[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 20


Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Yoo semua, hari Kamis harinya update sinetron ini (buseet dah sinetron, maksudnya cerbung). Kali ini saya akan coba kasih satu demi satu bocoran tentang rahasia para tokoh. Tapi ga semuanya dalam satu keping yah... Jadi sabar aja sampai saat rahasia tokoh yang kalian suka terbuka. Semoga masih terus setia bacanya. Oh ya, kalo mau komen dipersilahkan loh (meskipun balasan biasanya ga langsung tapi pasti di balas kok). Ada tambahan ilustrasi tokoh dan tambahan lebih panjang dari biasanya nih buat hadiah atas penantian panjangnya, hehehe. 
Happy Reading!

PIERRE
Senja terbingkai di kaca jendela selebar pintu lemari. Gelap mulai merambah mata, segera kunyalakan lilin di tengah meja makan. Poci bermotif bunga masih mengepulkan uap hangat dari teh yang kuseduh. Bahkan aku sudah mengosongkan setengah dari cangkir teh yang kutuang. Duduk dan menikmati hari ini akhirnya berakhir. Hari keempat tanpa kulihat Leil, juga tanpa krisan di atas nisan. Kali ini aku mencoba menikmati keindahan lain dan memulai membiasakan diri dengannya.

Kupandangi krisan yang menyembulkan kuncup bunga di ujung tangkainya. Tak sabar aku melihatnya mekar sempurna. Krisan adalah yang terbaik, memang tak seharum mawar atau bunga lainnya. Tapi melihatnya mekar selalu membuat hatiku begitu tenang dan damai. Aku kembali mengisi cangkir tehku sambil memandangi tiga pot krisan yang tengah bermekaran. Tiba-tiba telingaku menangkap suara sebuah gerakan dari arah belakang. Aku hendak meninggalkan krisanku untuk memastikannya ketika kutemukan Joshua Franklin ada di hadapanku.

“Rupanya di sini kau bersembunyi.”

“Seharusnya kau mengetuk pintunya, maka akan dengan senang hati aku membukanya. Kupikir kau lebih mengerti tentang tata krama dan peraturan semacam itu, Joshua Franklin.”

“Dari awal aku tahu kalau kau adalah sumber masalah. Entah itu bagiku maupun bagi Leil, saat ini semakin terbukti jika kau pengganggu!”

“Maaf, aku tak mengerti dengan apa yang kau ucapkan? Mau minum teh? Silahkan duduk,” kataku sambil memandu Jossie untuk duduk di kursi yang ada. Aku berhasil meredam emosinya tapi kupikir hanya sejenak. Kuambil sebuah cangkir lagi dan menuang teh ke dalamnya.

“Kau seperti orang mati. Kau bahkan tinggal di rumah seperti ini,” celetuknya.

“Jadi, ada apa?”

Jossie menerjang dan menghantamkan tubuhku ke atas meja. Poci dan cangkir-cangkirku remuk menjadi kepingan. Air teh juga membasahi punggungku. Aku tak mengerti dengannya, yang aku tahu punggungku mulai terasa nyeri.

“Kau akan mengacaukan rencanaku dan taruhannya. Aku tak pernah mengalami kekalahan sepanjang hidupku. Aku tak akan membiarkanmu mengacaukan segala hal yang sudah kurencanakan. Termasuk merebut hati Leil. Dia milikku, aku bertaruh banyak untuknya karena itulah aku tak boleh kalah!” kata Jossie kalap.

Apakah pria di hadapanku benar-benar Jossie? Pria yang begitu lembut dan selalu ingin membahagiakan Leil? Benarkah itu dia? Aku tak yakin, ada sesuatu yang aneh yang membuatnya bertingkah brutal seperti ini.

“Kau bukan Jossie.”

“Memang. Aku Joshua Franklin. Pemilik ratusan bisnis properti dan pemuda terkaya di Viga. Aku menjadi konglomerat termuda yang pernah ada. Aku bukan Jossie, pemuda yang tunduk pada seorang wanita dan mengikuti apa yang diinginkannya. Aku lelah berpura-pura dan keberadaanmu membuat penderitaanku bertambah panjang,” ocehnya.

“Jadi inilah dirimu yang sesungguhnya? Jossie lemah lembut itu hanya kamuflase, benar-benar munafik. Aku tak menyangka kau seperti ini.”

“Wanita mudah luluh oleh pria berhati lembut. Pada akhirnya tak ada yang bisa menyangka siapa Joshua Franklin sebenarnya. Kemunafikan sudah menjadi jalan terbaik jika kau ingin bertahan di dunia ini. Semua orang sudah tahu itu.”

Dia tertawa terbahak sambil terus menekanku di atas meja. Aku tak menyadari ketika dia sudah merengkuh pisau dapur dan menghujamkannya menembus dadaku. Darah langsung membanjiri tubuhku. Jossie melemparkanku ke arah jendela dan membuat pot-pot krisan jatuh berantakan. Seketika tubuhku seolah terisi oleh kemarahan, tangan kananku sudah mengepal keras dan siap kuhantamkan pada pria itu. Tapi hal itu kuurungkan, terlintas wajah Leil menghentikanku.

“Begitulah kau yang seharusnya. Mati perlahan di rumah kosong dan tak akan ada yang menyadari kematianmu. Betapa menyedihkannya.” Jossie melemparkan setangkai mawar putih ke hadapanku.

“Terimalah. Setidaknya aku orang pertama yang berduka untukmu. Harumnya mawar akan mengiringi kematianmu dan mengusir bau darah yang menjijikan. Beristirahatlah dengan tenang Pierre sahabatku,” kelakarnya.

Ia melangkah semakin menjauh dan tak bisa kulihat lagi bayangannya. Hanya suara pintu tertutup yang masih samar bisa kudengar. Dia pergi dan kupikir kalimatnya mungkin benar. Tapi aku tak mau mati di sini, aku tak mau kehilangan kehidupanku sebagai manusia. Aku ingin tetap hidup dan bertemu gadis itu untuk melihatnya tersenyum. Pandanganku semakin gelap, apa yang bisa kumohonkan?

“Apa kabarmu, bocah bodoh?” sapa Sofia saat aku membuka mata. Dia tengah jongkok di hadapanku, kedatangannya bahkan tidak aku rasakan.

“Sofia,” gumamku.

”Aku mencium bau darah yang lebih lezat daripada darah lainnya. Kupikir hanya satu yang memilikinya, hanya darah manusiamu.”

Sofia membantu tubuhku yang kepayahan untuk berdiri, kedua tangannya berada di bahuku. Matanya menatap mataku dan bergeser pada robekan kulit yang masih mengalirkan darah. Ia terlihat sangat bergairah memelototi lubang itu. Seolah ia ingin menelan bulat-bulat jantungku. Tapi aku percaya padanya, ia tak akan melakukan apapun selain membantuku menyembuhkannya lagi.

“Seperti biasa, selalu kau yang muncul pertama saat aku dalam kesulitan.”

“Aku hanya tak ingin vampir lain mencicipimu dan itu akan mengurangi jatahku,” katanya ketus.

Di balik ocehan menyebalkannya, aku tahu kalau dia yang paling khawatir akan keadaanku. Setiap kali aku berada di jalan buntu, dia akan meraihku dan membukakan jalan baru untukku. Dia seperti seorang ibu bagiku. Sofia membaringkanku di atas sofa dan mulai membersihkan darah yang mengucur.

“Mengapa sampai seperti ini? Tak bisakah kau berhenti melukai dirimu sendiri dan tetap bersembunyi?”

“Joshua Franklin.”

“Dia yang melakukannya?” aku hanya mengangguk dan Sofia membalasnya dengan tawa. Ia menertawakan kelemahanku.

“Aku harus menjauhkan Leil darinya.”

“Hey, kau cemburu padanya? Kau bilang akan melepas Leil pada pria flamboyan itu dan meninggalkannya. Sepertinya baru kemarin kau mengatakan itu, lalu mengapa kini kau berubah pikiran?”

“Karena baru sekarang aku tahu bahwa Jossie bukan pria yang akan membuat Leil bahagia. Dia hanya memanfaatkan Leil dan taruhannya.”

“Taruhan apa maksudmu?”

“Entahlah, aku juga tak tahu pasti. Tapi aku takut itu mengenai Leil.”

Sofia sudah selesai membalut lukaku, kini ia tengah sibuk menjilati sisa darah yang masih menempel di jemarinya. Itu kebiasaannya, memang sedikit mengganggu tapi aku sudah terbiasa.

“Aku harus memperingatkan Leil,” kataku. Kupaksa tubuhku bergerak untuk bangkit. Aku harus menemui Leil dan memperingatkannya tentang Joshua Franklin. Luka di dadaku kembali mengirimkan sinyal nyeri dan membuatku kaku. Hampir saja aku roboh jika Fista Sofia tak sigap menangkapku. Dia memasukanku dalam pelukannya dan berbisik.

“Tidak. Yang harusnya kau lakukan hanya tidur.” Begitu Sofia mengecup keningku, entah bagaimana ia bisa merenggut kesadaranku. Aku terlelap.
***
Hahaha, saya rasa ada yang aneh dengan wajah Sofia.
Yap, perkenalkan. Hari ini harinya Sofia...

LEIL
Aku masih menunggu Pierre di bukit, sudah empat hari ini aku tak melihatnya. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya, tentang Jossie. Aku ingin dia datang ke pesta yang diadakan Jossie, meskipun kurasa itu tak membuatnya bahagia. Dia tak pernah menyukai keramaian.

Seekor kupu-kupu biru bersinar melintas di depanku. Bahkan pendaran cahaya dari kepakan sayapnya terlihat lebih terang daripada lilin di hadapanku. Indah, seolah aku tengah tersesat di negeri fantasi yang biasa kubaca dalam dongeng. Dia bagaikan seorang peri mungil yang bergerak lincah untuk menaburkan bubuk ajaibnya. Jemariku bergerak untuk menyentuhnya, tapi segera kuurungkan niat itu. Aku berada di bukit mistis, tak seharusnya manusia normal berada di sini saat malam. Mungkin saja kupu-kupu itu adalah bagian dari makhluk supranatural yang tak seharusnya aku ganggu.

Jadi gadis ini yang dipilihnya? Aku tak menyangka, bahkan ia tak secantik yang kubayangkan. Bagaimana aku harus membawanya?

“Siapa di sana? Aku bisa mendengarmu jadi keluarlah,” kataku cepat setelah kudengar bisikan seorang wanita. Jaraknya tak jauh dariku dan mungkin dia sudah cukup lama berada di tempat ini dan mengamatiku. Sesaat kemudian seorang wanita berambut ikal panjang hadir di hadapanku. Dia bukan manusia, kusimpulkan setelah melihat kulitnya yang begitu pucat dan satu yang pasti, matanya merah dengan sebuah titik di mata kanannya.

“Kau bisa mendengarku?” tanyanya heran.

“Begitulah. Bukan hanya kau, tapi semua makhluk sepertimu dan seseorang yang kukenal. Aku bisa mendengar apa yang mereka bisikkan meski pada hati kecil mereka. Kau bukan yang pertama menanyakan hal itu.”

“Mengagumkan,” pujinya.

“Terima kasih tapi ini bukan kelebihanku. Kuanggap ini keanehanku.”

Vampir wanita itu terus memandangiku. Bola matanya merah terang dan terlihat semakin bersinar karena gelapnya sekitar. Tapi aku tak bisa lagi menerka apa yang dia pikirkan. Padahal jelas kulihat dia tengah memikirkan sesuatu.

“Kau tidak berpikir untuk menjadikanku makan malammu kan?” dia masih diam lalu duduk di atas makam sebelahku. Astaga, dia duduk tepat seperti biasanya Pierre duduk dan memperhatikanku saat terlelap.

“Aku hanya ingin bicara denganmu, nona Leil Grazdien. Bolehkah?” tanyanya sambil melontarkan senyuman. Darimana dia tahu namaku? Tapi sejauh ini kupikir dia tak berbahaya dan yang paling penting, dia tak menginginkan darahku. Setidaknya dia belum mengatakannya terang-terangan atau hanya memikirkannya.

“Aku tak akan meminta darahmu. Aku punya simpanan yang jauh lebih lezat daripada darahmu, nona kecil.”

“Ternyata kau juga bisa melakukannya, ya?”

“Begitulah. Hanya berlaku pada manusia. Baiklah aku akan berhenti basa-basi dan langsung saja. Pierre tak akan datang ke tempat ini tapi dia menitipkan pesan untukmu.”

“Mengapa dia tak bisa datang? Apa dia sakit? Lalu kau?” dia segera menempelkan telunjuk dinginnya di bibirku dan membekukan semua kata yang ingin kukeluarkan.

“Jauhi Joshua Franklin, dia hanya memanfaatkan kebodohanmu sebagai wanita. Satu hal lagi, ini bukan pesan kecemburuan tapi ini sebuah peringatan.”

“Tapi, aku justru akan…”

“Hanya itu. Urusanku selesai.” Wanita itu langsung lenyap begitu saja sebelum aku mengatakan hal yang juga ingin kusampaikan pada Pierre. Bahwa Jossie telah melamarku dan pertunangan akan dilaksanakan malam ini. Bahkan saat ini aku sudah mengenakan gaun yang dikirimnya kemarin malam.

Angin berhembus sepoi, namun perlahan semakin bertambah kencang hingga meniup lilinku. Kegelapan sepenuhnya meraja, aku tak bisa melihat apapun. Bodohnya aku pergi ke bukit ini tanpa persiapan. Bahkan aku tak membawa telepon genggam. Seketika pendaran biru bergerak mendekatiku. Kupu-kupu itu kembali menghampiriku dan menerangi sebagian jalanku.

“Tolong, bawa aku pulang,”

Dia memandu langkahku dengan gemerlap cahaya dari kepakan sayapnya. Mau tak mau aku harus mempercayakan perjalanan pulangku padanya. Karena saat ini hanya dia satu-satunya penerangan yang aku punya. Langkahku mulai menapaki jalanan batu dan kurasa dia membawaku ke arah yang salah.

“Hey, ini bukan jalanku untuk pulang. Kau membuatku tersesat! Jika kau makhluk jahat yang ingin mencelakakanku maka lebih baik kau menghilang dan biarkan aku sendiri. Apa guna cahaya indah itu jika niatmu tak seindah kenyataannya.”

Aku berhenti melangkah tapi kupu-kupu itu tak bergerak. Aku curiga dia menggiringku ke tepian jurang dan berniat membuatku terjatuh lalu mati. Aku jongkok untuk meraba sekitarku, hanya sejangkauan tangan saja yang bisa kudapatkan dan tak ada jurang sejauh ini. Kupu-kupu itu masih mengikutiku, ia bahkan hinggap di keningku.

“Tak usah merayu lagi, aku muak denganmu.”

Saat aku mengusirnya, puluhan kupu-kupu yang sama berada di atas kepalaku dan terbang bebas. Pendaran cahayanya juga semakin terang, seolah menjelaskan padaku bahwa mereka tidak berniat buruk. Aku berada di hamparan padang rumput gersang, mungkin bukan. Ini hanya halaman depan sebuah rumah besar. Ya, rumah besar yang baru pertama kali ini aku melihatnya.

“Terima kasih tapi itu bukan rumahku. Meskipun kalian baik hati mau menerangi jalanku, tapi tetap saja aku harus pulang ke rumahku sendiri. Kalau terus begini, aku bisa terlambat datang ke pesta Jossie. Sudahlah, aku akan pulang sendiri.”

Kupu-kupu itu terbang ke arah yang berlawanan denganku, mereka menuju rumah tua yang terlihat megah namun menyeramkan itu. Hanya tersisa satu kupu-kupu yang masih menemaniku menentukan pilihan. Jadi, sebenarnya aku tak yakin untuk pulang seorang diri di malam segelap ini dan sebuah suara menggelegar membuatku mengurungkan niat untuk memelihara sifat keras kepalaku. Petir. Bukankah itu pertanda hujan sudah dekat? Sial. Aku memutar arah langkahku dan mengikuti puluhan kupu-kupu itu saat gerimis mulai turun.

Aku berteduh di teras rumah megah itu, hujan lebat sudah mengurungku dan sekarang aku sendiri. Bahkan semua gerombolan kupu-kupu itu sudah pergi meninggalkanku.

“Hey tunggu,” kataku pada seekor kupu-kupu yang menyelinap masuk melalui jendela. Memang terasa bodoh untuk berkata-kata dengan binatang dan dia bukan binatang nyata. Tapi itulah yang terjadi dan itulah yang kulakukan.

Aku mengikutinya dan mengintip melalui jendela yang sudah tak lagi dilengkapi kaca. Yang kutemukan di dalam hanyalah perabotan mahal dari kayu yang masih dalam keadaan baik dan tertata rapi layaknya sebuah rumah biasa. Hanya saja sebagian perabotan diselimuti sarang laba-laba yang membuatnya terasa interior rumah hantu dalam pesta Halloween. Aku hanya menelan ludah dan memutuskan untuk tetap berada di luar karena itu cukup mengerikan. Meskipun di luar sangat dingin dan tak kalah menakutkan. Vampir atau makhluk lain bisa sewaktu-waktu datang dan menyergapku.
Tiba-tiba pintu rumah besar itu terbuka, tak ada suara deritan seperti dalam kebanyakan film horror. Tapi tetap saja membuat bulu kuduk berdiri menyadari kenyataannya. Kupu-kupu biru tadi kembali menghampiri seolah meyakinkan bahwa ini aman.

“Permisi,” sapaku. Tak ada jawaban dari dalam rumah.

Lampu temaram menerangi beberapa sudutnya, mungkin rumah ini berpenghuni. Setidaknya bagian tangga menuju lantai dua masih terlihat terawat. Aku tahu, itu bukan bukti yang cukup meyakinkan tapi cukup efektif untuk membuatku sedikit tenang. Aku terus bergerak masuk ke dalam, masih mencoba mencari si penghuni. Tapi aku tak menemukan apapun hingga aku menemukan dua buah pot berantakan dan tanahnya mengotori lantai. Kutemukan krisan yang tengah mekar sebagai tanaman yang mungkin menjadi isi dari pot itu. Bercak darah melumuri permukaan bunganya dan sergapan rasa khawatir segera menghampiri. Entah mengapa krisan mengingatkanku padanya.

“Pierre,” seruku.


(Bersambung…)

1 komentar:

  1. Hmm sepertinya pembaca saya belum kembali dari liburannya. Padahal kuharapkan banjir pertanyaan. Tapi ya sudahlah...

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.