[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 12
Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Akhirnya bisa menggambar lagi setelah kemarin cuma ngambil foto dari Gugel. Semoga tidak mengecewakan dengan sketsa yang hitam putih ini. Juga dengan ceritanya yang mulai masuk ke sisi fantasi dengan makhluk-makhluk supernatural modern.
Leil berniat menolong Pierre yang terluka di bukit. Namun saat ia
kembali, Pierre sudah tak ada di sana. Justru yang Leil temukan adalah
segerombolan vampir bukit yang kelaparan. Seorang anak perempuan yang begitu ketakutan
dengan makhluk itu kini harus menghadapinya seorang diri. Adakah kemungkinan
lain yang bisa Leil harapkan?
Happy reading!
…
“Aku mendengar kalian! Siapapun itu, keluarlah dan tunjukkan diri
kalian. Jangan hanya berbisik dari kejauhan karena aku masih bisa mendengar
ocehan kalian!” kataku lantang.
Gadis bodoh, harusnya dia
cepat pergi saat malam sudah menyelimuti bukit. Untuk apa dia kembali? Apa dia
sengaja menyerahkan dirinya untuk dijadikan santap malam makhluk-makluk biadab
di bukit ini? Bodoh.
Aku kembali mendengar suara lain yang berada lebih jauh daripada
gerombolan tadi. Ia memakiku dan dari suaranya, kupikir aku mengenali nada
datar yang terucap. Kuharap itu benar-benar Pierre, jadi aku masih bisa bahagia
karena kutahu sekarang dia selamat. Setidaknya aku bisa menemuinya lain waktu
untuk membalas budi.
Gemerisik semak di hadapanku membuatku harus meningkatkan
kewaspadaan. Kupikir bukan Pierre yang akan muncul, mungkin para pemburuku.
Kukeluarkan pena dari tas, memang terlihat begitu menyedihkan ketika melihat
seorang gadis menantang keluar pada vampir hanya bersenjatakan pena. Tapi bukan
Leil anak pemburu vampir jika yang kupegang hanya sebuah pena. Ayah adalah yang
paling tahu akan ketakutanku jadi dia menyiapkan semua benda yang kupakai bisa
menjadi perlindungan terhadap vampir.
“Oh gadis pemberani, pasti darahnya akan lebih lezat dari apapun,”
oceh sesosok vampir kurus di depanku. Air liurnya menetes menjijikan, sungguh
aku ingin segera menjadikannya abu. Muncul lagi seorang gadis berambut pendek
yang langsung menindih si menjijikan.
“Sudah kubilang ini akan menjadi pertarungan antar gadis,” katanya
tegas. Sambil memandang lurus kepadaku. Itu bukanlah tatapan peduli tapi seolah
mengatakan aku akan segera menghabisimu gadis malang.
“Wow, kurasa kalian berdua harus lebih akur,” celetukku mencoba
membuang ketakutan yang mulai hinggap. Jika yang muncul hanya si menjijikan,
mungkin aku bisa mengatasinya seorang diri. Tapi dengan datangnya wanita ini,
pertarungan akan berubah menjadi serius dan mengerikan.
“Kalian membuatnya takut,” sahut seorang lagi yang muncul dari
semak. Kali ini kembali seorang pria berambut lurus panjang sebahu. Tatapannya
begitu hangat dan ia terdengar bijak. Apapun itu, aku tetap tak bisa
memercayainya meskipun ia terlihat berbeda dari yang lain. Tiga sudah keluar,
harusnya masih ada satu pria dari gerombolan mereka. Tapi dimana?’
Segera kuarahkan penaku ke udara saat kudengar seseorang berbisik
tentang darahku. Sinar ultraviolet memancar terang menembus tubuh yang masih melayang
hendak menyergapku dari udara. Ia hanya bisa berteriak ketika juga ia jatuh
sebagai gumpalan debu yang kemudian berpencar saat air menghujamnya.
“Kakak,” teriak si menjijikan.
Ia pun segera melesat menuju arahku. Aku tak tahu harus apa ketika
mataku bahkan tak bisa menangkap kecepatannya. Yang kutahu, ia segera berada di
depan mataku dan jemarinya nyaris merobek pipiku. Tapi kemudian ia terdorong
jauh dariku. Si vampir wanita menendangnya menjauhiku. Saat ia tersungkur di
hadapanku, ini kesempatan yang bagus. Aku kembali menyalakan sinar ultra violet
dari penaku dan si menjijikan berhasil kuhapus.
“Sudah kubilang dia akan menjadi bagianku,” omelnya.
“Sachi, dia cukup liar untuk membunuh dua dari kita,” kata si mata
hangat.
“Karena itulah aku tak akan berbasa-basi.”
Dia datang ke arahku dengan kecepatan luar biasa dan sialnya
penaku sudah kehabisan daya untuk kembali memancarkan sinar ultraviolet. Aku
kembali mengacak isi tasku untuk mendapatkan senjata lainnya. Tapi terlambat.
Sachi membuatku tersungkur ke tanah, benturan saat mendarat membuat pinggangku
terasa sangat sakit. Nyaris seperti patah namun lebih parah lagi. Aku merangkak
di atas tanah yang kini tergenangi air, mencoba menjangkau tas yang terlempar
jauh setelah serangan Sachi.
Ia kembali mendekatiku dan menarik kuncir ekor kudaku hingga
rambut panjangku kini terurai. Semakin menyedihkan ketika ia kembali
membenamkan wajahku ke lumpur. Aku tak bisa bernafas, bahkan kali ini mataku
perih karena lumpur yang masuk. Saat Sachi mengangkat kepalaku, rasanya seperti
hidup kembali. Kuhirup udara sedalam-dalamnya dan menengadahkan wajahku agar
air hujan membasuh semua lumpur yang melumuriku.
“Berikan dia padaku, Sachi,” seru si vampir pria.
Seketika aku tak merasakan daratan setelah kudapati tubuhku sudah
membumbung tinggi dilemparkan Sachi. Sementara itu di udara, pria bermata
hangat sudah menunggu kedatanganku dengan jemari tangannya yang penuh cakar
tajam. Ayah, aku telalu lemah untuk mempertahankan diriku sendiri. Tolong aku.
Gadis bodoh. Payah, merepotkan
saja.
Aku kembali mendengar suara lain dan dia terdengar semakin dekat
saja. Hingga kurasakan sesuatu yang hangat memelukku di udara. Erangan vampir
pria bermata hangat terdengar nyaring di belakangku. Saat kupikir aku akan
mati, justru kehangatan menyelimutiku dan seseorang kembali menyelamatkanku. Aku
sudah berada dalam pelukan seseorang dan samar yang kulihat hanya bayang mata
turquoise yang bersinar. Syal merah melilit lehernya tapi tak bisa
menyembunyikan wajahnya dariku. Meskipun samar, tapi aku tetap bisa
mengenalinya.
“Pierre?”
“Kau akan melupakannya. Hari ini dan juga aku,” katanya datar.
Saat ia menyentuh keningku dengan telunjuknya, aku tak bisa merasakan perihku
lagi. Semua dalam pandanganku menjadi gelap tapi aku masih bisa merasakan kehangatannya.
***
Semua yang tergambar saat aku membuka mata hanyalah pemandangan
langit-langit kamarku. Detak jam dinding memenuhi ruangan, sekarang sudah jam
sepuluh malam. Aroma lavender menyambutku. Aku sudah berada di kamarku dan
menjadi pusat perhatian saat aku tersadar.
“Leil, kau akhirnya bangun juga. Aku sangat khawatir padamu, aku
berjanji tidak akan membuatmu mengalami hal mengerikan ini lagi,” kata June
sambil memasukanku dalam dekapannya. Aku masih tak mengerti apa yang dia
katakan hanya saja sepotong demi sepotong memori tentang peristiwa itu berusaha
untuk masuk perlahan. Saat Pierre menyelamatkanku dari serangan vampir di
bukit.
“Pierre?” gumamku. Mungkinkah dia yang membawaku pulang?
“Siapa dia? Apa dia yang membuatmu begini?” Apa? June tak mengenali
Pierre? Bukankah sebelumnya aku kembali ke toko dan mengatakan tentang Pierre
dan alasanku kembali ke bukit.
“Pria yang menyelamatkanku. Apa bukan dia yang membawaku pulang ke
rumah?” kulihat June menggeleng, ayah juga. Aku baru menyadari kehadiran
seseorang yang asing bagiku. Seorang kakek 60 tahunan tengah duduk di dekat
pintu kamarku.
“Kakek itu yang membawamu pulang.”
“Apa yang terjadi?” tanyaku putus asa.
“Kau terpeleset di bukit dan jatuh lalu tak sadarkan diri. Untung
saja si kakek menemukanmu dan akhirnya ia membawamu pulang,” jelas ayah. Tapi
aku sama sekali belum mengerti dengan apa yang terjadi. Mengapa ceritanya
menjadi berubah dari yang kualami?
“Beruntung dia tahu bahwa kau bekerja di tokoku jadi awalnya ia
mengantarmu ke rumahku,” tambah June. Si kakek hanya tersenyum memperlihatkan
sebagian giginya yang menghilang. Aku hanya mengangguk membalas senyumnya.
(Bersambung…)
Tidak ada komentar