[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 10

Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Budidaya tomat via infoagribisnis.com
Yeay, sudah sepuluh episode ternyata. Sekilas tentang keeping 9 kemarin, Leil bertemu kembali dengan Pierre- pria bermata turquoise yang pernah mengacau di toko bunga June. Mereka bertemu di sebuah acara seminar berkebun. Tapi kali ini mereka bertemu di suasana yang lebih hangat. Ups, kebanyakan spoiler.
Langsung saja, ini dia lanjutan dari serial 3Blood. Happy reading!

LEIL
Acara memasuki puncaknya, akhirnya kami diizinkan untuk melakukan praktek langsung bertanam dengan si kakek. Semua orang mulai mengenakan celemeknya dan menuju meja panjang berisi tanah di tengahnya. Aku mengeluarkan pot bunga yang sudah diberikan panitia di awal acara.
“Seperti biasa, pilih tanaman favorit kalian yang ada di meja sebelahku ini. Apapun yang kalian dapatkan nanti, kalian bisa membawanya pulang. Jadi ambilah tanaman yang kalian suka, sekarang!”
Aku masih mengaduk-aduk tanah dalam pot bungaku ketika peserta yang lain mulai bergegas pergi dari meja tanah. Astaga apa aku terlambat? Aku segera ikut dalam keramaian dan mencoba mendekat ke meja bibit. Tapi sepertinya sia-sia, seperti seorang bocah yang mencoba melawan ibu-ibu dalam pesta diskon. Aku hanya akan menjadi anak tersesat sekali lagi. Semua yang sudah mendapatkan tanamannya kembali ke meja tanah untuk mengikuti instruksi selanjutnya. Tak ada yang tersisa di meja bibit padahal si kakek mengatakan bahwa jumlah bibitnya disesuaikan dengan jumlah peserta. Lalu mengapa tak ada yang tersisa untukku?
Dengan tangan hampa, aku kembali ke meja tanah dan memandangi pot tanamanku yang masih kosong. Seseorang meletakkan pot bunganya di sampingku, refleks aku langsung menatap si pemilik pot itu. Karena potnya kosong jadi kupikir kami sama-sama gagal dalam perebutan bibit. tadinya aku ingin menyapa dan mengatakan bahwa kita sama. Tapi aku merasa bertambah hampa, apalagi setelah melihat bahwa Pierre mendapatkan krisan di tangan kanannya.
“Ini untukmu,” katanya datar sambil meletakan bibit tomat dalam potku yang masih kosong. 
Ia sama sekali tak menatapku, perhatiannya teralihkan dengan menanam krisan di potnya. Aku bahagia sekali dan ingin mengatakannya tapi sikap dinginnya membuatku ragu. Langsung kutanam tomat itu, mengapa dia malah memberiku bibit tomat bukannya krisan. Padahal krisan lebih cocok untuk ditanam seorang gadis?
“Terima saja tomatnya. Itu lebih cocok untuk gadis sepertimu,” celetuknya tiba-tiba.
“Apa kau bisa membaca pikiran seseorang?” tanyaku liar sementara dia hanya tersenyum mendengarnya.
“Tidak. Aku tahu karena kau terus memandangi krisanku dan seolah tidak puas dengan tomat yang kuberikan. Semua orang juga bisa melihatnya dengan jelas.”
“Kau semakin mengerikan saja.”
Acara berakhir tepat setelah senja. Karena hari sudah cukup gelap dan jalan pulang kami searah, akhirnya Pierre menemaniku pulang. Aku masih mendekap pot tomat yang baru saja kutanam. Sementara ia memasukkan pot krisannya dalam totebag hitam yang ia dapat karena memenangkan kuis di akhir acara. Kami berjalan bersisian dan seolah mengingatkanku pada pertemuan pertama kami.
“Kau melamun?” tanyanya.
“Tidak. Kuharap aku tidak melamun.”
Kembali diam, perjalanan ini kembali diam untuk waktu yang cukup lama. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan padanya, ataupun apa yang harus kami bagi. Bagiku dia hanya pelanggan bandel yang kutemui kemarin sore jadi tak ada alasan untuk akrab dengannya. Tapi pertemuan hari ini memberiku alasan untuk kami saling mengenal dengan baik. Setidaknya aku tahu dia tak sekaku pertemuan pertama kami. Atau menyebalkan seperti pertemuan kedua kami di toko June. Saat itu aku melihat pandangan matanya kosong dan jauh menerawang tapi yang kulihat hari ini sangat berbeda. Tatapannya begitu hangat seolah menawarkan sebuah persahabatan.
“Hey, terima kasih untuk hari ini,” kataku kemudian. Sepersekian detik setelah mengatakannya aku baru menyadari kebodohanku. Dari mana asal kalimat itu muncul? Astaga, aku melepaskan pembentengan diriku dan membiarkan perasaanku meluap begitu saja.
“Untuk tomatnya?”
“Ya, untuk tomatnya. Aku akan menyiramnya secara teratur dan jika sudah berbuah, aku akan membaginya denganmu.”
“Aku tak berharap akan membagi krisanku denganmu.”
“Dasar pelit.”
“Kau simpan saja sendiri tomat itu.”
“Aku akan membaginya denganmu. Jika suatu saat kita bertemu lagi.”
“Andai kita bertemu lagi,” gumamnya.
“Apa?” ulangku meminta konfirmasi. Tapi jawabannya tertunda setelah sebuah mobil sport silver berhenti tepat di hadapan kami. Jossie keluar dari mobil dan menghampiri kami.
“Jossie?”
“Aku menjemputmu di toko June tapi aku tak menemukan siapapun. Beruntung aku menemukanmu di sini jadi aku akan mengantarmu pulang. Masuklah,” kata Jossie. Tatapan hangatnya berubah drastis ketika melihat Pierre bersamaku.
“Apa dia menyulitkanmu lagi, Leil?”
“Dia Pierre, teman baruku. Hari ini kami bersenang-senang dengan kakek pekebun. Pierre ini Joshua Franklin atau panggil saja dia Jossie, teman masa kecilku,” kataku sambil mengantarkan keduanya pada sebuah perkenalan. Pierre mengulurkan tangannya dan Jossie menyambutnya dengan hangat.
“Aku senang jika kau bersenang-senang hari ini, Leil. Tapi ini saatnya pulang,” kata Jossie. Ia juga menepuk bahu Pierre sebelum akhirnya kembali ke mobil.
“Ayo Leil,” panggilnya. Aku segera mengikutinya masuk ke dalam mobil. Saat kami melewati Pierre, aku masih sempat melambaikan tangan.
“Terima kasih untuk tomatnya,” teriakku. Dia hanya membalas lambaian tanganku.

PIERRE
Masih bisa aku melihat senyum cerianya dan kubalas dengan lambaian tangan. Kupikir yang kulakukan cukup normal. Tapi pria itu seolah tak nyaman dengan keberadaanku. Andai Leil tahu bagaimana kerasnya Joshua Franklin menjabat tanganku. Mungkin dia tak berniat menyambutku dengan ramah, kupikir dia ingin meremukkan jemariku.
Entahlah, lagipula itu tidak begitu menggangguku. Sekarang sudah kudapatkan pot krisan yang ketiga dan kuharap dengan itu aku tak perlu membeli krisan lagi di toko bunga. Aku terus berjalan di kegelapan malam. Tapi malam bukanlah hal yang merepotkanku, bahkan aku cukup bersahabat dengannya.
Tak lama kemudian aku telah sampai di pintu depan rumahku dan saat itulah kutemui seorang wanita. Rambut pirang panjangnya terurai seperti biasa. Hari ini ia tetap mengenakan gaun hitam untuk menemuiku. Warna yang sangat kontras dengan kulitnya yang pucat. Matanya tajam menatapku, mungkin ia sudah lama menunggu. Aku tak memerlukan cahaya lampu untuk memastikan identitasnya karena aku sudah tahu.
“Jarang kau menungguku di luar. Mengapa tidak masuk ke dalam saja, Fista Sofia?”
“Aku mencoba menjadi tamu yang sopan. Jadi kau pergi ke seminar kakek tua itu lagi untuk mendapatkan satu pot krisan?”
“Begitulah. Hari ini aku juga dapat totebagnya. Bahkan dia masih mengingat namaku dan kami terlihat begitu akrab. Masuklah,” ajakku. Tentu saja aku tak bisa membiarkan seorang wanita berada di luar setelah ia menunggumu begitu lama.
“Dengan senang hati.”

(Bersambung…)


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.