[RANDOM] Alien and Me: Bahagia

Suatu hari, kudengar suara gedebuk benda jatuh di pekarangan belakang rumahku. Hari tengah hujan jadi kupikir itu hanya suara buah kelapa jatuh dari pohon yang memang berdomisili di belakang rumah. Tapi rasa penasaranku tertarik untuk melihatnya, tak mungkin gedebuk buah jatuh serupa getaran gempa bumi. Saat kuintip dari pintu belakang, aku melihatnya. Ada sosok asing yang hanya menutupi dirinya dengan selembar kain serupa gorden. Dia tampak linglung dan akhirnya kusembunyikan ia di dalam rumah. Memberinya pakaian, mengajarinya duduk, makan, minum dan melakukan aktivitas normal. Dia seperti piaraan baru bagiku, tapi mungkin lebih baik jika aku menyebutnya sahabatku.

Hari ini tak seperti sebelumnya ketika hujan begitu lebat tak hentinya mengguyur. Hari ini dengan langit biru menyejukkan, aku duduk di teras rumahku dan menikmati secangkir kopi. Jika kau anggap aku kini tengah bersantai, maka kau salah. Seharusnya kau melihat tumpukkan buku dan lembaran kertas tugas di hadapanku. Aku tengah diburu deadline dan itu nyaris membuat kata santai punah dari jadwalku bulan ini. Kutimpakan kepalaku di atas semua tumpukkan itu. Awalnya sedikit bergetar nyaris rubuh tapi akhirnya menerima begitu saja.

Sekelompok anak kecil tengah bermain di setapak muka rumahku. Awalnya aku malas memperhatikan tapi mau kuarahkan kemana lagi tatapan mata ini jika tidak menatap iri ke arah mereka? Tiga bocah lelaki bermain kelereng dengan serunya. Tapi aku tahu bahwa seorang dari mereka yang memakai kaos Chelsea mulai bosan. Tentu saja, sejak awal bermain, ia terus kalah oleh si gundul berwajah oportunis. Sementara bocah yang hanya mengenakan celana bola dan singlet terlihat bersungguh-sungguh ingin mengalahkan si oportunis. Ah, aku baru menyadarinya. Ternyata ia dan si Chelsea berbagi baju yang sama, mungkin mereka bersaudara. Hah, apa peduliku jika mereka berdua bersaudara. Aku tak begitu memperhatikan anak-anak perempuan yang bermain sedikit jauh dari pandanganku. Yang jelas mereka tengah menyajikan makanan dari bebungaan yang mereka petik dari halaman rumahku.

Si makhluk aneh itu akhirnya keluar, dia membawa teko keramik bunga-bungaan dan menuang isinya ke dalam cangkirku. Aroma kopi menguar dan seketika membuatku bangun. Segera kuteguk cangkirku yang tadinya setengah kosong. Dia duduk di sampingku dan menikmati secangkir kopinya. Entah mengapa ia begitu menyukai kopi, kupikir ia juga mulai tertular virus pecinta kafein dariku.

"Kopi buatanmu lumayan juga," pujiku.

"Tak seenak buatanmu," jawabnya singkat. Jujur, jawabannya membuatku tersipu hingga aku sempat kehilangan akal sehat bahwa dia hanya sebatas alien. Pandanganku kembali pada anak-anak dan permainannya. Mereka tertawa lepas dan membuatku semakin iri.

"Aku iri pada mereka. Akau juga ingin tertawa lepas seperti mereka. Bermain di sore hari bersama teman sejawat seolah tak ada beban."

"Lakukan saja. Tertawa jika kau ingin tertawa. Bahagia dan buatlah itu jadi indah. Jika kau ingin bermain, aku bisa menemanimu. Bukankah aku masih ada di sini?"

"Tidak bisa. Kalaupun aku bisa tertawa lepas seperti mereka tapi tetap saja berbeda. Bagaimana bisa perasaanku bersedih tapi aku malah tertawa. Itu bahkan semakin mengerikan untuk dibayangkan. Itu hanya menusuk dirimu sendiri dan semakin membuatmu terlihat menyedihkan."

"Mengapa begitu? Hatimu, bahagiamu, tawamu? Bukankah semua itu diakhiri dengan partikel 'mu' yang berarti itu semua kau miliki sendiri? Mengapa kau tak mau membuat dirimu sendiri bahagia? Padahal kau harusnya tahu bahwa kau sendiri memilikinya.

"Apa yang harus kukatakan?"

"Katakan saja kau bahagia, karena dalam dirimu juga bahagia. Semudah itu."

Aku hanya memalingkan wajah darinya. Memang terdengar semudah itu tapi nyatanya tidak semudah itu. Kebahagiaan, entah mengapa itu kata ajaib yang masih misterius. Aku belum menemukan makna sebenarnya dari kata pendek itu. Entahlah. Tugasku saja sudah banyak, untuk apa memikirkan sesuatu yang tidak penting. Benar, kan?

"Hey, kopimu enak," kataku kemudian sambil berlalu menghampiri anak-anak yang tengah bermain. Tapi ini bukan akhir yang bahagia. Saat aku hendak mengajak mereka bermain lagi, justru ibu mereka datang dan memberi perintah untuk pulang karena senja nyaris habis.

"Ini menyebalkan!"

-o-

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.