[Fiksi-Fantasi] 3BLOOD KEPING 3

Hai, hai hola halo...
Gomen semuanya. Telat lagi update ceritanya, tapi dimaafin 'kan? Haruslah, kan bentar lagi lebaran tuh, bahkan saya ga perlu menunggu lebaran buat minta maaf atas ini, hehe. Maklum, menjelang lebaran jadi sibuk berburu tiket mudik. Yap, sudah baca yang keping kemarin? Saya harap kalian makin penasaran dengan Jossie, mungkin aja dia mabok ato bahkan salah minum obat. Keping 3 ready, silahkan disimak.


LEIL
Ooh... pagi yang sibuk! Aku tengah menyusun beberapa roti panggang dalam keranjang rotan. Kumasukkan beberapa sandwich tuna kesayangan ayah, ia tak pernah memancing tanpa makanan yang satu ini. Sesekali kulahap kue kering sebagai sarapan.

"Leil, apa kau tahu dimana topi memancingku?"

"Di atas lemari TV. Ayah, sarapannya sudah siap. Makan dulu, nanti baru siapkan peralatan memancingnya," kataku.

"Ayah turun."

Suara gedebuk langkah kaki mulai terdengar, menandakan ayah segera menuruni anak tangga. Tangannya penuh dengan peralatan memancing tradisionalnya, hanya stik kayu manual yang biasa ia gunakan di kolam pemancingan.

"Ayah yakin akan menggunakan kayu itu?"

"Hanya ini yang tersisa. Apa di laut benda ini akan berguna?"

"Pertanyaan itu juga yang ingin kutanyakan padamu."

Penghasilan ayah memang hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, tak tahu apa jadinya jika tanpa gajiku dari toko June. Oh ya, aku belum memberitahumu tentang pekerjaan ayahku, bukan? Ayahku adalah pemburu vampir. Kota kecil ini adalah batas terluar dari daerah aman manusia di tepian hutan mistis tempat tinggal para makhluk supernatural. Bukannya tanpa rasa takut, tapi aku hidup sampai saat ini adalah karena ketakutan itu.

Saat aku masih sekolah dasar, rumahku diserang segerombolan vampir kelaparan. Mereka menghancurkan semuanya, termasuk hidupku. Ibu meninggal dalam kejadian mengerikan itu, saat itu aku hanya diam di basement dan menyaksikan betapa mengerikannya mereka. Tak ada yang tahu tentang penyergapan ini, dan segerombolan werewolf jadi penyelamat secara tidak langsung. Semenjak hari itu, aku selalu ketakutan dan ayah memutuskan untuk bekerja sebagai pemburu vampir. Pandanganku dari ayah yang tengah sarapan teralihkan oleh ketukan pintu.

"Iya tunggu sebentar."

Aku bergegas menuju pintu dan kubuka. Kusisipkan sandwich di antara bibir atas dan bibir bawah. Kemudian yang kutemukan adalah seorang pria bersetelan jas hitam rapi, kemeja putih lengkap dengan dasi kupu-kupu. Ia tersenyum ke arahku dengan sopan.

"Nona Leil, tuan Joshua Franklin mengutusku untuk menjemput anda dan ayah anda menuju dermaga Easter," kata pria itu dengan hormat.

"Aa -k -uu?" kataku tergagap sampai sandwichku meluncur bebas tanpa hambatan.

"Ya, nona. Mobilnya sudah siap," katanya lagi sambil menunjuk sebuah limosin mewah yang terparkir sepanjang jalanan depan rumahku.

"Ayah!" ayah kemudian menghampiriku dan ikut memerhatikan pria itu dengan teliti dari ujung kaki sampai ujung kepala. Mungkin. Lalu ayah mengalihkan fokus ke limosin panjang yang dibawa si pria ini.

"Dia menanyakan rumah siapa padamu?" bisik ayah, sementara aku hanya menggeleng tanpa bisa menjelaskan dengan kata-kata.

"Tuan Joshua Franklin mengutus saya untuk mengantar anda berdua menuju dermaga Easter."

"Dengan mobil itu?" lanjut ayah tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Tentu. Silahkan."

"Perlukah kubawa ini?" tanya ayah yang masih menggenggam peralatan memancingnya. Aku juga ikut mengangkat keranjang rotanku. Tuan itu menatap kami lalu tersenyum sopan.

"Tuan Joshua Franklin sudah menyiapkan segalanya. Yang beliau harapkan saat ini adalah kedatangan anda berdua."

Perjalanan menuju dermaga Easter memang cukup jauh. Kami harus memutari jalanan belakang pegunungan. lagipula tempat itu hanya tempat kapal Jossie berlabuh, Easter adalah sebuah cekungan mirip danau yang memiliki cerukan langsung mengarah ke laut. Selama perjalanan hanya ada empat huruf yang mewakili perjalananku. VVIP. Yang kulakukan saat ini hanya menatap ke luar jendela, menerawang masa-masa SMA yang dipenuhi kepolosan hingga kini aku seolah terlambat menyadari bahwa semua telah berubah. Kami telah dewasa.

Tanganku bergetar, detakan jantungku seolah dipacu lebih cepat. Kurasakan hawa dingin melingkupi tubuh, ada ketakutan hebat yang merasuk. Padahal ayah berada dekat denganku dan hari masih siang, tapi aku merasa tak berada dalam lindungan kata aman. Anehnya lagi, aku mendengar suara-suara yang tak tahu darimana asalnya. Kudengar semacam komando beberapa orang yang suaranya bertumpuk di telinga padahal tak ada orang lain lagi dalam mobil ini dan di luar jalanan lengang.

Pergi ke utara dan temukan dia. Lebih baik tidak ada yang menemukannya sebelum kita/ Baiklah/ Siap, kita berpencar//

Suara itu semakin keras terdengar dan mulai membuat kepalaku pusing. Ayah menatapku penuh kepanikan karena ketidakmampuanku menyembunyikan rasa takut. Mulut ayah bergerak mengucap beberapa deret kata tapi aku tak dapat mendnegar apa yang ia katakan. Suara-suara aneh itu kini menguasai telingaku dan semakin memekakkan. Kupejamkan mata dan mencoba mengembalikan fokus pada ayah.

"... dengar ayah? Katakan sesuatu, apapun itu. Apa yang sakit, sayang?" akhirnya kembali kudapat pendengaranku. 

"Ayah," kataku pelan, lalu kuliha raut kelegaan merekah di wajah ayah. Dia langsung membenamkanku dalam pelukan.

"Apa yang terjadi?"

"Tak ada. Aku sayang ayah." Ayah mengecup keningku seperti biasa. Apa yang terjadi denganku? Apa yang baru saja kudengar? Akupun mencoba mengembangkan senyum lagi untuk mengusir kekhawatiran dan kecurigaan ayah. Mobil berhenti.

"Tuan, nona, kita sudah sampai di dermaga Easter. Tuan Joshua Franklin menunggu anda berdua di Rainbow Cruiser. Semoga pelayaran anda menyenangkan. Senang dapat melayani tamu kehormatan Tuan Joshua Franklin."

"Sama-sama. Kau terlalu formal," kataku yang langsung melompat dari mobil panjang itu. Aku dan ayah berdiri tepat di depan papan bertuliskan:

DERMAGA EASTER 501
Di bawah pengawasan dan kuasa:
Franklin's Group

"Whoaa, dia sangat kaya," ucap ayah sambil ternganga.

"Iya," kataku juga.

Kamipun bergegas memasuki dermaga, beberapa pelayan berkostum pelaut langsung menyambut kami dengan senyum ramah, memandu kami menuju Rainbow Cruiser. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, akhirnya kami menemukannya. Jossie dan ibunya sudah berada di sana dengan beberapa pelayang berkostum sama seperti yang menjemput kami.

"Selamat datang, tuan putri," kata Jossie sambil menyerahkan setangkai mawar merah segar padaku. Setelah kuterima mawar itu, ia berlutut dan mencium punggung tanganku.

"Apa yang kau lakukan? Bangunlah." Ia hanya tertawa lalu bangkit untuk menyalami ayahku. Nyonya Franklin juga mendekat untuk memelukku hangat.

"Kau tumbuh jadi gadis yang cantik. Apa aku terlambat menyadarinya, Tuan Grazdien?"

"Ya, mereka sudah besar. Seingatku, dulu mereka masih suka mengorek lubang cacing di belakang sekolah," kata ayah menyambut pertanyaan Nyonya Franklin. Sementara aku dan Jossie hanya terkikik malu mengenangnya. Orang tua kami bahkan sampai dipanggil oleh kepala sekolah karena hal sepele itu.

"Mari kita berlayar!" seru Jossie semangat.



(Bersambung...)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.