[Fiksi-Fantasi] 3 BLOOD KEPING 19


PIERRE
Bayangan seorang wanita tertangkap permukaan mengkilap dari guci di sebelahku. Kudiamkan saja ia, lagipula fokusku memang saat ini hanya tertuju pada tiga pot krisan yang tengah bermekaran. Sofia perlahan mendekat dan duduk dekat jendela sambil memandangku. Kuletakan botol kosong air mineral yang isinya habis kugunakan untuk menyiram krisan.

“Pagi yang menenangkan, bukan?”

“Apa yang kau inginkan? Semalaman kau berada di sini tapi kau tak mengatakan apapun.” Sofia menarik tubuhku dalam peluknya dan memelototi bahu kiriku.

“Lukamu sudah membaik?”

“Kau tak akan bisa menjilatnya lagi.” Kukenakan kembali kemeja yang tadinya direnggut Sofia. Dia kini bergelayut manja di bahuku, mengalungkan dua lengannya dan tiba-tiba mengecup pipi kananku.
“Pulanglah,” kataku. Kulepas lengannya untuk bergerak keluar dari rumah. Ia masih di dekat jendela saat aku menatapnya sekali lagi. Pintu tertutup dan Sofia sudah berada di sampingku dengan gaun hitamnya.

“Serangan kemarin memang tertuju pada gadis itu, mereka sudah mengetahui bakatnya. Akan berbahaya jika kau melibatkannya lebih jauh. Lalu sekarang, kau akan menemui gadis itu lagi?”

“Untuk terakhir kalinya,” jawabku kemudian ia tak lagi di hadapanku. Aku berjalan sendiri menuju sebuah toko bunga dekat rumah. Seharian kemarin aku tak menyapa ayah dan ibu, hari ini aku akan menemui mereka. Saat aku memasuki toko pelayan wanitanya menyapaku.

“Krisan lagi?” aku hanya mengangguk. Dia melewatiku dengan pinggul yang sengaja dilenggokkan. Hari ini dia mengenakan gaun biru langit yang terlalu tipis. Bahkan angin bisa menyibaknya dengan mudah. Ia kembali ke meja kasir dan membungkus pesananku.

“Alangkah bahagianya menjadi gadismu,” godanya centil.

“Gadis apa?”

“Tentu saja yang setiap hari kau beri krisan. Kau pria yang romantis.” Aku hanya menyeringai mendengar jawabannya.

“Krisanku tidak akan pernah kuberikan pada gadis manapun.”

“Lalu untuk apa kau membelinya setiap hari jika bukan untuk gadismu?”

“Bukan urusanmu.” Mengapa manusia bisa terlalu sempit berpikir? Apa setiap kali seorang pria membeli bunga harus dikaitkan dengan seorang gadis? Tidak tahu apa-apa tapi langsung berkata-kata.
Saat aku sampai di bukit, kutemukan Leil tengah berbaring di atas makam ibu seperti yang selalu kulakukan. Ia juga meletakan satu tangkai krisan di tiap nisan. Aku mendekat perlahan dan duduk bersandar di nisan ayah, memandanginya yang terlelap dengan nyenyak. Mungkin dia masih belum tahu bahaya yang mengincarnya dan itu akan menjadi pekerjaanku untuk menjauhkannya dari ancaman itu.

“Pierre?” gumam Leil.

“Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?” Leil menggeleng dengan senyum yang masih belum pudar.

“Aku menunggumu dan tertidur. Kemarin aku tak menemukanmu dimanapun, jadi kupikir tempat yang paling tepat untuk menemuimu adalah bukit ini.”

“Jangan pernah datang ke tempat ini lagi. Kumohon. Aku ingin kau lebih berhati-hati dan berhenti lakukan tindakan bodoh seperti yang sekarang ini kau lakukan.”

“Maksudmu?” Leil memandangi bola mataku dan diam untuk waktu yang cukup lama. Dia memang sering melakukannya, tapi kini aku yang memalingkan wajah darinya. Semakin dalam Leil menatapku, aku takut ia mendapatkan fakta yang selalu ia kejar. Tentu saja tentang status manusiaku.

“Apa kau tak takut?”
***

LEIL
“Kau tidak takut?” tanya Pierre.

Aku masih tetap memandangi bola mata indah Pierre. Pertanyaan dan pernyataan yang dia ungkapkan mulai membuatku semakin penasaran. Aku masih tak mengerti mengapa ia terus melontarkan pertanyaan yang tak masuk akal. Tentu aku tak mengerti apa maksudnya.

“Untuk apa?”

“Berada di tempat ini bersamaku. Mungkin saja ucapan Jossie ada benarnya. Bagaimana kalau aku ini bukan manusia?”

Aku membenarkan posisi duduk, membebaskan punggungku dari nisan. Pembicaraan ini yang sebenarnya sudah kutunggu sejak beberapa pertemuan lalu. Tapi aku tak ingin ia menceritakannya dengan suasana tegang dan terpaksa seperti ini. Aku ingin ia bicara karena merasa nyaman, bukan tertekan. Masih kutatap bola mata turquoise miliknya dan terjebak aku dalam indahnya. Dia memalingkan wajahnya untuk membebaskanku dari matanya.

“Aku bersama temanku, jadi untuk apa aku takut,” jawabku enteng. Aku beralih untuk bersandar pada bahunya. Dia sedikit terkejut saat aku melakukannya dan menarik mundur tubuhnya. Lenganku bergerak cepat meraih tangannya tapi aku segera melepasnya saat aku merasa tersengat dengan panas tubuhnya. Itu bukan suhu yang normal bagi seorang manusia yang sehat.

“Kau sakit? Tubuhmu begitu panas, kau demam?”

“Pulanglah,” katanya. Dia pun pergi. Aku mengikuti langkahnya hingga dia menemukanku dan kembali menyuruhku pulang. Dia tak seperti biasanya.

“Biarkan aku sendiri. Aku tak ingin melukaimu,” gumamnya. Seketika aku melihat dia menghilang dari pandangan. Apa yang terjadi sebenarnya?

“Pierre? Kau tak boleh pergi begitu saja sebelum menjawab pertanyaanku. Hey, bersembunyi di mana kau?” aku masih terus melewati jalan yang tadi dilewatinya untuk melarikan diri. Ia tak mungkin menghilang secepat itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia tiba-tiba…

“Astaga! Kau mengagetkanku,” celetukku setelah ia muncul segera di hadapanku. Kami sangat dekat. Bahkan aku bisa merasakan desah nafasnya yang teratur. Aku segera berpaling dan hendak menjauh darinya tapi ia menahanku. Tangannya yang kokoh melumpuhkan usahaku untuk pergi.

“Apa kini kau ketakutan,” katanya dingin. Aku hanya bisa memalingkan wajahku darinya. Bahkan untuk saat ini, bola matanya seolah kehilangan keindahan dan dia benar. Aku ketakutan dengan perubahan sifatnya.

“Aku tak akan takut dengan temanku sendiri.”

“Kau harusnya takut, Leil. Jossie benar, aku bukan manusia biasa.”

“Baguslah, kau akan menjadi super hero bagiku.”

“Sayangnya tidak seperti itu. Aku justru takut kalau aku lebih banyak menjadi pemburumu dan menyusahkan hidupmu. Karena itulah aku ingin kau pergi. Karena itulah aku akan meninggalkanmu dan kau tak akan pernah menemukanku lagi.”

“Jadi ini perpisahan?” tanyaku hampa.

Setelah aku merasa nyaman dan aman saat bersamanya. Justru ia memaksaku untuk mengucap kata perpisahan. Ia melonggarkan cengkeramannya, tubuhku justru semakin tertarik untuk mendekatinya. Hingga wajahku tepat memandangnya, meskipun aku harus berjinjit untuk menyejajarkan diri dengan tingginya. Ia menatapku lekat dan tangan panasnya terasa hangat saat membelai wajahku, kami semakin dekat hingga bisa saling merasakan desah nafas masing-masing. Mataku otomatis terpejam untuk menyambutnya tapi yang kudapat hanya hembusan angin dingin. Saat aku membuka mata, dia telah menghilang.
***

PIERRE
Aku telah melakukannya, mencoba memutus ketergantunganku pada gadis itu. Tapi rasanya sangat sulit dan aku masih tak bisa melepasnya untuk hidup normal bersama pria itu, Joshua Franklin. Aku tahu mereka sangat dekat, tapi aku merasa ada yang masih mengganjal di pikiranku tentang pria itu. Bisakah aku memercayainya atau ini hanya bentuk kecemburuanku saja?

Ah, apa yang kupikirkan. Dasar bodoh. Jika kau bilang akan melepaskannya, maka kau harus benar-benar melepaskannya Pierre. Sudahlah, tak perlu lagi bergulat dengan pemikiranku sendiri. Semuanya sudah terjadi. Aku tak akan menemuinya lagi, setidaknya untuk bertemu secara langsung.
Tak terasa, langkah kaki ini membawaku ke sebuah rumah besar di tengah hutan pinus. Bukan tempat yang asing bagiku. Setiap kali aku ingin menenangkan pikiran, maka rumah ini menjadi tujuan keduaku. Untuk saat ini aku tak akan mengunjungi makam orang tuaku. Mungkin Leil masih berkeras menungguku di sana.

Tanpa mengetuk pintu ataupun membunyikan bel, pintu rumah langsung terbuka. Ia seolah tahu kapan aku akan datang dan selalu sambutan itu yang dia berikan. Aku memasuki rumah dan berjalan terus ke dalam, mencari sebuah ruangan yang menjadi favoritku. Tak peduli berapa kali kakiku melintasi lantai kayu ini, aku masih senang menghirup aroma kayunya. Juga rasa halus beludru merah bata yang menjadi tirai penyekat antar ruangan. Aku selalu menyukainya saat angin berhembus dan membuat mereka menari.

Akhirnya, aku mencapai tujuanku. Sebuah sofa panjang berlapis lembaran sutera mahal di dekat jendela. Sebuah jendela besar yang sepenuhnya terlapisi kaca bening. Bukan jendela itu yang kusuka, tapi pemandangan yang disuguhkannya. Hamparan pinus yang menjulang, juga kabut yang menyelimutinya dan hamparan mawar putih di hadapanku. Semuanya terbingkai sempurna dalam jendela ini. Tanpa basa-basi, aku langsung duduk di atas sofa dan melepaskan diri dari semua beban. Memandangi semua keindahan itu dan mengosongkan kepalaku. Sebelum benar-benar terlelap, Sofia mendekapku dari belakang. Kedua lengannya kini terkalung melewati bahuku. Jangan bertanya mengapa dia ada di sini, tentu saja karena ini rumahnya. Atau harus kusebut persembunyiannya? Karena tak ada satu pun yang berani memasuki kawasan ini tanpa seizinnya, kecuali aku. Lagipula ia terus menerimaku setiap kali aku datang. Tanpa kusadari, bibirnya telah mengecup pipi kiriku.

“Kau tidak terluka. Lalu, mengapa kau datang?”

“Aku hanya ingin ketenangan, Leil mungkin ada di bukit. Jadi aku tak bisa bersantai di sana.”

“Pierre, bukankah tempat itu memang tidak cocok untuk bersantai. Jika pintu rumah ini masih terbuka untukmu, mengapa kau harus mencari rumah lain?” Sofia melompat untuk duduk di sampingku. Ia bahkan menyandarkan tubuhnya pada tubuhku. Dingin tubuhnya bertabrakan dengan panas dari tubuhku tapi kami seolah saling menetralkan.

“Bagaimana dengan gadis itu?”

“Aku sudah melepasnya.”

“Tapi kau akan terus mengawasinya bukan?”

“Aku harus tetap mengawasinya. Aku yang membuatnya terlibat dan posisinya saat ini sangat berbahaya. Ada satu vampir yang mengetahui bakatnya. Sampai saat ini aku masih memburunya. Akan sangat merepotkan jika ia menyebarkan informasi mengenai bakat Leil.”

“Kau begitu perhatian padanya. Aku cemburu,” rengek Sofia. Dia bertingkah semakin manja, bahkan kini dia melingkarkan tangannya meraih tubuhku dan memelukku erat.

“Hey, jangan gila. Kau sendiri yang bilang bahwa dia hanya gadis kecil biasa.”

“Ya, aku tetap ingin menjadi yang paling istimewa bagimu.”

“Itu memang sudah terjadi dan tak akan terganti.”

Kurebahkan tubuhku dan Sofia menyambut kepalaku dalam pangkuannya. Selalu terasa begitu menenangkan ketika aku melakukannya. Sofia mulai membelai rambutku dan menyanyikan lagu tidur yang selalu menjadi pengantar istirahatku. Mungkin aku memang perlu sedikit istirahat dari dunia yang melelahkan ini.
***

LEIL
Aku terus memandang keluar jendela toko. Tanpa tahu June tengah memperhatikanku dan ia mengirim ultimatumnya melalui setangkai lily. Bunga itu mendarat tepat di atas mejaku, benang sarinya sempat terguncang dan membuat serbuknya beterbangan. Hidungku otomatis menyedotnya dan bersin langsung menghampiriku. June hanya tersenyum jahat dari balik keranjang mawar yang tengah disusunnya.

“Bisakah kau berhenti melempar lily?” protesku.

“Apa yang kau cari di luar jendela sementara pekerjaanmu masih banyak di dalam sini?” tanya June dengan nada menyelidik.

“Akhir-akhir ini aku tidak melihat Pierre melintas di depan toko. Padahal hanya ada satu jalan untuk naik ke bukit. Apa dia masih marah?”

“Astaga, Leil. Kau masih saja mencari pria aneh itu? Kuakui dia cukup tampan, tapi kau harusnya curiga padanya bukan tergila-gila,” celetuk June.

Ya, aku mulai menceritakan tentang Pierre dan pertemuanku juga perpisahan kemarin padanya. Setelah kejadian di bukit, June bahkan melewatkan kenangan saat Pierre mengacau di toko dan aku sengaja tidak memulainya dari kisah itu. Tapi ia segera teringat ketika Jossie mengatakan bahwa Pierre adalah pria yang mengacau dan meledekku karena ingin membeli krisan untuk pemakaman.

“Kau masih tergila-gila padanya.”

“Siapa yang tergila-gila?” sambar Jossie seiring dengan suara lonceng toko yang berdentang.

“Ah Jossie, apa kau melihat Pierre? Sepertinya Leil sedang mencarinya hari ini?” sahut June cepat. Semoga ini tidak bertambah parah.

Kehadiran Jossie setelah kemarin aku meninggalkannya demi Pierre. Sekarang dia malah muncul di hadapanku alih-alih yang kuharapkan adalah Pierre. Jadi apa maunya? Aku tak melihat wajah murkanya, tapi dari suaranya terdengar jelas bahwa ia menahan emosinya.

“Hai Josh, mau mawar?” tanyaku.

“Apa hanya itu satu-satunya alasanku mendatangi toko ini, Leil? Tak bolehkah kau menjadi alasanku untuk datang?” aku kehabisan kata-kata. Harus kubantah dengan apa lagi? jika sifat sensitive Jossie sudah keluar, maka tak ada yang bisa kulakukan untuk mengembalikannya ke mode normal. Kecuali jika aku melakukan hal yang membuatnya berpikir dua kali untuk mendinginkanku.

“Apa Pierre lebih penting sekarang?”

“Jangan kekanakan,” sanggahku. Aku mengalihkan pandangan dari Jossie. Tapi ia terus mengejar pandanganku.

“Aku cemburu, Leil.”

“Harus kukatakan apa,” gumamku.

“Aku ingin kau hanya memperhatikanku dan aku tak ingin ada pria lain yang merebutmu dariku. Apalagi pria itu baru saja kau kenal.”

June memulai aksinya, dia menyingkir menuju taman di samping toko dan menjauhi kami. Seolah dia memberikan ruangan ini sepenuhnya untuk kami berdua. Mungkin ia mencoba menciptakan kesan romantis, seperti yang biasanya dia lakukan. Atau dia hanya ingin menghindar dari sebuah perdebatan sengit? Entahlah.

“Jika hanya itu yang ingin kau sampaikan, mungkin pembicaraan ini tak lagi ada gunanya.”

“Aku datang untuk meminta maaf padamu. Aku minta maaf atas keegoisanku. Tapi seharusnya kau tahu bahwa semua yang kulakukan, semata-mata untuk melindungimu.”

Jossie segera menarikku dalam peluknya. Aku tak bisa berbuat banyak selain diam dan mendengarkannya yang kembali berucap.

“Aku ingin melindungimu, Leil.”


(Bersambung…)

3 komentar:

  1. Wooowww apa ini?
    Sepertinya perang sudah di mulai. Ada apa dengan Josie? Aku kok ngrasa kalo dia sangat mencurigakan ya?
    Dan aku geregetan sendiri dengan tingkah Sofia. Kok dia malah kayak emak emak ya, hehehe..
    Bagus bang lanjut terus, ini ada pembaca setiamu yang slalu menunggu keping keping selanjutnya

    Sepertinya abang udah mulai rutinitas seperti biasa ya? Atau udah mulai luar biasa karena udah tingkat akhir?

    BalasHapus
  2. udah tingkat akhir, hmmm berasa tua. Sofia kan emang emak-emak, dia yang paling tua di antara semua karakter 3blood

    BalasHapus
  3. Update terbaru available yah. Semoga teka-tekinya terjawab yah dan semoga jawabannya memuaskan. Bisa kok dirimu kasih asumsi tentang jawaban dari semua pertanyaan di atas, hehehe

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.