah kubilang bahwa kau akan ketakutan,” kata Pierre. Ia menunjukkan sebuah perubahan kecilnya padaku. Ujung jemarinya perlahan membentuk kuku panjang yang menyerupai cakar seekor serigala, lengkap dengan bulu kecoklatan yang menyembul.

“Kau?”

“Kau ketakutan, nona kecil?”
***
Bonus visualisasi Pierre-Leil, untuk wajah harap visualisasikan sendiri. Hehehe

PIERRE
Leil lari meninggalkan kami. Aku keterlaluan, tapi bukan kulakukan karena keinginanku sendiri. Sofia yang melakukannya, entah apa yang dia lakukan padaku hingga tubuh ini menurut begitu saja. Langkahku langsung terpancing untuk mengejar Leil, Sofia segera bergelayut manja dengan mengalungkan dua lengannya.

“Apa yang akan kau lakukan?” bisiknya.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” balasku.

Langsung kulepas lilitannya dan kuraih kemejaku lalu mengejar Leil. Kuharap dia belum pergi jauh. Di luar gelap sudah meraja, terlalu gelap untuk mata seorang manusia yang menatap tanpa cahaya. Hujan juga masih mengguyur, semakin lebat bercampur dengan hawa dingin perbukitan di malam hari. Cahaya dari kilatan petir sesekali menerangi. Angin kencang menghempas ilalang yang memenuhi halaman. Kulihat Leil tengah berlari tanpa arah, bisa kudengar isakannya di antara tetes air hujan. Apa kenyataan yang kuberikan padamu terlalu menyakitkan? Bagaimana aku harus meminta maaf padamu?

Aku langsung melesat menuju beberapa langkah di depannya. Meski gelap, aku masih bisa melihat sekitarku termasuk Leil yang tengah menuju ke arahku. Leil juga kemungkinan bisa melihat mata turquoise-ku yang terlihat lebih terang dalam gelap. Dia menyadarinya dan berhenti bergerak ketika kilatan petir memperlihatkan keberadaanku. Leil berbalik arah dan berlari ke arah lainnya untuk menghindariku, tapi bagaimana mungkin dia mengabaikanku?

“Jangan ikuti aku! Biarkan aku pergi!” teriaknya putus asa.

Dia terus berlari hingga di satu titik ia terpeleset dan jatuh dalam rengkuhanku yang seketika menghampirinya. Keheningan menyergap. Baik aku ataupun Leil masih enggan untuk memulai pembicaraan. Dia melepaskanku dan membiarkan tubuhnya terjatuh di antara ilalang basah. Hujaman air hujan membekukan keheningan kami. Bisa kulihat air mata Leil masih mengalir meski tercampur dengan aliran air hujan.

“Bagaimana aku harus mengatakannya?” kataku memulai pembicaraan.

“Kau sudah mengatakannya. Dengan kemampuanmu itu, kau mungkin bisa melihatku. Tapi aku hanya bisa melihat bola matamu. Vampir wanita itu benar, aku ketakutan.”

“Leil?”

“Percuma aku lari karena kau akan menyusul langkahku dengan segera. Jadi aku akan diam dan berharap kau melepaskanku. Aku memohon padamu, izinkan aku pergi untuk malam ini.”

Leil bahkan meraba sekitarnya dan setelah ia menemukan kakiku, ia memeluknya di sana. Berkali-kali mengatakan bahwa ia memohon agar aku melepaskannya. Apa yang sebenarnya ada di kepala gadis ini? Aku sama sekali tak mengerti. Bahkan hatiku serasa tersayat setiap kali dia memohon dengan suara bergetar. Ia kembali melangkah dan kini perlahan. Seolah kembali pada logikanya dan berjalan sambil meraba sekitarnya untuk membantu kebutaan mata manusia pada kegelapan malam. Aku masih terpaku sambil memandangi langkah tertatihnya. Kudekati dia dan kugenggam tangannya dari belakang. Ia berusaha menolak tapi tak kuasa melepaskan diri dariku. Tangannya yang dingin bergetar dalam genggamanku.

“Jangan pergi, Leil. Kau menyakiti perasaanku, bahkan dengan sakit yang tak bisa kusembuhkan dengan kemampuan ini.” Kudengar Leil kembali terisak.

“Tanganmu hangat,” sergahnya.

Kumasukkan Leil dalam pelukku, tanpa terduga Leil juga menyambutnya. Tangannya melingkari tubuhku dan ia terisak semakin keras. Ia menangis, terus terisak dan sesekali menggumam. Meski lirih, aku masih bisa mendengarnya. Tentang ketakutannya padaku, tentang keberanian yang ia sebut bodoh karena memelukku dan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Leil khawatir akan hidupnya, ada selintas kenangan yang ia tampilkan dari ketakutannya. Tentang sebuah peristiwa mengerikan yang pernah dialaminya. Tentang manusia, vampir dan werewolf. Sesuatu yang terlalu rumit hingga aku tak mampu memahaminya.

“Leil?”

“Jika aku bisa memelukmu tanpa rasa takut, aku pasti aku akan melakukannya. Tapi rasa takut itu yang terus membayangiku, betapa masa lalu benar-benar menghantuiku sampai saat ini. Seandainya kau makhluk yang sama sepertiku, mungkin aku tak akan lari. Bahkan aku akan memelukmu di depan semua orang. Ini kisah lama, bahwa manusia selalu menjadi pihak yang dirugikan dalam kisah lintas golongan. Bahwa manusia tak bertahan lama dalam perjanjian dengan makhluk seperti kalian.”

“Kau bisa melakukannya sekarang,” kataku mencoba menenangkannya.

“Tidak. Tidak semudah sebelumnya. Tidak sebelum malam ini. Tidak semudah saat aku belum menyadari arti dari perkataanmu saat itu,” jawab Leil pelan.

“Kau hanya perlu menghilangkan malam ini, bukan?”

“Andai aku bisa memelukmu lebih lama. Aku kedinginan,” akunya. Leil melepaskan peluknya dan melorot dari pelukku. Aku segera merengkuhnya dan menemukan Sofia ada di belakang Leil. Dia yang melakukannya, membuat Leil tak sadarkan diri dan kini jatuh dalam pelukanku.

“Kau akan mendapatkannya. Malam ini juga seterusnya,” bisikku sambil menggendongnya.

“Apa lagi yang akan kau berikan padanya?” tanya Sofia sewot.

“Kau sudah mendengarnya, bukan? Bisakah kau membantuku? Aku tahu kau lebih baik daripada aku dalam hal itu. Kumohon,”

“Kau yakin akan melakukannya?”

“Apapun yang Leil minta. Jika dia bisa melupakan malam ini, berarti dia bisa melupakanku.”

“Pria memang bodoh,” celetuk Sofia yang hanya kubalas dengan seringai.

“Terserah apa katamu.”

Leil masih ada dalam dekapanku dan kubawa ia kembali ke dalam rumah. Tubuhnya menggigil kedinginan ketika kubaringkan di atas sofa. Kugenggam tangannya yang dingin.

“Pakaiannya basah. Aku akan mengurusnya,”celetuk Sofia.

Aku keluar dan membiarkan mereka berdua berada di dalam. Membayangkan Leil memohon dengan suara bergetar ketakutan membuatku tak henti menyesal. Hujan masih terus menetes, angin juga sesekali berhembus. Aku harus mengantar Leil pulang tanpa memori tentang malam ini. Sofia yang akan menghapusnya, kemampuannya jauh lebih baik daripada aku karena dia adalah Trueblood, makhluk dengan kasta tertinggi. Jadi bisa kupastikan bahwa Leil benar-benar melupakan tentang malam ini.


(Bersambung…)

3 komentar:

  1. Semakin bingung dengan ceritanya, hihihi...
    tp bagus bang, aku kira si piere itu vampir ehh ternyata musuhnya vampir. Kayaknya ini bakal jadi saingannya twillight apa? karena berasa si bella pilih jacob daripada edward. hihii...
    hipotesa pribadi sih, sejauh ini aku masih banyak berharap pada Leil dan Piere, taulah si josie itu, menurutku bisa di tuinnnggg jauhhh,
    tp entahlah semua cerita di atas endingnya hanya penulis yang tahu, harapannya semoga endingnya ga mengecewakan walau mungkin endingnya bakal ga sesuai dengan pikiran pembaca.

    good job bang, lanjut terus ya..
    siapa tahu di luar sana masih banyak penggemar rahasia yang suka cerbung ini seperti ku :)

    BalasHapus
  2. hmmm, wah keping selanjutnya rada telat nih...

    BalasHapus
  3. tentang anti-twilight sebenernya lebih ke anti-Bella (ini double L yah, jadi bukan Bela author). cerita ini mau di kompleks di actionnya dan sebar banyak twist bukan kompleks di cintanya (seperti punya mbak Bella)

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.