[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 4
Halo,
Setelah kemarin akhirnya Leil menghadiri undangan Jossie, cerita di atas pesiar pun berlanjut. Tentang kebersamaan, keluarga dan tentunya kejelasan cinta Jossie. Leil seolah menemukan kembali keluarga kecil yang bahagia dalam pelayaran singkat ini.
Maaf belum ada ilustrasi yang mendukung, tapi semoga imajinasimu dapat menggambarkan sendiri. Karena aku yakin kalian bisa melakukannya. Happy reading, jangan lupa cangkir kopinya. Salam.
Pesiar melaju ke tengah
samudera dengan kecepatan sedang. Pelayan mulai sibuk menyiapkan peralatan
memancing sedangkan aku duduk sendiri di buritan. Memandang betapa luas dunia
ini dan betapa kecilnya aku di sini. Tiba-tiba setangkai mawar warna peach muncul di hadapanku dan membuatku
tersadar dari lamunan. Kuikuti benang pancing yang mengikat mawar itu dan
kutemukan Jossie di dek atas lengkap dengan senyum menawannya. Kuambil mawar
itu dan ia menuntunku ke sebuah
spekulasi liar. Bukankah mawar peach
melambangkan rasa terimakasih, apresiasi, kekaguman dan cinta yang manis? Apa
Jossie memahaminya? Mungkin ini hanya kebetulan saja, atau…? Benarkah kata-kata
June?
“…kurasa
ia mulai menyukaimu, Leil! Selamat, kudoakan semoga kau benar-benar akan jadi nyonya muda Franklin…”
Deretan kata itu kembali
terngiang di telingaku ketika June melompat girang setelah Jossie mengundangku
untuk hari ini. Tapi itu rasanya tidak mungkin.
“Hey, apa yang kau
lamunkan?” seru Jossie mengaburkan imajinasi liarku.
“Apa di sini bisa kulihat
lumba-lumba?” jawabku spontan. Ia hanya tertawa. Tawa yang begitu bebas dan
pesonanya semakin jelas terpancar.
“Jika kau beruntung, kau
akan bertemu mereka.”
“Jika tidak?” kejarku.
“Aku akan membawamu ke tempat
mereka bermain. Ayo memancing.” Jossie mendaratkan sebuah topi lebar dengan
merk kelas dunia di kepalaku. Senyumnya kembali mekar, sungguh indah.
Kami berlayar terus
ketengah. Menikmati mentari yang mulai menyengat dengan memancing tuna dan
bersiap untuk langsung memasaknya. Nyonya Franklin mengajakku untuk memasak
bersamanya. Tentu saja tak kutolak kesempatan langka ini. Ia bahkan menolak
beberapa pelayan untuk membantu kami memasak. Ia bilang ia akan memberiku resep
tuna kesukaan Jossie.
Wow!
Akhirnya kudapatkan juga
kesempatan untuk berkenalan dengan bermacam bumbu dapur yang tak pernah
kusentuh karena mereka semua tak ada di dapur rumahku. Beliau juga menjelaskan
satu per satu fungsi dari benda aneh bernama bumbu dapur dan juga istilah dalam
memasak. Kurasakan hari ini aku benar-benar hidup sebagai seorang anak
perempuan, bisa kurasakan gambaran seorang ibu sebagai guru dalam kehidupan.
Mungkin hari ini adalah hari pertamaku merasakan kembali kehadiran ibuku. Lama
kupandangi jemari indah nyonya Franklin yang lincah meracik bumbu untuk tuna
favorit Jossie.
“Leil?” tegurnya lembut.
Aku langsung menatapnya
cepat, segera kupulangkan separuh diriku yang sedari tadi melayang. Dia balik
menatapku dengan tatapan lembut penuh aura kasih sayang hangat seorang ibu. Ini
adalah aura seorang ibu dan aku tak bisa bohongi diriku bahwa aku
merindukannya. Ibu, aku merindukanmu.
Tanpa kusadari air mata
menggenang memenuhi permukaan bola mataku, mengalir perlahan menuruni lereng
wajahku. Seolah tahu apa yang tengah berkutat di pikiranku, nyonya Franklin
mendekat untuk langsung membagi peluknya memenuhi tubuhku. Saat kehangatan itu
menyentuh tubuhku, kutumpahkan semua air mata penuh muatan rinduku akan
kehadiran seorang ibu. Nyonya Franklin mempererat peluknya sedangkan tangisku
semakin menjadi. Tak bisa kubendung kerinduan itu dan akhirnya kudapat tempat
yang tepat untuk mencurahkannya.
“Ibumu pasti bangga padamu, Leil.”
“Aku rindu ibuku. Belum
pernah aku memeluknya seerat ini, pernahkah aku membahagiakannya? Belum sempat
aku mampu ucapkan sederet kalimat sayangku padanya, ternyata aku tak sempat
mencapai momen itu. Aku gagal, aku tak berguna bahkan untuk mengucapkan kata
terima kasihpun aku tak bisa.”
“Semua ibu akan bahagia
ketika anaknya bahagia, tak perlu kau ucap kata terima kasih ataupun maaf,
seorang ibu akan tetap mencintai buah hatinya. Walaupun ia tak berada di sisimu
sekalipun.”
“Maaf…”
“Aku akan sangat bahagia
dan bersedia jika kau mau menganggapku sebagai tempat yang tepat untuk melepas
kerinduanmu pada ibumu. Memang aku tak bisa menggantikan ibumu tapi setidaknya
kau bisa membagi kenanganmu bersamaku dan mungkin pelukku bisa mengatasi
kerinduanmu."
Tiba-tiba guyuran air
membasahi tubuh kami. Akhirnya nyonya Franklin melepas peluknya, kami menoleh
kearah yang sama. Ayah dan Jossie, dengan ember kosong di tangan tertangkaplah
mereka berdua sebagai pelaku utama.
“Jangan bersedih, Leil.
Kami semua menyayangimu. Kau boleh pinjam ibuku, iya kan, bu?” kata Jossie
dengan senyum manisnya.
“Dia benar, kau adalah
putriku juga. Tapi…” nyonya Franklin menatapku dengan tatapan penuh kode dan
kurasa aku tahu apa maksudnya. Basah harus dibalas basah pula. Aku mengangguk
menjawab kode dari nyonya Franklin lalu kami berdua bergerak cepat menyambar
selang air dan menyemprotkannya kearah Jossie dan ayah.
“Kalian juga harus
merasakannya,” kataku sambil terkekeh melihat Jossie dan ayah berjingkat
menghindari semprotan air dari kami.
Tak kusangka aku
benar-benar gadis yang beruntung. Ibu, kini aku baik-baik saja, aku bahagia di sini.
Banyak orang yang menyayangiku dan akupun sayang mereka. Aku punya ayah yang
super perhatian padaku, kudapatkan teman-teman yang luar biasa dan nyonya
Franklin, konektor antara rinduku padamu, ibu. Tersadar dari lamunan ketika
Jossie merampas selang dari tanganku dan menyerangku balik, aku hanya membalasnya
dengan senyum ceria juga haru.
“Kau tak sendiri, Leil.
Kami semua menyayangimu,” kata Jossie lalu semua mendekat, mengakhiri perang
dengan sebuah senyuman.
“Aku sayang kalian semua!”
seruku.
“Kami juga.” Mereka semua
mendekapku bebarengan. Air mata haru sekaligus bahagiapun tak kuasa kubendung.
Tiba-tiba sebuah aroma yang khas melintasi hidung kami.
“Astaga! Tuna kita gosong!”
seru nyonya Franklin, tawapun pecah menyertainya.
*
Rainbow Cruiser kembali
merapat ke dermaga menandakan usainya perjalanan hari ini. Sebuah limosin dan
mobil sport Jossie tlah berderet rapi disana.
“Terimakasih atas waktu
yang kalian berikan untuk menghadiri undanganku.”
“Maaf untuk tuna kita,
Leil,” sahut nyonya Franklin.
“Tak apa. Aku bahagia hari
ini. Terima kasih atas semuanya.”
“Tuan Hurn akan mengantar
kalian pulang.” Si lelaki yang disebut pun membukakan pintu limosin dan
mempersilahkan kami masuk. Dia adalah pria yang tadi menjemput kami pula.
“Aku masih harus kembali ke
toko.”
“Aku bersedia mengantarmu,
nona,” kata Jossie sambil membukakan pintu mobilnya dan mempersilahkanku masuk.
“Aku akan naik bus saja.
Terima kasih.”
“Masuklah, Leil. Jangan
khawatirkan aku, aku akan pulang dengan ayahmu. Jangan sungkan. Dia adalah
sopir terbaik di dunia,” kata nyonya Franklin sambil mendorongku masuk ke mobil
Jossie.
“Terima kasih, ibu,” kata
Jossie lembut lalu megecup kening ibunya.
“Hati-hati
di jalan.”
Selama
perjalanan pulang, kami terus bercerita tentang hari ini dan ia mengajakku
untuk berlayar menemui para lumba-lumba. Andai perhatian Jossie tidak
teralihkan oleh jalanan, maka aku tak tahu lagi bagaimana harus menyembunyikan
wajahku. Setiap kata yang dia ucapkan dan caranya berucap selalu membuat
jantungku berdebar. Wajahku juga pasti seketika akan memerah dibuatnya. Hingga tak terasa, mobil telah memasuki
halaman parkir toko June.
“Tunggu
sebentar.” Jossie langsung melompat turun dan membukakan pintu untukku.
“Kita
sudah sampai, nona,” sambut Jossie dengan uluran tangan halus mempesona. Akupun
tertawa lepas mendengar nada bicaranya yang sok formal. Aku mengabaikan uluran
tangannya dan memberikan tepukan untuk membalasnya.
“Terimakasih
banyak, Josh.”
“Sama-sama.
Jangan pernah bosan untuk menghadiri undanganku, ya?”
“Tentu.”
Jossie kembali ke belakang kemudi lalu pamit.
“Hati-hati,”
seruku mengiringi kepergian mobil silver itu kembali kejalan lalu menghilang.
(Bersambung…)
Tidak ada komentar