[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 8

Ini Aster sih, bukan krisan via www.liebevoll-blumen.de
Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Halo September,
Hari ke lima di bulan September, huh diriku terlambat kasih selamat datang ke bulan ini. Oke, setelah skip di beberapa minggu lalu, sekarang diriku datang dengan kepingan terbaru dari cerbung 3 Blood. Kemarin Jossie datang dengan cincin pertunangan. Apa itu artinya happy ending buat Leil sudah di depan mata? Ini lanjutannya. Jangan lupa cangkir kopinya diisi dan duduk manis sambil baca lanjutannya. Happy Reading...




Jossie mengeluarkan sebuah kotak kecil dari jasnya yang berada di meja. Sebuah cincin mungil dengan permata berkilau menyembul dari baliknya. Aku kehabisan kata-kata, Jossie…
“Maukah kau menikah denganku, Leil Grazdien? Aku mencintaimu, bahkan jauh sebelum kita menunggu bersama di ruang hukuman Kepala Sekolah. Aku ingin tiap detik yang kulewati adalah detik berharga bersama orang yang kusayangi dan orang itu adalah kau.” Jossie masih terus berkata-kata tapi fokusku tertuju pada pada June dan kegaduhan dalam toko.
“Sebentar Josh.”
Aku berjalan menuju toko, mungkin ada pengunjung bandel yang merepotkan June di sana. Ternyata benar, June tengah beradu argumen dengan pria tinggi menjulang. Aku langsung melesat untuk membantu June menghadapinya, Jossie mengekoriku.
“Leil,” panggilnya. Ternyata pelanggan bandel itu adalah pria yang membantuku lolos dari gosip yang dijual June. Pierre.
“Apa masalahmu, tuan?” tanyaku mencoba tetap ramah.
“Aku minta sepuluh tangkai krisan putih,” jawabnya santai.
“Pasti untuk orang yang kau cintai. Kusarankan kau membeli mawar, kami memiliki banyak warna juga varian. Kebanyakan perempuan menyukai mawar,” kataku mencoba memberi rekomendasi.
“Aku mau krisan.”
“Baiklah. Apa kau ingin menuliskan sesuatu untuknya?” kataku mencoba tetap tenang menghadapinya. June hanya memperhatikanku dari jauh, tak berani ia mendekat, takut kalau saja emosinya kembali meledak. Lalu kulihat Pierre hanya menyeringai.
“Untuk apa aku tuliskan surat untuk orang yang sudah mati.”
DEG! Jawaban entengnya menjelaskan padaku mengapa June melambaikan bendera putih untuk manusia yang satu ini. Menjelaskan bahwa toko ini tak menjual bunga untuk acara duka cita memang tantangan yang luar biasa berat. Aku mencoba kembangkan senyum dan mulai penjelasan sederhanaku.
“Maaf tuan, tapi toko kami tak menjual bunga untuk prosesi pemakaman dan acara duka cita. Mohon maaf, mungkin anda bisa membelinya di toko lain.”
“Aku hanya ingin membeli krisan. Itu saja,”
“Iya, tapi toko kami tak melayani…”
“Kau dapat uangnya dan aku dapat krisannya. Adil bukan?” Pierre mengambil beberapa tangkai krisan lalu menyerahkan uangnya di meja kasir. Rupanya ia sangat keras kepala.
“Sudah kubilang kami tak melayani pembelian bunga untuk acara duka cita. Kau bisa dengar tidak, tuan kepala batu!” teriakku, ia pun diam di ambang pintu lalu bergerak cepat menghampiriku. Hingga dalam sekejap ia telah berada tepat di hadapanku. Nyaris tak ada jarak. Beberapa pelanggan diam tercekat, terutama Jossie dan June. Ia menatapku tajam, sebuah tatapan menghujam tepat ke bola mataku, membuatku seolah tak berdaya dibuatnya.
“Semua orang pasti akan mati, lalu apa itu berarti mereka tak berhak dicintai lagi? Kau pikir kau tak akan mati?”
Kembali dia mengatakannya. Pertanyaan yang tak pernah kuduga akan dilontarkan begitu frontal oleh seorang pembeli yang kecewa. Aku membeku di hadapannya, aku tak tahu harus meneriakkan kata apa lagi padanya. Aku kalah.
Plaak, gubraak! Jossie menerjang Pierre dengan pukulannya dan membuatnya tersungkur. Semua tangkai krisan di tangannya pun tercecer lepas dari genggaman. Tak hanya itu, Jossie juga melempar beberapa lembar uang pada Pierre yang kini masih diam. Sementara aku diam tercekat mendapati refleks Jossie yang di luar dugaan.
“Bagian mana dari perkataannya yang masih tak kau pahami?” tantang Jossie. Pierre bangkit dan menatapku yang kini berada dalam naungan Jossie.
“Kapan kau mati, nona? Akan kukirimkan setangkai krisan di atas nisanmu juga.”
Sebuah pertanyaan gila yang kembali memancing Jossie untuk memukul Pierre lagi. Ia pun tersungkur, lagi. Jossie mencoba mendekat untuk menghajarnya lagi.
“Hentikan, Josh.”
Kugunakan ekstra tenaga untuk menjauhkannya dari pelanggan aneh kami. Aku jongkok dan membantunya mengumpulkan beberapa krisan yang berpencar. Dia hanya memungutnya dalam diam, bahkan ia seolah menghindari kontak mata denganku. Yeah, aku pun tak ingin terlibat kontak dengan mata misterius nan mengerikan itu lagi.
“Maaf atas ketidaknyamanan ini, tuan,” kataku lembut sambil berusaha tetap tersenyum hangat. Ia justru menatapku cukup lama, hingga bisa kulihat memar di wajahnya akibat pukulan Jossie.
“Jika kau tak mau tersenyum, jangan paksakan untuk melakukannya. Maaf telah merepotkanmu, nona. Tolong izinkan kuambil krisan-krisan ini.”
“Tapi… “
“Terima kasih.”
Lalu pria itu pun berlalu dengan denting lonceng pintu. Jossie bergerak cepat mencoba mengejar pria itu, langsung kugenggam lengannya dan cara itu cukup ampuh untuk menghentikannya.
“Dia membawa krisanmu, Leil.”
“Itu hanya beberapa tangkai krisan dan kau bahkan memukulnya. Kau berlebihan, Josh.” Kini Jossie yang berbalik menggenggam tanganku erat.
“Dia mengolok-olokmu, Leil. Dia menanyakan pertanyaan bodoh padamu, kurasa ia pantas untuk mendapatkannya.” Aku tertawa konyol mendengar jawaban Jossie.
“Adakah yang lucu?”
“Kau kekanakan, Josh.” Jossie hanya tersenyum menanggapi jawabanku.
“Maaf atas sikapku tadi, Leil. Kau benar, aku keterlaluan. Maaf…” yeah, mungkin normalnya aku akan melakukan yang Jossie lakukan tapi entah mengapa aku merasa berhutang sedikit terima kasih pada Pierre. Kata-katanya pun masih terngiang.
“Kau pikir kau tak akan mati, nona?”
Siapa dia? Mengapa kemunculannya seolah membawa sebuah kekacauan dan anehnya pagi ini aku tlah merasakan kehadiran suasana baru dari orang asing akan membawa kekacauan ini. Aku merasa bisa memercayainya dan menatapnya membuatku semakin yakin bahwa dia sebenarnya tidak seperti yang orang duga. Kepercayaan yang terlalu nyata hingga aku berani mencurahkan simpati terhadapnya. Di satu sisi, dia mengerikan tapi di sisi lain aku ingin bertemu lagi dengannya dan tahu lebih banyak tentangnya. Astaga! Apa yang terjadi padaku? Aku semakin tak mengerti dengan diriku sendiri.

(Bersambung…)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.