[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 9

Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Belum ada gambar, update available guys. Dengan basa-basi kaku, kusampaikan sambutan pada kalian yang diam-diam membaca cerita ngelantur ini. Terimakasih :)


LEIL
Sudah dua hari semenjak pria misterius yang kukenal dengan nama Pierre itu mengacau di toko. Ia tak kembali ke toko kami untuk membeli krisan dan aku harap dia memang tak kembali. Masih kumainkan kabel telepon setelah sambungan terakhir dengan pelanggan. June masih sibuk dengan kalkulatornya, juga beberapa buket yang belum diambil. Aku sebenarnya masih tak mengerti dengan keputusan June dengan tak mengijinkan bunga dari tokonya berakhir di pemakaman. Tapi aku memilih bekerja di sini justru karena keputusannya itu.
Telepon berdering dan itu memuatku terlonjak. Segera kuangkat.
“Halo La Beau Florist,” sapaku riang.
“Jangan melamun atau gajimu kupotong.” Tatapanku langsung bergerak lurus ke seberang, June mengangkat kalkulatornya dan menatap tajam ke arahku. Langsung kututup teleponnya.
“June, itu menyebalkan.”
“Terima kasih,” jawabnya ringan.
Ia lalu meninggalkanku sendiri karena petugas pengiriman sudah datang. Pantas saja ia terus menghitung, menggunakan jasa petugas pengiriman memang akan mengurangi keuntungan. Tapi apa boleh buat, kami tak punya pegawai yang cukup untuk melakukan segalanya sendiri.
Hening mulai memenuhi ruangan, aku berusaha menyibukkan diri dengan memotong dedaunan di tangkai mawar. Bahkan hari ini Jossie tidak datang ke toko untuk membeli mawar, mungkin ia masih sibuk dengan pekerjaannya. Tepat di sebelah ember mawar adalah sekeranjang penuh berisi krisan yang masih bercampur dengan aster. Pria itu, Pierre dan krisan…
“Tidak!” teriak June tiba-tiba.
Dia juga melesat ke arahku dan mengguncang tubuhku cepat. Wajahnya terlihat begitu panik dan aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan untuk menanyakannya saja aku harus berjuang keras.
“Hey June, kau bisa melepaskanku? Tarik nafas dalam-dalam dan ceritakan padaku ada apa sebenarnya?” Ia mulai relaks dan yang terpenting adalah dia sudah melepaskanku.
“Bagaimana aku bisa menghadiri keduanya? Astaga, mengapa aku bisa begitu bodoh dan melupakannya?”
“Apa?”
“Pelatihan berkebun. Aku sudah mendaftarkan diri dan membayar biayanya. Aku sudah menunggu cukup lama untuk hal ini tapi sekarang aku justru tak bisa menghadirinya.”
“Bukankah urusanmu sudah selesai, lagipula hari ini sepi. Jadi bisa kita tutup tokonya lebih cepat dan kau datang menghadirinya. Ide yang bagus bukan?”
“Tidak sebagus yang kau pikirkan,” sambarnya.
Ia menjelaskan cukup panjang tentang semua alasan yang kupikir tidak begitu penting tapi begitulah dia. Seperti mengantri pembelian pupuk karena akan ada diskon di awal bulan, mengikuti kelas hama dan penyakit tanaman dan ulang tahun anak dari teman suaminya.
Akhirnya aku yang harus menanggung semuanya. Di sinilah aku, duduk dan menunggu si pembicara pelatihan berkebun datang. Panitia memberi snack dan alat pelatihan. Aku tak mengerti mengapa June memasukkan acara ini sebagai prioritasnya. Tak lama kemudian si pembicara datang, ternyata dia hanya seorang kakek tambun bercelana pendek. Dia menyapa kami dengan cara yang tak biasa dan menurutku itu aneh.
“Halo selamat cinta berkebun,” sapanya.
“Kebun ceria penuh cinta dalam hati berbunga mekar sempurna,” jawab hampir seluruh peserta secara serentak. Sedangkan aku hanya ternganga. Sepertinya aku tersesat di sekumpulan orang aneh. Tapi aku bisa membayangkan betapa antusias June saat di sini dan melakukan salam itu bersama si kakek.
“Nona yang di sana,” kata si kakek sambil menunjuk ke arahku. Astaga, ini tidak baik. Kumohon jangan perhatikan aku, kakek. Aku mencoba mengalihkan perhatian tapi si kakek masih mengarahkan pandangannya padaku.
“Aku?” tanyaku sok tidak menyadari. Si kakek hanya mengangguk.
“Naiklah ke panggung dan kita akan bicara dari hati ke hati. Selama kita melakukan salam ceria kita, nona ini terlihat murung dan sepertinya dia ada masalah. Jadi kuputuskan untuk…” oceh si kakek panjang lebar sementara asistennya menjemputku untuk segera naik ke panggung. Tepuk tangan yang meriah segera kudapati dari seluruh hadirin.
“Baiklah nona, siapa namamu?”
“Leil,” jawabku singkat.
“Mengapa kau kurang bersemangat hari ini. Apa ada kekacauan di kebunmu? Berbagilah cerita sedihmu itu dengan kami.”
Si kakek mengunciku pada tatapannya juga seluruh peserta yang seolah menantikanku bercerita. Astaga, andaikan mereka tahu cerita sedihku yang sesungguhnya. Bahwa kekacauan bukan terjadi di kebunku tapi di pemikiran bosku dan terkirim ke pertemuan aneh seperti ini. Aku ingin pulang!
“Tidak ada. Aku hanya tidak terbiasa.”
“Oh tentu. Semua pemula mengalaminya tapi lama kelamaan kau akan menikmati salam ceria ini. Kita bisa melakukannya bersama-sama. Ayo bantu teman kita ini,” kata si kakek.
“Mungkin aku akan belajar sendiri,” sanggahku.
“Baiklah. Tapi, setelah kau menjawab sapaanku kali ini dengan semangat. Akan kucarikan seorang teman yang dulu sangat mirip denganmu.”
Aku menelan ludah. Itu pertukaran yang tidak setimpal, Kek. Lalu si kakek memanggil seorang lagi dari hadirin. Seperti sebelumnya, ia pun diberikan tepuk tangan yang meriah dari semua peserta.
“Apa kabar kebunmu hari ini, Pierre?” tanya si kakek. Seseorang muncul dari keramaian dan yang pertama kulihat adalah mata turquoise nya yang bersinar. Astaga, ini semakin bertambah buruk saja.
“Kebunku masih ceria,” jawabnya dengan tambahan senyum. Ini pertama kalinya aku melihat dia tersenyum dan itu sungguh menawan. Mungkin karena aku tak pernah melihat senyum itu sebelumnya. Ia langsung berdiri di samping kananku. Jantungku berdebar cepat, bukan berbunga-bunga tapi setengah ketakutan. Beberapa kalimat dari mulutnya kemarin kembali mengacaukan perasaanku.
“Apa kabar kebunmu hari ini, nona Leil?” tanyanya padaku. Harus kujawab apa? Semua kata seolah melarikan diri dari pertanyaan pria menjulang yang satu ini. Dia sedikit membungkuk untuk berbisik padaku.
“Pakai jawabanku,” bisiknya.
“Aaah, kebunku masih ceria,” jawabku sambil tersenyum sok ceria. Kudapatkan tepuk tangan meriah lagi dan si kakek seolah terharu melihat perkembanganku.
“Baiklah, aku akan memandu kalian menjawab sapaanku lagi. Kita mulai lagi. Halo selamat cinta berkebun,” sapa si kakek.
“Kebun ceria penuh cinta dalam hati berbunga mekar sempurna.”
Kali ini aku ikut menjawabnya meskipun dengan perlahan. Pierre membantuku mengeja setiap kalimatnya dan aku terbebas dari panggung. Kami berdua dikembalikan ke tempat duduk masing-masing. Hari ini benar-benar gila.
Acara terus berlanjut, setelah sapaan aneh dan beberapa sesi curhat tentang kebun. Ternyata aku mulai menikmatinya, si kakek benar. Kami membahas berbagai permasalahan kebun seperti tanah juga hamanya. Si kakek menyampaikannya dengan jenaka dan ia membuatku tak henti tertawa. Akhirnya saat ini tengah jeda untuk istirahat dan menikmati secangkir kopi di sore hari. Aku tak menyangka akan menjadi seperti ini. Lalu kulihat Pierre melintas di depanku sambil membawa secangkir kopi.
“Halo Pierre,” sapaku kaku. Dia berbalik dan dengan mudah bisa menemukanku. Ia duduk di hadapanku dan meletakan cangkirnya yang ternyata berisi teh.
“Maaf untuk kekacauan dua hari lalu,” katanya datar.
“Itu bukan masalah, hanya saja June sedikit terkejut dengan kedatanganmu. Sekarang dia baik-baik saja.”
“Aku meminta maaf padamu. Tentang perkataanku padamu, lupakan saja. Anggaplah aku tidak pernah datang untuk mengatakannya,” katanya kemudian. Pasti wajahku memerah untuk saat ini. Tapi aku harus segera beralih ke logikaku. Sadarlah Leil.
“Tentu,” jawabku singkat.

(Bersambung…)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.