[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 13


Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Keping 13 available meski belum sempat gambar. Ya sudahlah. Leil bangun dengan tanda tanya yang memenuhi pikirannya. Ketika semua orang tak mengenali Pierre dan Leil menjadi satu-satunya yang masih mengingatnya. Keping ini akan bahas semua tanda Tanya Leil sebelumnya tentang Pierre. Tanpa basa-basi lagi, Happy reading.


LEIL
 “Ayah, aku ingin bicara berdua dengan June. Bisa tolong tinggalkan kami?”


“Tentu, sayang.”

Ayah mengecup keningku sebelum akhirnya dia keluar kamar sambil membawa si kakek bersamanya. Setelah pintu tertutup, hanya ada aku dan June. Ia merapat, sepertinya sangat antusias untuk mendengarkanku.

“Ini tidak seperti yang sebenarnya. Aku tidak terpeleset dan jatuh pingsan. Aku diserang vampir dan pria itu menyelamatkanku. Pria dengan bola mata turquoise indah yang menyedihkan. Aku menemukannya terbaring di atas sebuah makam tua dan ia tengah terluka. Akhirnya aku ke toko, mengambil kotak obat dan kembali ke bukit untuk membantunya. Aku bahkan memberikan syalku padanya.”

“Leil, kau hanya terpeleset.”

“Tidak June, aku ingat pasti kejadiannya. Dia ada di sana, aku membunuh dua vampir dengan pena ultraviolet dari ayah. Tapi masih ada dua lagi, seorang wanita galak dan pria bermata hangat. Aku hampir mati di hajar wanita itu. Namanya Sachi, aku hampir mati saat Pierre datang. Dia menyelamatkanku.”

“Baiklah. Kurasa kau masih perlu istirahat. Aku akan memberimu izin untuk cuti esok hari. Jadi manfaatkanlah waktumu untuk istirahat.”

“Kaupikir aku tengah mengigau? Aku benar-benar mengalaminya, June. Bahkan rasa sakitnya seperti tulang punggungmu patah.”

Aku meraba pinggangku dan tak terasa sakit ataupun nyeri. Jika Sachi melemparku tadi dan punggungku benar-benar kepayahan, harusnya sekarang masih terasa. Setidaknya akan tersisa lebam besar di sana. Aku langsung beranjak menuju cermin meja riasku dan memeriksa punggungku. Tapi tak ada apapun di sana, masih tetap normal seperti sebelumnya. Tak ada tanda bahwa aku mengalami cedera serius di bagian punggung. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Yang membawaku pulang bukanlah Pierre tapi kakek itu? Mungkin dia tahu tentang sesuatu yang sebenarnya terjadi.

Aku langsung menyambar pintu dan segera menuju ruang tamu. Ayah dan si kakek tengah berbincang ditemani secangkir kopi. Nafasku terengah dan mereka hanya memandangiku dengan tatapan aneh. Lagipula, kenapa juga aku harus terburu-buru?

“Ada apa Leil? Kau ingin kopi juga?” tanya ayah.

“Kakek, kau berbohong pada mereka bukan?”

“Apa yang kau katakan nona muda? Aku sama sekali tak mengerti”

“Kau yang membawaku pulang?” kudapati si kakek mengangguk membenarkan pertanyaanku.

“Kalau begitu kau harusnya bertemu dengan Pierre, bukan? Pria bertubuh tinggi berambut hitam lurus panjang sampai ke leher dan bermata turquoise. Katakan padaku kau bertemu dengannya,” ocehku panjang dan si kakek hanya membalasku dengan senyuman.

“Aku tak bertemu siapapun selain kau.”

“Bohong! Aku tidak terpeleset dan pingsan. Aku diserang empat vampir dan Pierre yang menyelamatkanku. Dia terluka lengannya dan tak henti mengeluarkan darah. Karena itulah aku kembali ke toko June untuk mengambil kotak obat. Aku hampir mati di serang vampir dan saat itulah Pierre datang.”

Aku kembali terengah setelah menceritakannya. Ayah menghampiriku untuk merangkul bahuku. Aku tahu ini memang terdengar gila dan sulit dipercaya tapi itulah yang terjadi. Sepertinya sulit untuk menyakinkan mereka.

“Sepertinya kau masih perlu istirahat, sayang. Akan kubuatkan kopi untukmu,” ayah kemudian pergi menuju arah dapur. June berpamitan untuk pulang dan seketika hening. Di ruang tamu hanya ada aku dan kakek. Setelah menghabiskan kopinya, ia juga ikut berpamitan. Sebelum pergi, ia tersenyum padaku.

“Jadi kau masih mengingatnya dengan baik ya?”

“Apa?” aku terkejut dengan pertanyaan si kakek. Apa maksudnya adalah Pierre?

“Maaf jika aku harus berpura-pura tidak melihatnya. Karena dia sendiri yang memintanya. Kau sepertinya bukan gadis biasa, jadi kupikir akan baik-baik saja jika aku membocorkan hal ini padamu.”

“Jadi kau bertemu Pierre, bukan?” dia mengangguk.

“Lalu mengapa kau tak mengakuinya di depan June dan ayah? Kau membuatku terlihat seperti orang bodoh. Mereka menyangkalnya dan memperlakukanku seolah kepalaku telah terbentur batu saat aku jatuh. Aku diserang vampir, bukan jatuh.”

“Itu cerita lama, tak ada yang akan percaya. Mereka benar, kau istirahatlah.”

Kemudian dia berlalu dengan van klasiknya. Aku masih tak mengerti dengan si kakek. Terlalu banyak hal yang belum aku mengerti tentang hari ini. Ayah menghampiriku untuk menutup pintu. Setelah itu dia membawaku kembali ke kamar. Aroma lavender sudah terusir oleh semerbak aroma kopi yang menggairahkan. Aku menyambar cangkir yang ayah letakkan di atas meja belajarku. Tapi bukan kopi yang kudapat, hanya secangkir cokelat panas.

“Dimana kopiku?”

“Dimana si kakek?” tanya ayah berbalik. Aku segera memasang wajah sebal dengan tanda, ayah itu menyebalkan.

“Mungkin esok pagi. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk terjaga. Kau butuh tidur nyenyak malam ini sayang,” katanya.

Ia segera mendorongku kembali ke dalam kamar. Mengangkat cangkir kopinya dan meletakan segelas susu cokelat panas di atas meja dekat kasur. Dia duduk sambil menatapku seolah memerintahkan untuk segera istirahat. Mungkin ayah ingin aku segera menyingkirkan semua cerita gilaku dan kembali menjadi gadis kecilnya yang normal.

“Aku tak tahu apa yang sebenarnya meresahkanmu. Tapi aku selalu berdoa untuk keselamatanmu.”

“Maafkan aku ayah,” kataku pelan. Ayah hanya mengangguk.

“Istirahatlah. Selamat malam.”

Ayah mengecup keningku kemudian keluar dari kamar. Aku melemparkan tubuhku ke atas kasur, kembali menatap langit-langit dan memutar ulang peristiwa tentang Pierre. Tentang pertemuan pertama kami, saat itu aku menatap tepat di matanya dan sampai saat ini aku masih tergila dengan warna turquoise yang dimilikinya. Tentang sore ini, ketika aku menemukannya terlelap di atas sebuah makam dan tentang malam ini ketika semua orang melupakannya. Tapi tidak denganku, aku tak bisa melupakannya atau lebih tepatnya aku belum bisa melupakannya.

Aku terus mencari posisi ternyaman untuk memejamkan mata, tapi sampai saat ini aku masih saja terjaga. Detak jarum jam terdengar semakin menguasai ruangan. Kuambil mp3 player dan memasangkan headset di kedua telingaku. Berharap beberapa lagu sendu akan membuatku terlelap dengan sendirinya. Aku diam menikmati alunan sebuah lagu yang bercerita tentang perpisahan. Si penyanyi menceritakan kisah cinta dan diakhiri dengan perpisahan yang terlalu menyedihkan. Aku mencoba terhanyut dalam lagu, tapi tak bisa. Pikiranku terlalu banyak melayang pada sosok Pierre.

Aku duduk dan kutandaskan susu cokelat yang sudah tak lagi panas. Bergerak malas untuk memadamkan lampu kamar. Mungkin terlalu terang sehingga aku tak bisa memejamkan mata. Jemariku sudah berada tepat di atas tombol sakelar. Kumatikan lampunya dan kembali gelap yang aku temui. Semuanya gelap, seperti saat dia meletakkan telunjuknya di keningku.

“Kau akan melupakannya. Hari ini dan juga aku,”

Terbayang kembali wajahnya ketika mengatakan kalimat itu. Tatapannya dan kalimatnya. Sekelebat bayangan kurasa telah melintasi jendela kamarku. Entah mengapa, aku merasakan kedatangannya. Seolah semua perasaan ini menuntunku padanya lagi. Kubuka pintu kamarku perlahan dan aku mulai meninggalkan gelapnya kamar menuju ruang lain dalam rumah. Pierre, aku mendengarmu. Tunggulah aku. Langkah kakiku berhenti di pintu belakang rumah. Jemariku menggenggam erat gagang pintu dan segera membukanya.

“Pierre?” Aku menemukannya tengah berdiri di sana, menghadapku dan terkejut. Jangankan dia, aku saja terkejut dibuatnya. Ia masih belum berkata-kata, hanya menenggelamkanku dalam ilusi turquoise matanya. Bahkan matanya terlihat semakin indah saat sekitarnya gelap.

“Kau datang,” gumamku.

“Kau harusnya masih tertidur.”

“Harusnya begitu. Aku menunggumu dan tak bisa tidur.”

“Kau tak seharusnya melakukan itu. Lagipula kalau aku tak datang, bukankah itu menjadi sia-sia?”

“Tapi kau datang bukan?”

“Karena aku harus mengembalikan sesuatu padamu,” jawabnya enteng. Aku nyaris kesal saat ia selalu bisa menanggapi semua pertanyaanku dengan jawaban yang begitu mudah. Aku duduk di ambang pintu dan mencoba sesantai mungkin. Selain itu, aku juga tengah berusaha mencari jawaban yang mungkin sengaja disembunyikannya. Ia bertengger di atas tumpukan kayu bakar dan menyembunyikan tatapan matanya dariku.

“Apa kau yang membawaku keluar dari bukit?”

“Tentu saja. Bagaimana mungkin aku meninggalkan seorang gadis sendirian di tempat itu?”

“Hey, lalu mengapa semua orang melupakanmu? Aku terlihat seperti orang bodoh saat menceritakannya,” kataku setengah berteriak. Segera aku pelankan sebelum ayah tahu aku melarikan diri dari kamar dan menemui pria aneh di tengah malam. Akhirnya Pierre berbalik dan menatapku cukup lama sebelum akhirnya menjawab.

“Aku sengaja melakukannya.”

“Mengapa kau libatkan June juga? Jika kau masih sakit hati karena kami menolakmu waktu itu, atau karena Jossie memukulmu…”

“Tak ada satu pun dari alasanmu yang benar.”


(Bersambung…)

3 komentar:

  1. bagus bang...
    lanjutkan ya, penasaran dengan ceritanya. Kenapa di potong pas bagian penting :(

    BalasHapus
  2. wah, maafkan nih nunggunya ampe dua minggu kosong yah? partner hidup (baca:netbook) saya mendadak koma, error otaknya jadi terhambat kerjaanku.
    baguslah kalo responnya positif, mash lanjut kok

    BalasHapus
  3. seminggu deng, berasa lama ga posting lanjutan sinetron ini

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.