[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 5

Gelas pecah via ceritasatucinta. blogspot.com
Warning: Fiction-Fantasy Detected Inside
Halo,
Berhubung kemarin dirikuterlambat melanjutkan keping empat dan ada satu minggu tanpa kisah ini. Maka minggu ini kuberikan dua keping sekaligus sebagai permintaan maafku pada teman-temanku para pembaca sekalian. Maaf yang setulusnya dariku :)

Terjadi kehebohan besar yang tak pernah Leil duga akan terjadi setelah pelayarannya. Kupikir inilah saat yang tepat untuk memperkenalkan tokoh baru dalam kisah ini. Bagaimana mereka bertemu dan apa reaksi Leil terhadapnya? Tebaklah, aku akan mendengarkan. Tapi bagi yang tak mau mengikuti permainan tebak-tebakan, silahkan membaca saja. Lanjutan kisahnya tersedia. Happy reading dan siapkan cangkir kopinya. Salam.




LEIL
“Kita sudah sampai, nona,” sambut Jossie dengan uluran tangan halus memesona. Aku pun tertawa lepas mendengar nada bicaranya yang sok formal. Aku mengabaikan uluran tangannya dan memberikan tepukan untuk membalasnya.
“Terimakasih banyak, Josh.”
“Sama-sama. Jangan pernah bosan untuk menghadiri undanganku, ya?”
“Tentu.” Jossie kembali ke belakang kemudi lalu pamit.
“Hati-hati,” seruku mengiringi kepergian mobil silver itu kembali kejalan lalu menghilang. Kubuka pintu toko, dentangan loncengnya pun mengikuti. Kutemukan June di belakang meja kasir dengan senyum lebar mengerikan.Kubuka pintu toko, dentangan loncengnya pun mengikuti. Kutemukan June di belakang meja kasir dengan senyum lebar mengerikan.
“Apa cerita hari ini, tuan putri?”
“Ikuti aturan mainnya, June.”
“Ayolah, berbagilah sedikit cerita sebagai sesama teman. Setega itukah kau padaku?” aku menggeleng pada June dengan tambahan senyum persuasif agar dia membayarnya.
“Kalau begitu kau akan membayar lebih untuk ini, Leil. Bahkan kau akan memohon-mohon padaku, nantinya.”
“Maksudmu?”
“Ikuti aturan mainnya, Leil.” June hanya tertawa puas.
“Sial, kau mengulang kalimatku.”
“Bergegaslah, ada tiga buket yang harus kau kerjakan.”
Aku segera menuju gazebo di halaman belakang toko. Puluhan bunga bermacam warna dan jenis tengah mekar sempurna. Belum lagi beberapa yang melingkari gazebo, membingkai keindahan hari ini. Sore mulai turun dengan senja yang menjulur di langit, menutup layar panggung sang siang. Betapa megahnya pertunjukkan hari ini hingga aku sebagai seorang penonton sepertinya hrus memberikan standing applause untuk para pemeran dari pentas hari ini. Akhirnya tiga buket yang kurangkai tlah selesai dan dua di antaranya sudah diambil. Hanya satu yang masih tersisa tapi karena yang memesannya adalah pelanggan setia, maka June sendiri yang akan mengantarnya. Tugasku selesai hari ini.
“Semoga perjalananmu menyenangkan, Leil,” kata June dengan diksi yang mencurigakan. Tak biasanya ia mengucapkan kata itu saat aku pulang.
Aku hanya melambai dengan sedikit sapuan senyum. Kurapatkan jaketku ketika hawa dingin mulai meronta masuk menembus pori. Tak ketinggalan, sarung tangan tebal pun kukenakan. Cukup wajar untuk kota kecil di kaki gunung. Kusapa lampu jalanan yang menyala temaram menghias malam sibuk di hari Minggu, aku berhenti di ujung zebra cross sembari menunggu lampu merah membukakan jalan untukku. Kupasang earphone dengan lagu menenangkan. Setidaknya itu bisa mengurangi kekhawatiranku pada kata-kata June.
Tiba-tiba suara bising bak sekawanan gajah melintas, mengusik deretan melodi indah yang mengalir ke telingaku. Kulepas earphone, rasa ingin tahuku benar-benar memuncak hingga ia mendorongku untuk menengok ke arah sumber kegaduhan. Samar kulihat mereka adalah segerombolan wanita dengan atribut mengerikan siap untuk berdemo. Kualihkan tatapanku, ya aku cukup tahu tentang permasalahan yang satu ini karena hampir setiap akhir bulan pasti kantor walikota ramai oleh demonstran.
Demonstrasi di kota ini adalah hal biasa. Para gadis dan ibu-ibu rumah tangga adalah pemain utama dari setiap demonstrasi, mereka sering melakukan demo hanya untuk menuntut adanya diskon besar-besaran di akhir pekan. Gila bukan? Kupasang lagi earphone-ku, bersiap untuk menyeberang ketika cahaya kuning memberikan kode padaku.
“Leil, PENGKHIANAT!!!”
Fokusku langsung kembali pada mereka. Gerombolan itu menyebut namaku? Kucermati lagi kawanan itu dan ternyata mereka bukanlah demonstran yang ingin berdemo menuntut diskon di depan kantor walikota, tapi mereka adalah pelangganku? Kau tahu kan apa maksudku, aku menjual informasi tentang Jossie pada mereka yang membutuhkannya dan aku panggil mereka pelanggan. Apa yang mereka lakukan? Mereka menyebutku? Pengkhianat? Maksudnya? Handphone-ku berdering karena sebuah pesan menerobos masuk.
June
Terkejut? Hahaha… bermainlah dengan mereka, Leil. Mereka membayar banyak untuk menonton videomu dan Jossie kemarin. Semoga perjalananmu menyenangkan…
Love you…
“JUNE!” teriakku.
Sudah kuduga ini pasti perbuatannya dan ini juga arti dari ucapannya tadi. Video dia bilang? Tapi ia tak mungkin punya kesempatan untuk merekam apapun saat aku berada di toko. Lalu, video apa yang dia jual hingga membuat remaja-remaja itu menggila dan mengejarku? Tiba-tiba terlintas sebuah sumber yang mungkin. CCTV. Terimakasih bagi penemu CCTV. Karena anda, aku dapatkan masalah besar!
Segera kuterobos jalanan, menghindari massa yang gigih tetap mengejarku. Aku terus berlari entah kemana, mungkin ini adalah bagian terjauh dari jalanku selama ini. Melarikan diri hingga celah terkecil di sudut sempit kota ini, mungkin.
“Kau akan menyesali ini, June!” teriakku lantang sambil terus berlari.
“Pengkhianat! Berhenti kau!! Aku akan menghajarmu, gadis gila!”
“Diamlah! Kalian yang nampaknya mulai gila,” timpalku.
Hari semakin gelap, begitu pun dengan aku yang semakin tak mengerti dengan jalanan yang sedang kutapaki, sebuah sudut yang bahkan sangat asing dalam peta otakku. Lalu dimana semua orang? Dimana keramaian kota? Dimana cahaya terang lampu pertokoan? Dimana para demonstran yang tadi menuntut atas pengkhianatan kecilku? Tiba-tiba tubuhku terguncang membentur sesosok tubuh tinggi menjulang hingga kami saling terkejut.
“Maaf, aku tak melihatmu.”
Dia tetap diam lalu memandangku. Ya ampun, makhluk apa dia? Bola turquoise yang tertanam indah di matanya terasa begitu menyedihkan. Tatapannya yang kosong tanpa makna justru membuatku tertantang untuk menguak makna di baliknya. Rambut hitam lebatnya tergerai bebas sampai ke leher. Tak ada senyum maupun niat untuk tersenyum di bibirnya. Kudengar massa mulai mendekat dengan riuh gemuruh yang menebar teror dalam gelap sementara aku masih terpaku di bawah temaram cahaya lampu satu-satunya yang menerangi wilayah ini. Berada di tempat asing tak terjangkau GPS otak dengan satu orang asing, argh… aku terjebak dalam situasi yang sulit.
Ia menarik lenganku hingga aku masuk dalam dekapannya. Sebuah refleks yang cukup mengejutkanku. Ternyata ia menyelamatkanku dari serangan telur busuk. Mereka langsung mengepung kami, kubuang wajah panikku. Mencoba menghadapi mereka setenang mungkin.
“Hai, teman-teman. Bagaimana kabar kalian?” sapaku.
Kaku dan mungkin terdengar aneh, tapi kubuat seramah mungkin. Jelas-jelas mereka mengejarku dengan semangat, bukankah itu berarti mereka baik-baik saja fisiknya kecuali jiwanya yang kurang waras karena sedikit provokasi June. Mungkin jiwa mereka juga waras, hanya saja emosinya meluap dan melahapku adalah obat yang tepat. Astaga, aku harus tetap positif.
“Cukup basa-basimu, kau pun tahu apa yang kami mau bukan?”
“Kau takut karena kami mengetahui kebohonganmu. Karena itu pula kau lari dari kami, bukan?” timpal yang lain ikut memojokkanku.
“Kau berpacaran dengan Jossie, karena itulah kau tahu banyak tentangnya dan kau jual semua itu pada kami.”
“Kau benar-benar licik.”
“Aku dan Jossie? Maksud kalian apa?” tanyaku mencoba seakan-akan aku tak tahu apa yang sedang dibincangkan. Tapi memang aku tak tahu mengapa mereka mengejarku.
“Kau kabur saat melihat kami. Itu artinya kau tahu apa yang kami mau!”
“Aku ketakutan. Siapa juga yang akan tetap diam jika dikejar sekawanan gadis dengan tampang liar dan sikap seolah barbar. Semua orang juga akan lari,” belaku.
Tapi mereka terus memojokanku hingga sulit bagiku untuk membela diri. Apa yang harus kulakukan? Mereka semua benar-benar liar setelah terpengaruhi gosip dari June. Bagaimana cara untuk menjinakkan mereka semua. Untuk bicara satu kata saja, mereka tak memberiku kesempatan. Apalagi untuk menjelaskan panjang lebar sebagai pembelaan diri?
“Apa yang kalian bicarakan?” tanya pria misterius dengan tampang datar, tapi pertanyaannya cukup ampuh untuk membuat mereka diam. Bagus sekali, aku menatapnya dengan harapan ia mau membantuku menghadapi masalah yang satu ini.
“Siapa kau? Kami tak ada urusan denganmu!”
“Kami hanya menginginkan gadis yang bersembunyi di belakangmu! Serahkan dia!”
Mencoba berimprovisasi, aku menggandeng lengan kekarnya dalam balutan jaket hitam yang kontras dengan warna putih jaketku.
“Dia kekasihku!” teriakku lantang.

(Bersambung…)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.