[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 11
Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Setelah pertemuan terakhir Leil dengan Pierre di seminar berkebun,
mereka tidak bertemu lagi untuk beberapa hari. Hari ini June memberi tugas khusus
pada Leil untuk mencari bunga cemara di bukit. Namun, kejadian tak terduga
malah menghampiri Leil dan membuatnya semakin jauh terlibat dengan si pria aneh
bernama Pierre.
Jadi, tunggu apa lagi. Happy reading!
LEIL
Kutemukan sesosok tubuh tengah berbaring di atas rerumputan.
Tidak, bukan rerumputan tapi mungkin di atas makam. Yang kulihat tepat di atas
kepalanya adalah sebuah nisan batu. Cahaya sore mulai meredup dan keremangan
mulai meneduhi pandanganku. Bukan senja yang indah apalagi dengan pertemuan
ini. Alih-alih menjauh, langkahku justru mendekatinya. Dalam hati ingin
kupastikan apakah dia manusia atau makhluk lainnya.
Rambut hitam lurus yang kini terlihat rebah ke leher dan juga
wajah tenangnya. Pierre, hanya saja aku tak melihat bola mata turquoise
menyedihkannya. Ia terlelap sangat nyenyak seolah ia berada dalam buaian
seseorang yang sangat dicintainya. Begitu tenangnya hingga ia terlihat bagai
orang mati. Tangan kanannya berada di depan dada sambil mendekap setangkai
krisan putih. Masih krisan yang sama seperti pertama kami berjumpa. Juga krisan
yang sama saat ia mengacau di toko June.
Aku mencoba membaca sebuah nama yang terpatri dalam nisan tua itu,
tapi percuma aku tak bisa membacanya. Bahkan untuk mendapatkan sebuah huruf
saja sangat sulit kulakukan. Aku kembali menatapnya. Berapa lama ia berada di
sini hingga dedaunan jatuh hampir menutupi sebagian tubuhnya.
“Pierre?” dia tak menjawabku.
Kusingkirkan beberapa daun dari sisi tubuhnya namun yang kudapat
hanyalah bercak merah di antara jemariku. Astaga! Ini darah? Tubuhnya terluka,
lengannya robek dan masih mengucurkan darah. Apa yang harus kulakukan? Aku
harus membawanya ke suatu tempat. Dia harus mendapatkan pertolongan sebelum
kehabisan darah. Tapi di tempat ini, siapa yang bisa kuminta pertolongan?
Kulepas syal putih tulang yang menggulung di leherku dan kugunakan
untuk membalut lukanya. Jika aku berlari untuk kembali ke toko June mungkin
masih sempat karena jaraknya tidak begitu jauh. Bergegas aku pulang, dalam
kepalaku hanya ada Pierre dan kekhawatiranku akan keadaannya. Semoga aku tidak
terlambat. Jika aku harus membalas budi, maka inilah kesempatan terbaik untuk
melakukannya. Suara lonceng berdentang keras seiring dengan langkahku memasuki
toko. Aku bahkan tak sempat memperhatikan raut wajah June saat aku menerobos
begitu saja.
“Hey, mengapa kau kembali? Kita akan segera tutup, lagipula malam
ini terasa lebih dingin dari kemarin. Tak banyak orang yang akan membeli bunga
untuk makan malam romantis di malam sedingin ini.”
Aku masih mengacak-acak kotak obat yang ada di dekat meja kasir.
June juga masih mengoceh namun tak ada satu pun pertanyaannya yang kutanggapi.
Hingga akhirnya dia kesal dan mencengkeram lenganku. Ia memaksa pandanganku
untuk menatapnya serius.
“Apa yang kau lakukan, Leil?”
“Aku harus menolongnya segera. Dia bisa mati,”
“Siapa? Yang kutahu harusnya kau sudah berada di depan perapian
rumahmu yang hangat sambil menikmati cokelat panas setelah kau kembali dari
bukit.”
“Aku tak boleh meninggalkannya terlalu lama. Ia sendirian di luar
sana dan hari mulai gelap. Akan berbahaya baginya,” jawabku panik.
“Aku masih tak mengerti, Leil. Siapa yang kau maksud? Apa dia ada
di bukit? Kau menemukan seseorang selain kau di bukit?” aku hanya mengangguk.
“Entah mengapa, aku tak yakin dia manusia. Bukit itu berbahaya
bagi manusia apalagi saat gelap. Jika dia manusia normal yang masih menyayangi
nyawanya, maka ia tak akan berada di sana sendirian dalam keadaan terluka. Kau
harusnya tahu itu,” June kembali melanjutkan.
“Tapi aku harus membantunya, dia juga pernah membantuku.”
“Siapa?” kembali June menanyakan pertanyaan yang sama. Mungkinkah
dia mengerti jika kukatakan nama pria itu atau harus kusampaikan dengan cara
lain?
“Pierre. Pria yang pernah datang untuk membeli krisan. Padahal
baru saja kemarin aku bertemu dengannya dan dia masih baik-baik saja. Tapi hari
ini?” June langsung melepas lenganku dan seolah lemas mendengar jawabanku. Aku
tahu apa yang June pikirkan tentang orang-orang seperti Pierre.
“Astaga, orang aneh itu? Pria aneh yang membeli krisan untuk
pemakaman? Dia yang membuat kekacauan
dan memancing emosi Jossie. Mengapa kau begitu peduli padanya? Dia pembawa
masalah, jangan dekati dia lagi.”
“Mengapa kau mengatakan hal seperti itu?”
“Entahlah, aku punya firasat buruk tentang pria itu. Seperti yang
kau tahu, terkadang tebakanku benar. Jangan kembali ke bukit itu, Leil.”
“Lupakan. Aku harus pergi sekarang.”
“Leil,” panggilnya.
Aku kembali berlari ke arah bukit dengan kotak obat lengkap berada
dalam genggaman tanganku. Tetes air menghujam dari langit dan membuatku
mempercepat langkah. Jika sampai hujan bertambah lebat, dia akan kedinginan.
Aku harus segera sampai dan memindahkannya ke tempat yang aman. Toko June
mungkin bisa kujadikan persinggahan nantinya.
Hujan bertambah lebat saat aku sampai di tempat aku melihatnya.
Tapi ia tak ada di sana. Tak ada apapun di sana selain rerumputan dan dua buah
nisan batu. Aku mendekati tempatnya berbaring di salah satu makam itu. Dia
benar-benar menghilang. Aku duduk bersimpuh dan lemas dibuatnya.
“… Jika dia manusia
normal yang masih menyayangi nyawanya, maka ia tak akan berada di sana
sendirian dalam keadaan terluka. Kau harusnya tahu itu. Aku punya firasat buruk
tentang pria itu. Seperti yang kau tahu, terkadang tebakanku benar. Jangan
kembali ke bukit itu, Leil.”
Kalimat June kembali berputar dalam kepalaku. Benarkah Pierre
bukan manusia? Tapi ia terlihat normal dengan darahnya yang sempat kurasakan.
Lagipula, hangat tubuhnya saat aku menggenggam jemarinya. Aku masih merasakannya,
dia bukan makhluk tanpa jiwa. Dia memiliki kehangatan yang sama. Ini semua
tidak mungkin.
Aku masih terus menyangkal dalam hati dan membiarkan tetes hujan
menghujam tubuhku. Kurasakan hawa dingin yang kini merembes menelusupi
pori-pori. Aku berbaring di tempatnya berbaring dan memejamkan mata. Sesuatu
yang menenangkan tiba-tiba aku rasakan. Meskipun semua yang kulihat kini hanya
gelap, tapi aku menikmatinya. Seperti sebuah keindahan dalam hujan. Sesuatu
yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Apakah ini yang ia rasakan sebelumnya?
Seorang gadis/ Lezat,
harumnya membuat air liurku tak berhenti menetes/ Bodoh, kau memang menjijikan/
Biarkan aku yang menangkapnya/ Wow itu akan menjadi pertarungan antar gadis/
Minggir tuan-tuan dan lihatlah aku beraksi.
Astaga! Apa itu? Aku mendengar percakapan orang lain dan seketika
kepalaku seolah berputar-putar. Aku langsung terjaga dan mengamati sekitar, tak
ada siapapun. Hanya aku di sini juga desahan ranting yang saling bergesekan
diterpa angin. Hujan semakin lebat dengan tambahan intimidasi petir yang
menggelegar sesekali. Mungkin lebih baik aku pulang.
Cepat tangkap dia sebelum
dia lari. Aliran darahnya membuatku tak tahan lagi/ Bersabarlah, dia hanya
seorang gadis/ Fred benar, kalaupun dia lari bukankah kita bisa dengan mudah
menangkapnya?
Suara-suara itu kembali terdengar. Bahkan semakin jelas tertangkap
telingaku. Tapi sungguh aku masih tak menemukan siapapun di tempat ini. Atau
aku masih belum melihat mereka. Ya, mereka. Suara tiga orang pria dan satu
wanita, mungkin. Sepertinya mereka bukan tipe orang yang bisa kuminta
pertolongan. Mungkin mereka justru berbahaya karena sebagian percakapannya
seolah memasukanku dalam daftar menu makan malamnya. Kalau begitu, mereka bukan
manusia?
“Aku mendengar kalian! Siapapun itu, keluarlah dan tunjukkan diri
kalian. Jangan hanya berbisik dari kejauhan karena aku masih bisa mendengar
ocehan kalian!” kataku lantang.
Aku siap menghadapi kemungkinan terburuk bahwa mereka bukan
manusia. Sesekali mereka membicarakan tentang darah, jadi kusimpulkan mereka
vampir bukit yang kelaparan. Meskipun aku masih menjalani terapi untuk
menghapus trauma akan vampir, tapi aku yakin untuk saat ini. Setidaknya semua
benda yang ayah berikan padaku menjadikanku seolah gudang senjata seorang
pemburu vampir. Tentu saja, aku harus mengambil keberanian ini. Sebuah fakta
menarik bahwa aku adalah puteri seorang pemburu vampir. Aku tak akan mengalah
pada ketakutanku.
(Bersambung…)
Wah, nunggu dua minggu untuk menelorkan yang satu ini. Happy reading :)
BalasHapus